Perempuan adalah Rahim Generasi dan Tangan Peradaban
“Setiap perempuan perlu kita didik dengan sebaik-baiknya Pendidikan. Karena perempuan adalah Rahim generasi dan Tangan peradaban.” Ali Munir S.
Sejenak saya
berceletuk soal perempuan yang identik dengan lipat Kasur, poles dapur
dan timba sumur. Apakah benar bahwa hal yang demikian sama sekali
mendiskriminasi martabat perempuan?
Perempuan dalam Catatan Sejarah
Membaca
sejarah perempuan membuat saya berpikir bahwa perempuan adalah ruh
ketegaran. Siti Khadijah merupakan perempuan yang dalam kejandaannya
kuat membangun kesejahteraan ekonomi, sampai-sampai Nabi pun bekerja
kepadanya (lihat: artikel Oedi, 14 Desember 2009, tentang Asal Usul dan Riwayat Singkat Dari Siti Khadijah).
Hingga kemudian Nabi tertarik dan menikahinya. Maka sangat tidak masuk
pokok bahasan ketika sebagian orang mengatakan bahwa perempuan
semestinya tidak bekerja. Jangan pikir bahwa di balik kelihaiannya
mengempukkan Kasur menjadi syurga malam bagi suami, seorang perempuan
memiliki jiwa eko-sosial yang tinggi. Dia adalah pengatur musim raga
manusia pada roda kasih sayang yang selaras dan seimbang. Tidak naik
turun, tidak pula pandai bermain arah.
Lalu, dari mana para
perempuan sekelas pelacur itu lahir? Mari kita tilik hikayat mesranya
nabi Ibrahim dan siti Hajar. Pada suatu ketika Nabi Ibrahim meninggalkan
siti Hajar dan Nabi Ismail yang masih bayi. Dalam kesendiriannya itu,
Nabi Ismail merengek meminta minuman kepada ibunya, Siti Hajar. Tapi
siti Hajar tidak serta merta bunuh diri atau menceburkan dirinya ke laut
biat dikawini ikan paus. Melainkan dia berlari dengan tegarnya dari
bukit Shofa hingga Bukit Marwa hanya untuk mencari air. Bolak balik
hingga tujuh kali putaran. Sangat membosankan! Di zaman sekarang, bila
terjadi keadaan yang demikian, saya yakin anaknya sudah di lempar ke
pantai untuk dijemput ikan Hiu raksasa. Begitu pula persoalan wanita
pelacuran, mereka hanya mencari jalan pintas dari kesulitan hidup.
Mereka tidak berpikir bahwa pengempukan Kasur adalah kehormatan. Bila
sudah gonta-ganti empukan kasurnya, maka semakin hilanglah harga dirinya
diperkosa di luar kata “halal”.
Di Indonesia, jangan pikir tak
ada perempuan yang memegang peradaban. Sebut saja Cut Nyak Dien, atau
Kartini misalnya. Mereka adalah para pejuang perubahan dari yang buta
menjadi melihat. Dari yang laknat menjadi nikmat di atas Kasur. Dapur?
Jangan kira mereka tidak bisa masak nasi goreng. Bahkan mereka berhasil
memerdekakan para generasi yang pandai masak nasi goreng yang ada
sekarang. Mereka tidak hanya menggunakan tangan sebagai pemuas diri,
melainkan pencipta generasi yang pandai masak Mie Godok.
Masa Depan Perempuan Indonesia
Melihat
era hari ini yang sudah diliputi paham Feminisme, atau pemenuhan hak
asasi kaum perempuan, saya malah hawatir bahwa perempuan akan lupa pada
dirinya sendiri: perempuan yang pandai masak, pandai menyayangi anak,
pandai mengempukkan Kasur dan lain sebagainya. Karena di era Feminisme,
perempuan tidak jauh beda dari seorang pekerja sebagaimana seorang
lelaki bekerja. Waktu mereka pun habis untuk bekerja, tidak sempat
mendidik anak-anak mereka. Tidak sempat memikirkan kasih sayang dalam
keluarga. Akhirnya perceraian pun menjadi hal yang biasa, atas dasar
perasaan hak asasi perempuan yang menegarkan. Tapi di balik semua itu,
anak-anak mereka menjadi korban.
Saya tidak ingin kehidupan di
bumi ini menjadi semacam pelacuran. Perempuan bangga dengan kebebasan,
tapi lupa pada tugas inti dirinya sendiri. Tugas inti yang dimaksud
adalah perempuan sebagai penyayang keluarga, pendidik anak, pemerhati
anak, pembentuk karakter anak, dan penjaga perdamaian keluarga. Mereka
tidak boleh kehilangan senjata kasih sayangnya. Mereka harus tetap
menjadi “Rahim Generasi dan Tangan Peradaban.”
Maka semestinya
perempuan menempuh Pendidikan yang baik, tentu untuk kepentingan
keluarga mereka kelak. Terutama dalam hal kasih sayang atau penataan
hati untuk anak-anak mereka. Untuk suami mereka. (Dan untuk saya,
hehe..) Mereka tidak perlu terlalu membawa diri pada dunia laki-laki
yang keras, yang rentan dengan kehilangan kasih sayang. Bagi saya,
dapur, Kasur dan sumur itu tidaklah salah. Yang salah adalah ketika
perempuan tidak mampu memposisikan diri menuju keseimbangan peran dalam
keluarga. Hanya karena kata Kasur, dapur dan sumur, bukan berarti
martabat perempuan menjadi rendah. Justru ketiga kata itulah yang
menjadi stempel legitimasi bahwa dia memang perempuan yang tegar dan
bertanggung jawab dalam peran keluarga.
Bukankah kehormatan tidak
didapat dari perlawanan untuk menjadi setara, melainkan penerimaan hati
pada peran utama dalam keseimbangan peradaban? Yang di atas belum tentu
terhormat, bila meninggalkan tugas intinya sendiri. Yang di bawah juga
belum tentu terhina, selama mereka menjaga perannya masing-masing.
Menjaga tanggung jawabnya masing-masing.
Karena perempuan adalah Rahim generasi dan tangan peradaban!
Sekian.[]
Posting Komentar untuk "Perempuan adalah Rahim Generasi dan Tangan Peradaban"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!