Alat Ukur Kebenaran: dalam Buku Imam Ghazali
Alat Ukur Kebenaran: dalam Buku Imam Ghazali
Di abad sekarang ini umat manusia sering
menggunakan opini (akal) dan analogi (perumpamaan) untuk mencari sebuah
kebenaran sehingga menimbulkan perselisihan antara umat beragama. Karena akal dan analogi
manusia sangat terbatas serta berbeda satu sama lain.
Alat ukur yang digunakan untuk menakar
kebenaran seharusnya didasarkan pada aspek eksperimental dan inderawi. Secara
eksperimental, sebuah timbangan tidak akan sejajar jika salah satu dari dua
piringannya diisi dengan benda yang lebih berat dari piringan yang lain.
Sedangkan secara inderawi, sebuah timbangan yang terlihat sejajar berarti
memiliki ukuran berat yang sama. Dalam konteks keagamaan kita, peletak alat
ukur atau timbangan ini adalah Allah, pengajarnya adalah Malaikat Jibril dan
penggunanya adalah sang Khalil Nabi Muhammad SAW.
Secara umum alat ukur kebenaran dibagi menjadi
dua macam, yaitu material dan immaterial. Hal tersebut disesuaikan dengan
sesuatu yang diukur. Makrifat dan keimanan misalnya, alat ukur yang digunakan
bersifat immaterial.
Adapun alat ukur yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Alat
Ukur Equilibrium (Keseimbangan)
Equilibrium
Terbesar
Alat ukur Equilibrium terbesar adalah alat ukur nabi Ibrahim yng
dipergunakan kepada raja Namrud. Darinya kita belajar alat ukur ini melalui risalah
Al-Qur’an. Raja Namrud mengaku dirinya adalah Tuhan. Maka nabi Ibrahim berkata,
“Tuhan yang maha kuasa menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah
olehmu dari barat”. Sedangkan raja Namrud tidak mampu melakukannya. Dari
sinilah kebenaran Tuhan terjawab bahwa Namrud bukanlah Tuhan. Hal tersebut
didasarkan pada hipotesa: pertama, setiap yang mampu menerbitkan matahari
adalah Tuhan (sifat). Kedua, Allah adalah yang maha kuasa menerbitkan matahari
(yang disifati).
Adapun pengetahuan lain yang relevan dengan
ini adalah pengukuran emas dengan timbangan. Maka sangatlah mungkin baginya
juga menimbang batu kerikil yang lain, selain emas. Karena kadar sesuatu yang
ditimbang dapat diketahui, bukan karena ia emas, tetapi karena ia memiliki
kadar berat. Oleh karena itu, bukti ini menyingkap makrifat bagi manusia bukan
karena dzatnya, melainkan menjadi bagian dari hakikat, menjadi bagian dari
makna. Sehingga kita dapat mengambil ruhnya dan memisahkannya dari contoh
khusus.
Inti dari alat ukur ini adalah
kesesuaian/keseimbangan antara sesuatu yang disifati dengan sifat yang
disandangkan padanya secara hakikat/maknawi, bukan dzat sehingga didapat sebuah
kesimpulan. Misal, setiap minuman keras
memabukkan, dan setiap yang memabukkan hukumnya haram. Oleh karena itu, minuman
keras hukumnya haram. Di era sekarang ini banyak sekali pengukuran atau
penetapan hukum yang tidak sesuai dengan alat ukur ini.
Equilibrium
Menengah
Ukuran Equilibrium menengah juga dimiliki oleh nabi Ibrahim yang
berkata,”aku tidak suka yang terbenam”. (QS. Al-in’am: 76). Hipotesanya adalah:
pertama, rembulan terbenam di siang hari. Kedua, Tuhan tidak terbenam. Maka
bulan bukanlah Tuhan, karena bulan terbenam di siang hari. Begitupun dengan
matahari. Segala yang berubah-ubah bersifat hadits (temporal) dan merupakan
lawan dari sifat ketuhanan yang kekal.
