Doktrinasi Mahasiswa Baru

Menjadi mahasiswa bagi beberapa orang
mungkin sesuatu hal yang membanggakan. Menjadi komponen perubahan dalam
setiap sejarah atau yang sering diteriakkan oleh para aktivis mahasiswa
sebagai agen of change. Disatu sisi mahasiswa adalah komponen
yang paling strategis dalam melihat realitas, entah itu politik, budaya,
ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Maka dari itu kalangan yang
sering melakukan kritik terhadap segala kebijakan berasal dari komponen
mahasiswa. Selaras dengan apa yang dikakatan Pramoedya, seorang
sastrawan Indonesia bahwa satu-satunya komponen masyarakat yang paling
merdeka dan bebas adalah mahasiswa. Dalam proses sejarah Indonesia,
kejatuhan setiap rezim terdapat komponen mahasiswa di dalamnya, terutama
sekali dari masa orde lama sampai reformasi. Namu dilain sisi,
mahasiswa juga punya posisi strategis untuk menjadi korban doktrinasi
khususnya dari para senior. Proses doktrinasi ini menjadi rutinitas
dalam kegiatan orientasi mahasiswa. Teriakan-teriakan akan perubahan dan
seakan-akan mahasiswa adalah komponen satu-satunya dalam proses
perubahan itu selalu didengungkan. Bagaimana Pram juga pernah mengatakan
bahwa orang terpelajar sudah harus merdeka sejak dalam pikiran. Namun
jika kesemua itu masih dalam ruang lingkup doktrinasi, apakah itu masih
bisa disebut merdeka?
Paulo Freire mencoba membagi kesadaran
dalam diri manusia menjadi tiga bagian. Pertama, kesadaran magis, adalah
kesadaran manusia tentang realitas semata-mata sebagai takdir Tuhan.
Merubah realitas sama halnya menentang Tuhan. Kedua, kesadaran naif,
adalah kesadaran dimana keadaaan hidupnya yang buruk adalah karena sikap
manusia itu sendiri. Ia hidup miskin lantaran Ia malas untuk bekerja.
Jadi dalam kesadaraan naif sistem adalah sesuatu yang benar, jika salah
itu adalah dari manusia itu sendiri. Ketiga, kesadaran kritis, adalah
kesadaran manusia yang mampu mengetahui dirinya dan realitas di luar
dirinya. Keadaan hidupnya yang buruk semata-mata bukan karena takdir
Tuhan atau karena ulah dirinya sendiri, melainkan ada pula sistem diluar
dirinya yang membuat realitas seperti ini.
Kembali kepada proses orientasi
mahasiswa, seharusnya dalam proses itu mahasiswa baru dididik agar
menjadi manusia dengan kesadaran kritis. Dan kesadaran kritis tidak
didapat dari proses doktrinasi. Kesadaran kritis didapat dari proses
dialogis antara senior sebagai subjek dan mahasiswa baru juga sebagai
subjek bukan menjadi objek seperti dalam proses doktrinasi. Dalam proses
dialogis itu, antara subjek dengan subjek harus melepaskan
identitas-identitas yang melekat dalam dirinya. Seperti subjek sebagai
senior dan subjek sebagai junior. Jurgen Hubermas menyebutnya dengan
Demokrasi Deliberatif.
Dengan cara ini mahasiswa baru akan
mendapat ruang untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Jika
senior merasa tidak sepakat maka di dalamnya harus ada
konsensus-konsensus yang disepakati bersama. Namun pada realitanya,
mahasiswa baru hanya diletakkan sebagai objek doktrinasi. Di jejali
dengan teriakan-teriakan perubahan, dan harus melawan sistem yang
menindas. Akan tetapi mereka mahasiswa baru tidak mengerti dan tidak
mampu mengurai sistem seperti apa yang menindas dan apa pula yang harus
dilakukan untuk memperbaharuinya. Mereka hanya menerima saja apa yang
diteriakkan seniornya, dan lebih parahnya lagi mereka menerimanya dengan
tidak mencoba mengkaji kembali.
Sudah seharusnya perubahan dalam proses ini dilakukan. Agar semboyan agen of change
benar menjadi semboyan yang nyata. Karena baru diawal proses saja
mereka sudah menjadi korban doktrinasi, maka hal yang sama juga akan
mereka praktekkan ketika mereka menjadi senior. Maka tidak heran jika
wajah seperti ini menjadi sesuatu hal yang kita lihat setiap tahun.
Pendidikan yang seharusnya sebagai alat memerdekakan manusia malah
diselewengkan untuk menindas kemerdekaan manusia di dalam institusi
pendidikan dan dilakukan pula oleh orang yang sering berteriak merdeka.[]
Posting Komentar untuk "Doktrinasi Mahasiswa Baru"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!