Ulil Abshar Abdalla Di Mata Mereka (2)
Ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya bertajuk Ulil Abshar Abdalla Dimata Mereka
"Ulil Abshar Abdalla setidaknya menyandang tiga predikat sekaligus: santri, intelektual dan pekerja sosial. Sebagai seorang santri, Ulil manamatkan pendidikan di pesantren dengan baik. Dari tingkat dasar hingga tingkat tertinggi. Lengkap dengan segala tradisi (hidup 24 jam di pesantren) dan riyadlah (laku prihatin seperti puasa, bangun malam, dst). Sebagai intelektual, pria asli Pati, Jawa Tengah ini mengalami pengembaraan yang ”sangat jauh”. Sebuah pengembaraan yang tak terbayangkan bisa dilakukan oleh anak lelaki miskin, dari desa pelosok, jauh dari modernitas dan nyaris dilakukan tanpa mentor (otodidak). Sebagai seorang pekerja sosial, Ulil berperan aktif di organisasi kemahasiswaan, turut menumbangkan Orde Baru dan sempat mencicipi menjadi politisi.
Telah dikemukakan pada tulisan terdahulu, sebagai santri Ulil menamatkan pendidikannya di pesantren. Ia berguru kepada KH Sahal Mahfudz (Rais Am PBNU), salah seorang ulama terbesar Indonesia pada masanya. Beliau dikenal sebagai ulama ahli fiqih yang sangat disegani di forum-forum ”Bahtsul Masail” (forum pembahasan dan perumusan hukum-hukum Islam atas perbagai permasalahan yang muncul) NU. Salah satu karya beliau adalah buku Fiqih Sosial yang hingga kini banyak menjadi rujukan. Kiai Sahal inilah yang menggembleng Ulil di pondoknya.
Bagi Ulil sendiri, Kiai Sahal adalah sosok yang sangat dia kagumi, selain ayah dan kakeknya yang juga kiai berpengaruh di pesisir utara Jawa Tengah. ”Ayah dan kakek saya pecinta ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa arab). Dari beliau berdua saya mewarisi kecintaan pada Bahasa Arab dan khasanah keilmuan Islam,” jelas Ulil kepada penulis.
Dengan bekal penguasaan bahasa arab ini Ulil mendalami kitab-kitab karangan para sarjana Islam. Baik yang klasik maupun modern. Literatur wajib pesantren seperti Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Fatkhul Wahab, Hadits Bukhori-Muslim hingga karya monumental Imam Al Ghazali Ihya’ Ulumuddin ia pelajari tuntas di bawah bimbingan para gurunya di pesantren. Di luar itu, Ulil juga membaca kitab-kitab yang tak lazim dibaca santri kebanyakan, seperti karya-karya ulama Wahabi Ibu Taimiyah, tokoh pembaharu Islam Muhammad Abduh, pendiri Ikhwanul Muslimin Hasan Al Banna dan banyak lagi kitab ”ghoiru mu’tabarah” lainnya. Mayoritas literatur Arab yang dibaca Ulil berasal dari kalangan ulama Sunni, namun karya-karya tokoh non Sunni juga tak terhitung jumlahnya yang ia baca. Itu menyebabkan cakrawala keilmuan Islamnya menjadi luas sekali.
”Saya tertarik untuk membaca karangan ulama Syiah, Wahabi, Khawarij, Muktazilah bahkan dari para sarjana non muslim, pun dari mereka yang tak beragama (ateis)…untuk mengetahui pemikiran-pemikiran mereka. Saya mempelajari semuanya sebagai ilmu. Dan saya memang tidak membeda-bedakan ilmu. Asal niat kita benar, mempelajari ilmu apapun pasti ada manfaatnya,” terang Ulil. Seolah dia ingin berkata,”Walau saya mempelajari kitab-kitab kaum Wahabi, Syiah, dst…itu malah semakin menguatkan aqidah ahlussunnah wal jamaah saya. Meski saya mempelajari agama Kristen, Hindhu, Budha, Yahudi, bahkan ateisme…itu malah semakin menguatkan keislaman saya.”
baca juga: Alat Ukur Kebenaran: dalam Buku Imam Ghazali
Intelektualitas Ulil dibangun dari kegemarannya membaca khasanah modern. Kemahirannya berbahasa Ingris mengantarkannya pada pengembaraan khasanah modern yang nyaris tak terbatas. Buku-buku bertema agama, sosial, seni, sastra, sufisme, filsafat, politik, psikologi, hingga sains ia lalap habis. Perjumpaannya dengan Goenawan Mohammad dan komunitas ”PSI” yang terkenal memiliki tradisi keilmuan kuat, membuat intelektualitas Ulil kian terasah. Apalagi selepas hijrah di Jakarta Ulil bertemu dengan banyak tokoh lintas disiplin ilmu seperti tokoh pujaannya Nur Cholis Madjid (Cak Nur), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dawam Rajardjo, Franz Magnis Suseso, Romo Mangun Wijaya, Johan Effendi, dll…yang masing-masing dari mereka memberi sumbangan tertentu pada pendewasaan pemikiran Ulil.