Alat ukur ini menekankan adanya perbedaan sifat antara dua
hipotesis dan meniadakan salah satunya. Missal, setiap wali berharap dapat
berjumpa dengan Tuhannya. ISIS tidak ingin berjumpa dengan Tuhannya, bahkan
membunuh sesamanya. Maka ISIS bukanlah wali-wali Allah. Karena cinta Tuhan yang
sejati bukanlah ingin membunuh sesamanya, melainkan kepasrahan diri, bahkan
ingin mati agar cepat bertemu dengan Tuhan.
Equilibrium
Terkecil
Alat ukur ini merupakan penafian dua hipotesa: pertama, semua
binatang tidak berjalan tanpa kaki. Ular berjalan tanpa kaki. Maka, sebagian
binatang berjalan tanpa kaki.
Alat ukur ini didasarkan pada firman Allah SWT., “ dan mereka tidak
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata,
‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia’. Katakanlah, ‘siapakah yang
menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh nabi Musa sebagai cahaya dan petunjuk
bagi manusia?” (QS. Al-An’am: 91). Di sini diterangkan bahwa hipotesa pertama
(tidak menurunkan) dinafikan dengan hipotesa kedua (menurunkan) sehingga muncul
kesimpulan baru.
Alat
Ukur Equivalensi (Kesepadanan)
Alat ukur equivalensi diintisarikan dari firman Allah SWT.: “Sekiranya
ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa,” (QS. Al-Anbiya’: 22). Dari ayat ini terdapat dua hipotesa:
pertama, andai saja alam memiliki dua Tuhan, niscaya telah hancur. Kedua, alam
ini tidak hancur. Maka, alam hanya memiliki satu Tuhan karena dia tidak hancur.
Adapun yang dimaksud dengan dua tuhan dapat menghancurkan alam adalah adanya
perbedaan dan percekcokan di antara mereka dalam hal memelihara alam semesta
sehingga tidak akan ada keserasian proses alam, dan alam pun hancur. Selain itu
juga akan menafikan sifat perbedaan Tuhan dengan makhluknya bahwa tuhan banyak,
dan mahluk juga banyak. Padahal antara Tuhan dan mahluk sangat berbeda dan
berlawanan secara dzat dan batasannya.
Inti dari alat ukur ini adalah manakala tidak ada kesepadanan
antara hipotesa satu dengan hipotesa yang lain, maka hipotesa satu akan
dinafikan oleh hipotesa yang lain. Misal, andai menjual sesuatu yang ghaib
dibenarkan, maka harus ada dalil yang membenarkannya. Ternyata dalilnya tidak
ada, maka menjual hal ghaib tidak dibenarkan. Contoh lain, andai membunuh orang
lain harus didasarkan pada bukti dan alasan yang jelas, maka perlu bukti yang
jelas pula. Ternyata, suatu ketika seseorang membunuh ataupun menyalahkan orang
lain tanpa alasan. Membunuhnya orang tersebut tidak dibenarkan.
Di era globalisasi ini banyak sekali keputusan yang didasarkan pada
kepentingan politik dan meniadakan kebenaran agama. Program keluarga berencana
misalnya, beralasan bahwa semakin padatnya populasi akan mengancam kemakmuran
rakyat Indonesia. Padahal di balik itu ada alasan politik bahwa pemerintah
tidak mampu mensejahterakan populasi karena tidak tersedianya lapangan kerja,
dan pemerintah tidak ingin uang negara tersalurkan untuk kepentingan rakyat
secara penuh. Itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan, bahwa penguasa ingin
mensejahterakan hidupnya sendiri dengan korupsi misalnya. Logikanya adalah:
jika populasi ditakutkan besarannya, kenapa banyak orang asing yang diizinkan menanamkan
modal dan membangun gedung perusahaan di Indonesia, bukankah hal itu membuat
habitat populasi semakin sempit? Jawabannya hanya ada pada kebenaran hakiki,
bukan masalah politik ataupun ekonomi.
