Kultus Kesederhanaan: Kritik Plintiran Baru Ala Rocky Gerung
http://wow.tribunnews.com/
Merayakan perdebatan. Di tengah musim plintiran. Demi sebuah kebenaran. Yang sempat tersia-siakan.
Saya baru saja menonton perdebatan antara
Rocky Gerung dan Politikus Jokowi yang membahas tentang kepemimpinan
Presiden Jokowi (lihat: http://youtube.be/eMXPQ4aEMzw).
Prof. Rocky Gerung mengatakan bahwa publik hari ini disodori kultus
kesederhanaan yang ditampilkan oleh presiden Jokowi. Baik pola
berpakaian maupun pola blusukannya. Sehingga publik kehilangan hal yang
substansial dari pemerintahan karena ditutup oleh pujian (pengkultusan)
terhadap pribadi presiden Jokowi.
Saya sebagai masyarakat baisa yang tidak
tahu entitas gelas profesor sama sekali, ingin mengklarifikasi
setidaknya dua poin yang disampaikan oleh Rocky Gerung. Pertama,
Pengkultusan Kesederhanaan dan Blusukan. Saya kira tidak ada yang salah
dengan cara Jokowi turun ke lapangan. Sebagai seorang pemimpin, Jokowi
berhak tahu keadaan masyarakatnya. Justru hal yang demikian yang menjadi
refleksi bagi presiden Jokowi melalui keluhan dan keadaan rakyat. Soal
kultus kesederhanaan, saya kira Jokowi tidak memaksakan diri agar
dirinya dikultuskan. Masalah rakyat memujinya itu persoalan lain. Karena
Jokowi memang kepribadiannya sederhana demikian, artinya tidak
dibuat-buat. Dari sini pula dapat dilihat bahwa cara kerja pikir
Profesor Rocky Gerung adalah kritik negatif tanpa ada alasan yang kuat.
Bahkan dia sendiri lupa cara mengkritik pada hal yang substansial dari
pada hanya mempermasalahkan pakaian. Hal demikian saya kira perlu
dicurigai: apakah benar gelarnya tidak dijual?
Kedua, melupakan hal yang substansial.
Saya kira dengan kesederhanaannya bukan berarti Jokowi lupa pada keluhan
rakyat. Justru Jokowi dengan kebijakan dana Desa-nya Jokowi mencoba
masuk pada pembangunan desa yang lebih produktif dan berkemajuan. Tapi,
bukan Jokowi yang salah jika ternyata fakta di lapangan tidak
mensejahterakan rakyat. Karena pemerintah itu tidak hanya Jokowi,
melainkan juga perangkat Provinsi hingga RT/RW. Dari sana kinerja
politik dapat ditinjau, apakah benar-benar bekerja perangkat bawah itu
atau tidak. Kalau tidak kerja dan bahkan korupsi, kita punya BPK dan
KPK. Selama ini banyak sekali orang-orang yang ditangkap KPK, dari
kepala Desa hingga Gubernur. Naif sekali bila satu-satunya yang
disalahkan adalah Jokowi. Saya kira, sehebat apapun program dan kinerja
presiden, kalau aparat yang tersebar di seluruh Indonesia tidak bekerja
atau korupsi, pasti kewalahan.
Selain itu, Jokowi juga banyak membangun
jaringan internasional secara prestatif. Jokowi berani membantu
Rohingya, Palestina, dan bahkan mendapat apresiasi dari dua lembaga
Vital: Perdamaian Dunia dan Tokoh Islam Berpengaruh. Dari sana kita
dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi sudah mampu
mengangkat nama Indonesia. Apalagi Jokowi mampu membendung Radikalisme
yang coba dibangun oleh kelompok tertentu. Jokowi juga memperbesar
pemasukan bagi hasil Freeport menjadi 50%, dari sebelumnya yang hanya
sekian persen. Terus, ada cuitan dari Facebook bahwa Jokowi penghianat
karena memperpanjang kontrak Freeport. Lha, kalau Freeport dilepas, kita
mau dapat dana APBN dan bayar hutang dari mana? Dan yang mau mengelola
Freeport siapa? Kita ini kekurangan SDM, Bro. tak semudah itu membuat
Indonesia berdikari setelah lama dicekal oleh Kapitalism asing. Kita
sudah terlanjur konsumtif.
Soal Jokowi yang marak membangun
Infrastruktur, saya kira memiliki tujuan yang bagus. Karena akses
ekonomi masyarakat perlu dibangun untuk pemberdayaan yang lebih lancar.
Masalah penanaman modal dan perusahaan asing, itu tidak sepenuhnya salah
Jokowi. Justru itu kelakuan aparat tertentu yang memanfaatkan
kesempatan yang tertuju ke masyarakat menjadi peluang pribadi. Siapa
yang rugi? Ya, Jokowi dan Masyarakat. Padaha semestinya aparatur
pemerintah di daerah-daerah membangun ekonomi berbasis masyarakat, yang
menguntungkan masyarakat. Bila sudah demikian, maka perlahan-lahan
masyarakat menjadi produktif dan berdikari dalam ekonominya. Kalau malah
dikorupsi, ya sudahlah. Kita berdo’a saja.
Terakhir, sekarang kita masuk pada
tahun-tahun politik. Beberapa sentimen mulai diserangkan.
Genderang-genderang pemenangan sudah ditabuh. Kelompok-kelompok
pendokong sudah dibentuk. Tinggal menunggu api peperangan menyala. Oleh
karena itu, kita sebagai kaum intelektual harus cerdas melihat situasi,
yang didasarkan pada banyak sudut pandang, dari dulu hingga yang akan
datang. Karena, bila satu rezim kejahatan sudah memegang skakmat, akan
susah sekali merombaknya. Kecuali kita kembali pada tahun 1998: Demo
Besar-Besaran.[]
Posting Komentar untuk "Kultus Kesederhanaan: Kritik Plintiran Baru Ala Rocky Gerung"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!