Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karakter dalam Bertanya

 Oleh: Rinduan Zain


Kritis itu bukan untuk ngata-ngatain seperti "bangsat" atau "plonga plongo" kepada orang yang dikritik.
Kritis juga bukan dilakukan dengan cara marah. Tapi dilakukan dengan "inside voice" (suara pelan) bukan dengan "raising your voice" (nada tinggi).

Karakter seperti ini di negara tetangga yang oleh sebagaian orang dianggap negara "kafir" justru diperkenalkan dan diinternalisasi secara sistemik sejak usia dini di daycare (PAUD) apalagi di public school (SD). Maka tidak heran setelah mereka dewasa, mereka kritis tetapi tetap dalam standar sopan santun. Hmmmm ... pendidikan masa kecil sangat berpengaruh pada terbentuknya karakter ketika dewasa.

Tidak jarang para pengasuh day care, para guru di kindy dan public school itu selalu mengingatkan anak-anak untuk "please use your inside voice" (alon-alon wae le ngomong) ketika anak-anak sudah intens berdiskusi dan suara mereka mulai meninggi.

Baca juga: Ulil Abshar Abdalla Di Mata Mereka (3): Kegelisahan-Kegelisahan Ulil

Jarang ditemui di negara --yang walau disebut beberapa orang sebagai "kafir" tetapi banyak mengamalakan ajaran Islam utamanya terkait "amal shoolih" dan "ihsaan" -- itu ketika seseorang tidak setuju dalam forum diskusi seperti ILC (Indonesian Lawyer Club), orang tersebut lalu menyampaikan dengan bahasa "I don't agree with you." Tetapi seseorang tersebut lebih memakai bahasa yang halus seperti "I'm sorry but I don't think you got my point." atau "I'm sorry I'm not following your idea," atau "I think differently," atau "I think the other way" dan sejenisnya. Sangat susah ditemui mereka lalu menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk-nunjuk kepada seseorang yang tidak disetujui. Jangan anggap mereka langsung tembak di tempat dengan kata-kata yang bernada sumpah serapah (swearing) atau dengan kata-kata "You are so stupid!" atau "It's silly idiot."

Andai itu terjadi, maka kecaman publik akan menghinggapi hari-hari seseorang yang melakukakannya. Kalau dilakukan figur publik, tidak jarang mereka lalu mengundurkan diri dari jabatan publiknya karena besarnya kecaman publik terhadap dirinya dan keluarganya. Di kita? Hmmmmm ...

Baca juga: Cinta Inggit Garnasih Untuk Soekarno

Hmmmm ... di kita yang terkenal dengan keunggulan budaya Timur penuh keramahan, tepa selira, tenggang rasa, sopan santuh dan bangsa pemaaf ... yang selalu kita claim melebihi budaya Barat ... karakter itu mulai sirna tenggelam oleh hiruk pikuk politik para politisi yang amatiran itu (beginners and thus inexperienced). Bahkan yang dicap sebagai politisi senior pun tidak memberikan suri teladan karena sering kali ucapan-ucapannya mengarah ke binatang seperti kecebong dan sejenisnya untuk menilai kinerja lawannya.

Mereka sangat beradab walaupun tidak setuju. Again, mengkritik itu bukan untuk menyakiti. To critize is not to hurt. Itulah indahnya "agree in disagreement," sekalipun tidak setuju tetapi tetap santun. Di kita? hhhmmmmm ... Mengkritik itu dipersepsikan dalam karakter marah, nada tinggi, nunjuk-nunjuk, mengolok-olok dan sejenisnya yang intinya untuk menyakiti lawan bicara.[]

Posting Komentar untuk "Karakter dalam Bertanya"