Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulil Abshar Abdalla Dimata Mereka (1): Masa Kecil Ulil


Seorang wartawan, Abdul Arif melalui akun facebooknya dengan nama yang sama berkomentar soal Gus Ulil Abshar Abdalla. Berikut isi dari tulisan beliau:


Tiba-tiba Ulil merasa bosan di pondok. Satri Rais Am PBNU KH M Sahal Mahfudz ini merasa sudah tidak ada yang bisa ia pelajari lagi di pesantreannya. Remaja 19 tahun ini telah menamatkan kelasnya di pondok milik Kiai Sahal di Kajen, Pati, Jawa Tengah. Hari-harinya diisi dengan mengajar para yuniornya di kelas. Semua pelajaran sudah dia khatamkan dengan baik. Bahkan beberapa “lomba” ala pesantren dia menangkan. Yang paling prestius saat ia keluar sebagai juara lomba menerjemahkan tulisan Kiai Sahal yang menggunakan Bahasa Arab modern. Terjemahan Ulil menjadi yang terbaik karena ia gemar mendalami Bahasa Arab, tidak hanya klasik tapi juga modern. Sementara teman-temannya hanya fokus pada Bahasa Arab klasik.

"Ulil sosok santri yang gila membaca. Di sela menekuni pelajaran-pelajaran pesantren ia menggemari sastra. Empat tokoh sastra Indonesia menjadi pujaannya: Chairil Anwar, Gunawan Mohammad, Rendra dan Sapardi Djoko Damono. Kegemaran pada sastra ini mengantarkannya pada bidang-bidang lain, terutama bacaan populer yang didapat dari buku, koran dan majalah bekas. Di situ ia ”berjumpa” dengan Nur Cholis Madjid, Gus Dur dan pemikir-pemikir besar lainnya.

baca juga: Alat Ukur Kebenaran: dalam Buku Imam Ghazali 


Hanya, karena stok bacaan di pesantrennya (yang terletak di desa) sangat terbatas sementara rasa haus akan bacaan itu semakin menderanya, Ulil menjadi borin. Ulil rindu dunia luar. Lebih tepatnya, rindu berjumpa dengan tokoh-tokoh idolanya. Pucuk dicinta ulam tiba. Di saat ia ingin melihat dunia luar, Kiai Sahal menugasinya pergi ke Tebuireng untuk menghadiri suatu acara. Maka muncullah niat “nakal” dalam dirinya: selepas dari Jombang ia ingin kabur ke Jakarta.

Singkat cerita, remaja unyu yang hampir selama hidupnya menjalani masa “pingitan” di pesantren itu benar-benar nekad ke Jakarta. Ia pergi ke sebuah kota yang belum pernah dikunjunginya. Misinya cuma satu: menjadi pembantu salah satu tokoh idolanya, kalau tidak Cak Nur ya Gus Dur. Ulil ingin merelakan dirinya membantu apa saja, asal (ini “udang” dibaliknya) diijinkan membaca sepuas-puasnya isi perpustakaan tokoh tersebut. Ya, Ulil mengincar buku-buku di perpustakaan Cak Nur dan Gus Dur yang konon berisi ribuah buku. Ia sudah sedemian ngiler ingin melahap semuanya.

Tapi misi nekad ini gagal total. Para tokoh pujaan tak ada yang mengangkat telepon darinya. Jadilah ia lontang-lantung sebulan penuh di Jakarta. Sampai suatu ketika, tanpa disengaja, di kantor PBNU ia ”kepergok” gurunya, Kiai Sahal, dan diperintah pulang ke Pati karena kedua orang tuanya panik setelah sebulan tak mendapat kabar apapun dari putra kesayangan mereka.

***

Itu sedikit dari kisah yang Ulil Abshar Abdalla bagikan kepada saya. Dua hari penuh saya menemaninya di Wonosobo. Menjemput dan mengantar kembali suami Mbak Admin Ienas Tsuroiya ini dari dan ke Yogyakarta. Salah satu perjalanan terasyik dalam hidup saya. Insyalaallah akan saya bagi satu per satu di sini. Sampai jumpa.(insyaallah bersambung)
Keterangan foto:
Rehat ngopi sejenak dalam perjalanan Yogya-Wonosobo."[]

Redaksi 
Sumber gambar: Facebook Abdul Arif

Posting Komentar untuk "Ulil Abshar Abdalla Dimata Mereka (1): Masa Kecil Ulil"