Desa dan Gerakan Mencapai Demokrasi
Ketika demokrasi yang berkembang di
Indonesia mulai terjadi pada abad 20, disitulah anak-anak Nusantara yang
berkenalan dengan pengetahuan modern mulai terarik dengan demokrasi.
Dalam konteks secara konseptual pada abad 20, pemikiran demokrasi yang
berkembang di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi dari
luar Indonesia. Akan tetapi, sebagai suatu praktek kehidupan berbangsa
dan bernegara, demokrasi sebetulnya sudah diterapkan oleh sebagian
masyarakat di nusantara ini jauh sebelum berinteraksi dengan bangsa
barat.
Proses pemilihan kepala suku dan
pemilihan kepala desa misalnya, di berbagai wilayah nusantara menunjukan
hal tersebut melalui konsep primus inter paress, inilah apa
yang dulu kita sebut dengan istilah “Desa Demokrasi”. Setelah para
pemuda berkenalan dengan wacana demokrasi. Kemudian mulailah melakukan
refleksi terhadap realitas disekitarnya. Sebagai elit modern, mereka
melihat bahwa sistem kekuasaan yang tidak demokratis mudah diselewengkan
oleh mereka yang berkuasa. Dalam praktek politik, penguasa menempatkan
rakyat hanya sebagai objek. Rakyat sering tidak dihargai keberadaannya
sebagai manusia, termasuk hak kodrati dan asasi yang dimiliki. Mereka
yang merasa pintar dan yang punya kepentingan untuk dirinya maupun
golongannya sibuk bersaing bagaimana memperoleh jabatan untuk lebih
mempermudah menggunakan legitimasinya dalam mencapai kekuasaan. Dari
pada mementingkan masih keterbelakangannya mental masyarakat pada
umumnya.
Dari situlah kemudian yang seharusnya
para pemuda mengalami suatu revolusi cara pandang terhadap masalah
jamannya. Kemiskinan dan kebodohan yang terjadi dimasyarakat mulai
dianggap sebagain suatu masalah. Menurut mereka sistem yang membuat dan
melanggengkan kemiskinan dan kebodohan itulah yang menjadi masalah utama
(hariyono, 2009).
Berpikir merdeka telah menjadi daya
magnet para pemuda saat itu. Bahwasannya kebebasan berpikir dan
berkehendak bebas tidak dapat dikendalikan oleh kekuasaan. Cara untuk
mencapai hal tersebut adalah dengan menjalankan sistem demokrasi.
Demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik kalau sesama manusia
mempunyai kedudukan yang sama yang sesuai dengan konteks lingkungan
masyarakat dan alamnya. Untuk itu perjuangan dalam menanamkan demokrasi
bukan serta merta mengikritisi sistem imperialisme dan kapitalisme,
tetapi juga dibarengi dengan usaha pemberdayaan rakyat. Mereka menyadari
bahwa pemberdayaan rakyat adalah bagian dari upaya meningkatkan
kompetisi sehingga yang bersangkutan nantinya dapat hidup mandiri,
produktif dan kreatif.
Kemudian para pemuda memunculkan idenya,
dimana kepeduliannya dengan dunia pendidikan sangat di utamakan. Kita
tentu masih ingat bagaimana usaha dr, Wahidin Sudirihusodo sebelum
menginspirasi berdirinya Budi Utomo yang dilakukannya adalah mendirikan
lembaga bantuan dana belajar (Studi Fonds) bagi anak-anak yang cerdas
dari keluarga yang kurang mampu.
Rintisan pemikiran dan praktek demokrasi yang diawali oleh anak-anak pergerakan sebenarnya merupakan bagian dari praksis refleksivitas social. Anak-anak
pergerakan terbiasa menyaring semua jenis informasi yang relevan dengan
situasi kehidupan yang ada untuk membangun tatanan yang lebih baik.
Mereka tidak lagi percaya dan menerima begitu saja tradisi kekuasaan
yang ada. Meminjam istilah Ignan Kleden bahwa tradisi yang ada di
masyarakat kini tidak disikapi secara tradisional. Demikian pula ilmu
pengetahuan modern yang mereka miliki juga bukan sesuatu yang dianggap
steril dari realitas sosial. Mereka tidak lagi memposisikan diri sebagai
resipien budaya, melainkan juga telah berperan sebagai agen budaya.
Mereka mendobrak budaya bisu dan berusaha menciptakan budaya masyarakat
yang cerdas.
Apakah demokrasi tidak cocok dengan
masyarakat dan kebudayaan kita? Bukankah proses demokrasi telah
dijalankan dengan benar? Sabar, marilah kita merenung dan merefleksikan
mengapa pemikiran dan praktek demokrasi kita masih jauh dari tatanan
demokrasi yang ideal? Bukankah demokratisasi itu sebuah perjuangan yang
harus terus menerus diperjuangkan ditengah-tengah godaan sikap,
pemikiran dan praktek yang demokratis? Bahkan mereka yang sebelumnya
sangat paham dan mempunyai wawasan yang sangat memadai tentang demokrasi
(mereka yang umumnya berasal dari akademisi dan aktivis LSM) ternyata
setelah terpilih juga terseret melakukan tindakan KKN.
Dalam konteks yang demikian menunjukan
bahwa pengetahuan dan keterampilan tentang demokrasi sajatidak cukup.
Nilai yang melekat dan mempribadi sebagai sebuah karakter dalam
membangun integritas sangat diperlukan untuk melestarikan sistem politik
yang menopangnya. Sekolah demokrasi yang ideal tidak hanya membahas
tentang pengetahuan dan keterampilan berdemokrasi, melainkan juga
merangsang bagaimana kita semua konsisten dengan nilai-nilai kejujuran,
kesahajaan dan pengabdian sehingga antara kata dan tindakan tidak jauh
berbeda.
Munculnya konsep demokrasi dialogis atau
yang sering kita sebut demokrasi deliberatif Habermasian, sebagai
koreksi sekaligus anti tesis dari demokrasi teknis prosedural layak
untuk kita kembangkan sesuai dengan kondisi sekitar kita. Melalui dialog
pengakuan akan adanya pluralisme yang didasari toleransi terhadap
perbedaan yang dapat saja terjadi. Untuk itu, perlunya membangun ruang
publik dan berdiskusi tentang berbagai masalah nasib orang banyak dapat
kita kembangkan ditengan-tengan infotainment yang berhasil menjual gosip
melalui media massa.
Yazid Maulana
GmnI UIN Suka
Yazid Maulana
Posting Komentar untuk "Desa dan Gerakan Mencapai Demokrasi"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!