Impor Pangan: Tuntutan Reforma Agraria Sejati
Oleh : Ganda M Sihite
https://nusantara.news/
“Mengenyahkan kemiskinan
dari bumi persada Indonesia sesungguhnya merupakan suatu kewajiban dasar bagi
negara dan bangsa. Kemiskinan memang merupakan masalah serius dalam
kehidupan kita berbangsa dan bernegara,”-Bung karno dalam Pidato kelahiran
Pancasila 1 Juni 1945.
Ancaman nyata
neoliberalisme dibidang pangan tidak hanya termanifestasi dalam relasi
perdagangan internasional, namun juga nampak dari campur tangan pasar yang
terlalu jauh dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Persoalan pangan bagi
bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lainnya didunia ini adalah merupakan
persoalan yang mendasar dan sangat menentukan nasib bangsa. Ketergantungan
pangan dapat berarti terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap
suatu kelompok, baik negara lain maupun kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya serta
jauh dari cita-cita proklamasi 1945.
\Mengacu pada UU No.7
Tahun 1996, konsep ketahanan pangan yang di implemntasikan pemerintah hanya
tebatas pada kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah mutunya, aman, merata, dan
terjangkau. Konsep tersebut sangat lah persis dengan konsep ketahanan pangan
yang dicanangkan oleh FAO (Food and Agriculture
Organization) yakni tanpa melihat dari mana pangan tersebut dihasilkan atau
dengan cara apa pangan tersebut dihasilkan.
Ketimpangan
atas tanah pertanian turut pula mempengaruhi kedaulatan pangan dalam suatu
negara. Ketimpangan yang umumnya terjadi adalah ketimpangan dalam alokasi
sumber agraria, terutama tanah: sebaran pemilikan, penguasaan dan penggunaa
tanah, yang bermuara pada ketimpangan pendapatan. Masalah ketimpangan ini
menjadi kian rumit karena bermuara pada semakin meningkatnya laju angka
kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data BPS,jumlah penduduk miskin di
Indonesia per September 2016 mencapai 27,76 juta orang, sedangkan pada Maret
2016 jumlah penduduk miskin lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan
perkotaan. Jumlah penduduk miskin di pedesaan pada Maret 2016 sebesar 17,94
juta orang (14,21%) sementara di perkotaan 10,65 juta orang(8,29%). Angka ini
dengan menggunakan indikator bahwa konsumsi per kapita kurang dari 2.100 kalori
per hari. Tentu angkanya akan semakin membengkak jika menggunakan kriteria Bank
Dunia yakni penghasilan penduduk dibawah US $ 2,- per hari. Namun, kenyataan
obyektif yang masih tergambar adalah lebih dari 70 % rakyat hidup di pedesaan,
sekitar 50 % dari total angkatan kerja nasioanal menggantungkan nasibnya
bekerja disektor pertanian.
Kehadiran IMF di Indonesia pascakrisis ekonomi
justru semakin memperburuk kondisi petani Indonesia. Setiap kebijakan-kebijakan
yang diluncurkan IMF menciptakan pasar domestik yang sangat ramah impor dan
menyulap Indonesia menjadi Negara berkembang paling liberal di dunia. Selain itu
setiap kebijakan kebijakan pemerintah menjadi mandul terutama terhadap
kebijakan disektor pertanian yang berada dalam dikte-dikte IMF. Sejak saat
itulah tujuan kebijakan pangan khususnya beras semakin tidak jelas dan
menyebabkan impor pun melonjak sangat tinggi dan ekspor komoditas pertanian
merosot. Sehingga sejak tahun 1994 hingga sekarang Indonesia jatuh dari negara Net Food Ekporter
Country menjadi Net
Food Importir Country dimana angka ketergantungan impor atas berbagai
komoditas pangan terus menanjak. Pertanian sebagai basis penghidupan petani
terancam, digantikan oleh pangan impor.