Alat
Ukur Pertentangan
Alat ukur pertentangan ini didasarkan pada firman Allah SWT. Ketika
memberikan pengajaran kepada Nabi Muhammad SAW.: ”katakanlah, ‘siapakah yang
memberimu rejeki dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah’, dan susungguhnya
kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam
kesesatan yang nyata,” (QS. Saba’: 24). Kata ‘kami atau kamu’ pada ayat di atas
tidaklah sama dan dipersangsikan. Hipotesanya adalah: pertama, kami atau kamu
sekalian dalam kesesatan yang nyata. Kedua, kami tidak dalam kesesatan. Maka,
kamu sekalian berada dalam kesesatan. Di sini terdapat pertentangan antara
hipotesa pertama dan kedua sehingga muncul kesimpulan baru. Barang siapa
memasuki rumah yang memiliki dua pintu kamar, maka ia pasti ada di salah satu
dua kamar tersebut. Dia tidak ada di kamar ini, maka dia ada di kamar satunya.
Di era sekarang ini, kita sering menemukan banyak pintu untuk
menemukan kebenaran, sehingga terjadi percekcokan yang didasarkan pada akal.
Padahal pintu agama islam hanya satu, yaitu dalil nash (Al-Qur’an dan Hadits).
Sejauh manapun manusia berpikir untuk kepentingan dunia (politik &
ekonomi), pada akhirnya harus kembali pada dasar, yaitu dalil nash dan hati
yang bersih. Jika tidak, mereka akan terus berkelana dalam kesesatan dan
kehancuran. Banyak sekali paham yang membenarkan semua hal, dan melupakan
kebenaran dasar. Dasar yang dimaksud adalah hakikat dan keyakinan yang
seringkali dilupakan. Terkadang paham pluralism, misalnya, dibedakan dari
toleransi. Padahal itu hanyalah lain istilah yang esensinya sama, yaitu sopan
santun dan saling menghormati. Kolotnya kebanyakan umat sekarang adalah
menyalahkan orang lain, tapi dia bagian dari mereka, bahkan melupakan keyakinan
ataupun budaya diri sendiri. Misal, kita mengatakan bahwa yahudi itu kafir,
maka orang ikut paham yahudi juga kafir. Tetapi faktanya kita mengikuti
perilaku mereka dan berpikir sebagaimana mereka berpikir (sesat).
Hal ini bertentangan dengan hadits nabi yang menyatakan, ”sebaik-baik
ilmu adalah akhlak, dan sebaik-baik amal adalah menjaga lisan”. Sementara
sekarang kita semakin asyik berargumen tanpa dasar, melalui akal, dan melupakan
perilaku. Padahal pada kata tersebut jelas, akhlak diutamakan daripada ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, kita dapat membaca mana yang lebih benar: “berilmu
pengetahuan tapi tidak sesuai dengan perilaku”, atau “menjaga lisan
namun mampu berperilaku”.
Alat
Ukur Setan
Dari sekian alat ukur atau dalil yang ada dalam Al-Qur’an, setan
berusaha memasukkan keraguan melalui celahnya. Sebagaimana setan mengelabui
nabi Ibrahim sehingga berkata Tuhan adalah Matahari. Saat itu nabi Ibrahim
belum berpikir secara utuh, sampai kemudian dia mampu menafikan matahari saat
diketahui bahwa matahari tenggelam.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemukan analogis atau
perumpamaan, yang sebenarnya mereka berdua berbeda. Dasarnya adalah: Tuhan maha
Besar dan matahari adalah yang paling besar. Maka Tuhan adalah matahari.
Pernyataan tersebut sama sekali tidak benar. Karena sifat kebesaran Tuhan tidak
bisa disamakan dengan sifat kebesaran matahari. Dan alat ukurnya pun berbeda,
yaitu equilibrium terbesar, bukan yang terkecil. Begitulah cara setan
mengelabui logika kita yang lemah dan sering terjebak di antara dua hal:
hakikat dan dzat.[]

Ali Munir, Lahir pada tahun 1994 di Sumenep Madura. Sekarang tinggal di daerah Sapen, Demangan Yogyakarta. Tercatat sebagai Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Manajemen Pendidikan Islam.
Posting Komentar untuk "Alat Ukur Kebenaran: dalam Buku Imam Ghazali"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!