Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kembali Terngiang Kata “Asu” Itu



“Mungkin aku tak mengerjakan apapun. Tapi aku tahu betul, bagaimana ide itu akan berjalan. Sekalipun orang-orang selalu mencoba membohonginya. Biarkanlah mereka hidup dengan merdeka.” Ali Munir S.

Bung Nazaruddin Ali itu orang Sulawesi asli. Tentangga kos saya, sekaligus teman akrab di perantauan. Beliau Ketua Komisaris DPK GMNI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode tahun 2017/2018. Sejak Bung Nazaruddun Ali terpilih jadi ketua komisaris periode tahun 2017/2018, ternyata ada sebagian orang mulai tidak senang dengan cara main politiknya.
“Kita akan mulai dari awal bung. Sejarah kelam sudah kita lalui, ibarat Belanda diuber-uber Jepang! Biang kerok sifat pemberontak sekaligus pemalas, kok terpilih jadi pemimpin kita!” Begitu sebagian mereka yang ngomel-ngomel di pinggir telinga saya.
“Ini gara-gara mainan  politik yang tidak jelas!” Tambahnya.
Kemaren sore, Bung Abdullah (orang ini kritis sekali) dengan rambut gondrong baju sobek beliau datang untuk bertamu ke kos saya. Waktu itu terdengar suara di kos sebelah (sepertinya ini produk PMII) sedang membicarakan tentang keperawanan GMNI yang masih lugu, mulus, serupa gadis perawan yang belum pernah tersentuh sama sekali.
“Malu-maluin! Kalau memang giliran tidak mampu berpolitik, jadi gundik saja. Kok mencak-mencak!” Teriaknya, sambil disusul dengan cekikikan para jamaahnya.
Temen kos saya (Udin) yang baru belajar berpolitik, kaget dan meloncat. Kebetulan menginjak buku Das Capital saya, dan si buku yang gemuk itu pun kotor. Namun sengaja saya tarik supaya duduk kembali ketempat semula. Gemuruhlah suasana, seakan orang nonoton film porno merek Japanese si laki menghajar si perempuan di atas ranjang yang empuk itu.
Di kamar kos saya, sudah terhidang kopi, sebungkus rokok, dan beberapa baju yang berceceran yang belum sempat saya cuci. Bau? Jangan Tanya lagi. Bung Abdullah langsung menyeruput. Kepanasan, air matanya keluar. Ia tertawa ngakak.
“Waduh gara-gara politik…” keluhnya. Ia lalu menatap  mata saya lurus-lurus.
“Bung, emangnya orang politik itu kerjaannya malu-maluin?” Teman saya langsung menyodorkan pertanyaan habis dibikin kesal sama gerombolan jamaah PMII kos sebelah itu.
“Politik memang begitu, Din. Itu bukan berarti politik itu malu-maluin. Dari sononya udah gitu.” Jawab saya.
Udin Nampak heran. Menggaruk-garuk kepala. Dan saya bilang lagi:
“Hitungan politik itu, ialah “Siapa, mendapat apa.”
Bung Abdullah tertunduk. Mengetuk-ngetuk kepala. Lalu katanya: “Ini soal siapa, Bung? Siapa itu siapa? Apa kamu itu rakyat kecil di dalamnya termasuk hitungan siapa mendapat apa itu? na na na na! aku ini seumur-umur di organisasi, tidak tahu kapan dapat apa?”
Saya kemudian menimpali:
“Jadi, orang politik, melalui organisasi GMNI, PMII, HMI, IMM dan KAMMI berusaha keras untuk mendapat bagian. Untuk berkuasa. Dengan kekuasaan itulah, orang politik itu, bekerja keras untuk kepentingan bersama. Untuk itu pula, saya memilih Bung Nazaruddun Ali jadi ketua komisaris GMNI, untuk itu pula masyarakat PMII dan sebagian masyarakat lainnya memilih Romli Muallim jadi PRESMA untuk periode tahun ini. Masih ingat slogan yang disabdakan waktu kampanye itu, mereka bilang: “Bersama membangun demokrasi” ? Dari sinilah politik itu berkelok, dari siapa mendapat apa? Paham, Bung Abdullah?” Sambil lalu saya meringis dengan umpatan asu di belakangnya.
Udin makin keras mengetuk-ngetuk dahinya. “Asu! Nggak bisa aku paham! Coba lihat: program-progam kita GMNI makin lama makin kayak Jin Kafir, remeng-remeng mirip tempat pelacur yang tidak jelas itu, mau inilah, mau itulah, mau.. mau.. mau.. mau.. hingga bising dengan kata mau, nyatanya apa? Kosong melompong tak ada bukti itu semua. Apa ini yang dimaksud yang kuasa memberi apa-apa pada kami yang disebut anggota?” Udin langsung permisi, sambil terus berkicau! “Asu, asu.. asu.. asu.. semuuaaaa!”
Terngiang saya terhadap bayangan sosok Udin yang masih polos itu. Harapan yang terpancar dari wajah Udin, adalah harapannya seluruh anggota rakyat GMNI ke depannya. Lewat perkataannya (“Asu, asu.. asu.. asu.. semuuaaaa!”), pemimpin serasa diberi hadiah berupa perkataan asu yang muncrat dari mulutnya, mungkin inilah  akibat dari tidak bekerja habis-habisan memenuhi harapan anggotanya.
Jarak yang begitu dekat dengan Abdullah si gondrong itu, saya dengar beliau dengan iseng berseru: “Kembali ke laptop”. Ya, ya, ya, -Kembalilah, wahai pemuda  Indonesia, ke dunia Thukul Arwana,…suatu dunia yang bercanda dengan kekecilannya.” Katanya.



Rifai Lahir di Kabupaten Sumenep. Anaknya suka mikir yang rada gimana gitu. Mahasiswa STIE Widya Wiwaha Yogyakarta, kandidat masa depan untuk bangsa.  “Tidak suka minyak Babi Cap Onta”.
sumber gambar: https://alterteguh.wordpress.com/2013/09/22/jagad-asu/

Posting Komentar untuk "Kembali Terngiang Kata “Asu” Itu"