Nyatanya kebijakan impor yang dilakukan pemerintah saat
ini sangatlah menekan kehidupan warga negara yang sebagian besar merupakan
penghasil pangan. Yang memperihatinkan adalah gempuran impor beras dan garam
dalam beberapa bulan terakhir. Sejak tahun 2005 hingga saat ini revitalisasi
pertanian oleh pemerintah tidak berjalan dengan maksimal. Seandainya
berjalan,Impor Pangan besar besaran sampai saat ini tidak akan terjadi.
Semua Upaya hanya kebutuhan kosmetik belaka tanpa menanggulangi akar masalah.
kemiskinan dan Impor pangan besar-besaran terjadi karena diakibatkan oleh
kemiskinan diperkotaan yang penduduknya tergusur akibat derita desa. Penduduk
didesa tidak diberi aset sumber daya lahan. Sehingga Pertanian selalu
menghasilkan defisit, akibat tidak secara nyata menyediakan tanaman pangan
sebagai modal untuk kesejahteraan petani.
Krisis
agraria menyebabkan terjadinya kelangkaan tanah,sedangkan kebutuhan tanah bagi
manusia semakin besar. Kebutuhan tanah yang semakin besar ini sejalan dengan
pertambahan penduduk yang semakin melonjak. Tanah yang jumlahnya tetap tidak
dapat mendukung dan memenuhi kebutuhan hidup manusia karena pertumbuhan
penduduk yang seperti deret ukur. Kecenderungan daya lahan/tanah yang semakin
menurun terhadap kehidupan manusia menjadi satu masalah yang pelik dan dapat
menimbulkan perebutan atas kepentingan tanah , terutama bagi masyarakat desa
yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya tanah.
Pemilikan dan penguasaan atas tanah di Indonesia khususnya di daerah pedesaan
biasanya hanya dimiliki oleh golongan tertentu yang memiliki modal aset.
Sedangkan terhadap masyarakat yang berada pada strata ekonomi bawah tetap saja
terhimpit dalam garis kemiskinan. Dengan adanya pemusatan pemilikan dan
penguasaan tanah terhadap lapisan pada masyarakat menyebabkan ketimpangan dan
kesenjangan antar golongan sosial ekonomi. Kesenjangan dan ketegangan
penguasaan,pemilikan dan pemanfaatan tanah dan SDA antara unit-unit penguasaan
tanah skala besar (perusahaan, badan kehutanan, dll) berbanding dengan unit
rumah tangga petani skala kecil (petani gurem,petani tak bertanah, atau buruh
tani) sehingga menimbulkan ketidakadilan agraria di Indonesia.
Seiring
dengan ekspansi modal asing yang tertanam di Indonesia, peruntukan tanah juga
makin tertuju pada kepentingan bisnis. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam
catatannta menyatakan bahwa lebih dari 35 persen daratan Indonesia
dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya
pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Lebih dari 70 persen aset
nasional produktif yang sebagian besar berupa tanah, hanya 0,02 persen dikuasai
oleh penduduk (Winoto,2007). Menurut BPN 0,2 persen penduduk menguasai 56
persen aset tanah di Indonesia. Mudahnya pemberian konsesi berupa ijin dan hak
kepada pengusaha adalah muara ketimpangan struktur agraria nasional yang kian
melebar. Selama ini tumpukan izin yang dilahirkan oleh pemerintah sudah begitu
banyak dan mencerminkan kemudahan investasi diatas lapangan agraria. Problem
keberpihakan politik agraria nasional yang tidak memihak terhadap rakyat
sebenarnya menjadi sumber masalah agraria di Indonesia.