Penguasaan atas dua khasanah keilmuan ini membuat Ulil segera merebut perhatian pubik melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya yang lugas, ”nakal” dan berani. Padahal jika dicermati, gagasan pembaharuan Islam yang dia sampaikan sejatinya merupakan kelanjutan dari gagasan Cak Nur, Gus Dur dan cendekiawan muslim lainnya. Tapi karena cara penyampaian Ulil yang lugas tanpa basa-basi menyebabkan banyak orang terhenyak dan ”terbelalak”. Contoh, Cak Nur dan Gus Dur banyak mengulas tentang sekuralisme dan liberalisme tapi mereka hampir selalu menghindari penggunaan dua kosa kata itu karena tahu dua kata itu telah menjadi ”kosa kata setan” bagi kebanyakan muslim Indonesia. Sedangkan Ulil malah terang-terangan melabeli dirinya dengan sebutan ”Liberal” melalui entitas yang dia dirikan: Jaringan Islam Liberal (JIL). Ulil seperti ”menantang” semua orang. ”Jika Islam diumpamakan mobil maka saya memilih menjadi (penginjak pedal) gasnya. Saya akan gas (larikan) mobil Islam ini sekencang-kencangnya sampai batas terkencangnya. Sementara orang lain (para ulama Islam pada umumnya) silakan menjadi remnya,” kata Ulil dalam sebuah wawancara. Perkataan Ulil ini mirip kalimat Gus Dur,”Tugas intelektual adalah pendorong batas.”
Tapi Gus Dur bukan Ulil, dan Ulil bukan Gus Dur. Dengan segala kontroversi yang ditimbulkannya, umat selalu bisa ”memahami” Gus Dur. Mungkin karena dia cucu ulama besar pendiri NU, KH Hasyim As’ary. Sedangkan ”bemper” Ulil tak sekuat Gus Dur. Darah Ulil di NU tak sebiru darah Gus Dur. Lagi pula ”kenakalan” Ulil lebih vulgar dan ”tak tertahankan” bagi sebagian orang. Maka tak butuh waktu lama sejak deklarasinya sebagai motor JIL, Ulil segera mendapatkan banyak musuh dari segala arah, bahkan dari komunitasnya sendiri: nahdliyin.
Tak terhitung orang yang mengkafirkan dia. Bahkan yang paling mengerikan, ia difatwa mati oleh beberapa kelompok. Setidaknya menantu KH Mustofa Bisri (Gus Mus) ini telah mengalami dua kali ancaman pembunuhan. Rupanya, status dia sebagai murid KH Sahal Mahfudz dan menantu Gus Mus belum cukup melindunginya dari ancaman ”musuh-musuh”-nya. Lambat laun Ulil kian terbatasi ruang geraknya. Label Liberal telah mengasingkannya dari komunitas muslim Indonesia. Label itu telah membuat gagasan-gasasannya tertolak oleh khalayak bahkan sebelum mereka membacanya.
baca juga: Korelasi Stephen Hawking dan Islam: Perihal Kehancuran Dunia
Periode JIL ini oleh Ulil disebut sebagai masa dia mengekspresikan pendapat-pendapatnya yang diperoleh dari pengembaraannya yang jauh. ”Jauh” di sini bisa bermakna geografis karena Ulil mengembara hingga Boston, AS, juga bisa berarti spektrum pemikiran, karena Ulil mengembara melintasi madzhab, disiplin ilmu, bahkan agama. Ulil, kala itu, seakan ingin mengamalkan adagium: ”Seorang intelektual boleh salah tapi harus selalu jujur”. Dan Ulil berusaha jujur dengan pandangan-pandangannya. Meskipun kejujurannya itu sering kali harus dia bayar mahal.
Tekanan, pengucilan dan ancaman terhadap Ulil baru reda saat ia menjaga jarak dengan JIL dan masuk ke fase yang dia sebut ”spiritualisme”. Pada tahapan ini Ulil mengubah titik tekan dari ”reaktualisasi Islam” menjadi ”penggalian kesejatian Islam”. Fase ini ditandai dengan aktifitas ”Ngaji Ihya’ Ulumuddin” karya Imam Al Ghazali. Sebuah kitab klasik yang sangat dihormati kaum santri.
Dari sini seolah Ulil ingin bercermin pada sosok Al Ghazali yang dalam perjalanan hidupnya mengalami tempaan sangat berat. Al Ghazali muda selain dikenal sebagai sosok cerdas pecinta ilmu, juga seorang pemberani yang siap berdebat dengan siapa saja. Karena kecerdasan otak dan kedalaman ilmunya, tentu saja Al Ghazali selalu memenangi perdebatan. Namun akibat sikapnya itu, ia kemudian mempunyai banyak musuh yang menentangnya di manapun ia berada. Bahkan, ketika ia sudah beranjak tua dan menerbitkan karya terbesarnya (Ihya’ Ulumuddin), kitab ini sempat dibakar atas perintah pemegang otoritas saat itu. Selepas mengalami banyak tempaan, di masa tuanya Al Ghazali fokus mendalami tasawuf, mendekat kepada Tuhan dan menghindari perdebatan.
Ulil mengalami fase yang sama. Kini ia begitu menikmati Ngaji Ihya’-nya dan sama sekali tidak tertarik dengan segala bentuk forum mujadalah (perdebatan). ”Debat itu cenderung ingin mengalahkan. Saya tidak suka. Kalau berdialog, berdiskusi, saya suka sekali,” terangnya.
Bagi penulis, Ulil adalah Al Ghazali kecil. Al Ghazali yang dilahirkan di era milenial. Jika sarjana Islam kelahiran Khurazan, Iran itu telah melahirkan maha karya yang mewarnai dunia hingga ratusan tahun, kini publik menunggu karya besar Ulil. Apakah Al Ghazali milenial ini juga akan melahirkan karya monumental yang akan mempengaruhi dunia hingga ratusan tahun?
Keterangan foto:
Ulil bersama kucing Anggora di rumah jurnalis senior Farid Gaban Wonosobo."[]
Abdul Arif
Posting Komentar untuk "Ulil Abshar Abdalla Di Mata Mereka (2)"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!