Pada sektor perkebunan, kelapa sawit di Indonesia dalam
dekade tujuh tahun terakhir, naik sekitar 2,49-11,33 % per tahun. Dari luasan
itu sebagian besar dikuasai oleh segelintir kelompok korporasi besar saja. Di
sektor pertambangan, 64,2 juta ha tanah (33,7% daratan) telah diberikan izin
kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Angka tersebut belum
termasuk luas konsesi pertambangan mineral dan batubara. Dalam sektor
kehutanan, luas kawasan hutan dan perairan Indonesia sampai dengan 2013 adalah
131.156.904,97 ha, hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan. Selain itu Kemenhut telah mengeluarkan
sebanyak 331 unit izin HTI (SK Defenitif, SK Sementara, Total Pencadangan)
dengan luas areal 13.411.012 juta ha. Sedangkan izin bagi Hutan Tanaman Rakyat
melalui (IUPHHK-HTR) yang hanya seluas 188.573 ha dengan jumlah pemegang
izin sebanyak sebanyak 6.413 unit (Galih, 2016).
Hilangnya akses dan kontrol rakyat miskin di pedesaan dan
pendalaman terhadap sumber-sumber agraria telah berkontribusi terhadap
kecenderungan menghilangnya kelas dan profesi petani. Kegentingan tersebut
semakin menunjukkan bahwa, jumlah rumah tangga petani menurun hingga 5,09 juta
selama 10 terakhir (setiap menitnya 1 rumah tangga petani hilang,begitu pun
0,25 ha lahan pertanian hilang menjadi non-pertanian). Jika rata-rata
laju penurunan rumah tangga petani 1,75 per tahun,maka dalam jangka waktu 57
tahun kedepan jumlah rumah tangga petani sama dengan nol, bahkan jika laju
penurunan tersebut semakin meningkat tiap tahunnya maka kurang 57 tahun lagi
petani di Indonesia punah. Jika kondisi tersebut semakin terus berlanjut sampai
era atau rejim berikutnya maka Indonesia menjadi krisis akan swasembada pangan
dan bertumpu pada kebijakan impor pangan yang membunuh perekonomian Negara.
Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara Impor pangan terbesar di
dunia.
Berdasarkan data Jurnal Statistik Ekspor Impor komoditas
pertanian (2014), nilai importasi beras secara komulatif terus mengalami
peningkatan,yakni sejak pada tahun 2005-2009 mencapai 883,84 dolar AS dengan
volume 2,57 juta ton,dan pada tahun 2010-2013 mencapai 3,12 miliar dolar AS
dengan volume 5,83 juta ton hingga sampai saat ini semakin bertambah dari angka
angka sebelumnya. Data tersebut menunjukkan bahwa importasi besar terus
meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Pada kurun waktu lima tahun,
impor pangan Indonesia semakin terus meningkat, terutama dari 16 komponen
pangan utama mengalami peningkatan impor antara 35 %- 331 % dengan rata-rata
118,3 % .
Indonesia yang tergolong sebagai negara agraris tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan akan masyarakatnya. Hal tersebut nampak
dari banyaknya kasus kelaparan, gizi buruk, dan jumlah impor pangan Indonesia
yang sangat besar yang mengisyaratkan bahwa Indonesia belum dalam kondisi
“tahan pangan”. Namun isyarat tersebut hanya sekedar slogan sebagai hiburan
terhadap masyarakat akibat dari kondisi agraria nasional yang saat ini
mengalami kegentingan dan ketidakadilan. Sehingga menimbulkan berbagai problem
agraria yang semakin menyusutkan rumah tangga petani skala kecil (petani gurem,
petani tak bertanah, buruh tani, dll).
Persoalan pangan bagi bangsa Indonesia dan juga bagi
bangsa-bangsa lainnya di dunia meruapak suatu persoalan yang sangat mendasar
dan sangat menentukan nasib dari suatu negara. Ketergantungan pangan dapat
menjadikan terbelenggunya kemerdakaan bangsa dan rakyat terhadap suatu
kelompok, baik negara lain maupun terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya.
Suatu negara dapat dikatakan aman apabila mampu memenuhi pangannya bagi negara
sampai ditingkat perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup
tanpa melaksanakan kebijakan impor, baik jumlah maupun mutunya, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama dan
produktif secara berkelanjutan.
Berdasarkan hal tersebut membuktikan 3 hal dalam satu
generasi terakhir ini. Pertama, orang
Indonesia pada umumnya makin sejahtera secara substansial,Kedua, telah
terjadi pengurangan kemiskinan yang besar.Ketiga, Separuh
rakyat Indonesia masih sangat miskin. Sementara itu hingga saat ini para elite
politik dan partai serta para pengusaha masih berbangga dengan data angka
kemiskinan. Jika dilihat hari ini, Tripetaka,Impor bangan pangan dan data data
produksi masyarakat apabila dikaitkan dengan perspektif Dillon,maka hal itu
merupakan suatu peringatan alam kepada kita manusia dengan terlalu mendewakan
pertumbuhan sehingga menghilangkan nilai nilai esensial daripada kelangsungan
suatu peradaban saat ini.
Menjelang 20 tahun Reformasi, Potret kehidupan
rakyat Indonesia kendati selalu dihibur oleh angka angka, namun kemiskinan
masih terus saja melekat dalam kehidupan para petani kecil,buruh tani dan kaum
marjinal lainnya. Seiring dengan hal tersebut, banyak sekali kisah kisah
nestapa kehidupan rakyat miskin yang selalu mengusik rasa kemanusiaan . Melihat
kenyataan pahit kehidupan rakyat tersebut, apakah kita masih mewarisi
kepekaan,kepeduliaan,semangat dan kesadaran para pendahulu kita? bagaiman
sesungguhnya suasana bathin penyelenggara negara dalam melihat realitas
kehidupan rakyat tersebut? Memang malang nasib petani di Indonesia, tidak
banyak pihak yang membela dan memperjuangkan hidup dan kesejahteraan mereka.
Para sarjana zaman belanda mendukung immobilitas masyarakat desa dan para
sarjana zaman kemerdekaan hingga sekrang mendukung pendekatan kapitalistik
dengan mengabaikan masyarakat petani, alih-alih menciptakan pemerataan
kemakmuran,strateginya justru malah menyuburkan dominasi segelintir kelompok
ekonomi.
Resiko munculnya krisis pangan di Indonesia sebagai
negeri agraris sudah terjadi dan bahkan menjadi suatu malapetaka yang semakin
masif jika tidak diatasi secara optimal tanpa mekanisme impor. Setiap tahun
produksi pertanian di Indonesia cenderung mengalami penurunan, sedangkan
permintaan di Indonesia cenderung semakin meningkat akibat dari pertumbuhan
penduduk dan peningkatan pertumbuhan kelas menengah yang cukup
besar. Ironisnya lagi bahwa kebijakan pemerintah untuk menutupi kekurangan
antara kebutuhan pangan dan ketersediaan pangan adalah dengan mekanisme impor
pangan.
Menilik fakta-fakta itu terlihat jelas kekeliruan
mendasar dari pada paradigma pembangunan. Kenyataan itu jelas merupakan suatu
tantangan sekaligus peluang untuk mengangkat harkat petani yang pada gilirannya
akan memperkokoh usaha kemerdekaan Indonesia.”Manakala kita telah berhasil
memberdayakan manusia petani, barulah kita mulai memikirkan pembangunan sistem
agrobisnisnya. Selama ini kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah harga
pangan murah dan stabilitas sosial terjadi, bahan baku yang bersaing dan upah
buruh tani yang harus rendah agar menghasilkan devisa ditangan pemerintah.
Akibatnya, petani di perdesaan menjadi korban ketidak-adilan bertahun
tahun.
Hingga saat ini, yang selalu dilihat oleh pemerintah
adalah kepentingan jangka pendek yang dirumuskan dengan istilah sandang dan
pangan murah dan negara Stabil. Yang seakan-akan sudah menjadi fitrah mereka
yaitu sebatas politisi dan bukan negarawan yang berpikir dan bertindak jauh
kedepan yakni membangun bangsa dari generasi ke generasi. Satu hal strategis
yang seakan terlupakan hingga saat ini adalah masalah struktur penguasaan tanah
dan hubungan produksi disektor pertaniaan di Indonesia. Sebagaimana diketahui
bahwa tanah adalah hal terpenting dan berpengaruh luas terhadap tingkat kemakmuran
rakyat. Karena tanah merupakan faktor produksi utama bagi rakyat.
Sekarang ini bukan lagi isu ketahanan pangan yang
penting,namun kedaulatan pangan. Konsep kedaulatan pangan merupakan konsep
pemenuhan pangan melalui produksi lokal . Kedaulatan pangan merupakan
konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gzi baik dan sesuai secara
budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan rumah
lingkungan. Artinya kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip
diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan
juga merupakan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya
sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga yang
berdasarkan pada prinsip solidaritas (SPI,2015).
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus
menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas
tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal
penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian
pangan produktif di pulau Jawa.
Baca juga: Cinta Inggit Garnasih Untuk Soekarno
Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju
pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk
mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan
upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka
program ketahanan pangan nasional. Pentingnya persoalan pangan bagi masyarakat
Indonesia tidak perlu dipertanyakan kembali. Sehingga setiap pemimpin Indonesia
dituntut untuk memiliki solusi yang efektif untuk menangani persoalan-persoalan
pangan yang dialami Indonesia. Untuk itu cara yang paling efektif saat ini
dilakukan supaya konsep kedaulatan pangan yang saat ini tengah
diperjuangkan oleh gerakan tani tidaklah sebatas mimpi atau slogan,yaitu dengan
secepatnya melaksanakan reforma agraria sejati secara optimal dan menyeluruh.
Reforma agraria sejati merupakan suatau tuntutan dan
gagasan terbaik dengan restrukturisasi (penataan ulang) pemilikan,
penguasaan serta penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah untuk
kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil sehingga kaum tani miskin
tersebut dapat terangkat derajatnya. Indonesia harus Back to basic ,
tanah yang ada didekat permukiman yang sanagat padat harus diberikan kepada
rakyat untuk didayagunakan agar mencukupi kebutuhan pangan. Pertanian paling
tepat dikembalikan ke tanaman-tanaman lokal dengan didukung oleh teknologi dan
ilmu pengetahuan.
Dilaksanakannya reforma agraria menurut UUPA adalah untuk
menciptakan keadilan sosial, peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan
rakyat untuk mewujudkan tujuan kemerdakaan bangsa yang terangkum dalam
Pembukaan UUD 1945 dan terjemahan dari praktek ekonomi negara pada pasal 33 UUD
1945. Selain tujuan menurut UUPA tersebut diatas,tujuan lain dilaksanakan nya
reforma agraria secara cepat yaitu dalam mewujdukan kedaulatan pangan
,menanggulangi krisis pangan dan potensi kelaparan,dan menjaga keutuhan
teritorial dan menjaga NKRI.
Reforma
agraria sejati dapat menjadi suatu basis yang besar dalam pembangunan nasional
terutama dalam aspek pangan dan agraria, sehingga tercipta Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang agraris dan tahan pangan tanpa slogan yang
menghibur masyarakat. Kini saat nya Indonesia mengubah paradigma pembangunannya
bukan lagi mengejar pertumbuhan, tetapi mewujudkan keadilan sosial dengan
kembali ke petani dan buruh tani di pedesaan. Pertanian bukan dikejar demi
pertanian, tetapi pertanian sebagai tahapan untuk naik kelas atau menuju
tahapan yang lebih baik. Pertumbuhan tetap penting, tetapi pertumbuhan
diupayakan melalui keadilan sosial atau growth trough equity dengan
people
driven development yaitu mendorong dan memfasilitasi rakyat menjadi
aset bangsa yang produktif.[]
Posting Komentar untuk "Impor Pangan: Tuntutan Reforma Agraria Sejati"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!