Ajaran Islam Revolusioner dalam Rumpun Nasionalisme
Oleh: Dani Ramdani (GMNI UIN Sunan Gunung Djati)
Begitulah rakyat
Indonesia kita ini, insaf akan tragis nasibnya, sebagaian sama bernaung di
bawah bendera hijau, dengan muka ke arah qiQblah,
mulut mengaji La Haula Wala Kauwata illa
billah dan Billahi Fisabilill ilahi!.
Mula-mula masih
perlahan-lahan, dan belum begitu terang-benderanglah jalan yang harus
diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya,
makin lama makin banyaklah hubunganannya dengan pergerakan-pergerakan islam di
negeri-negeri lain, makin teranglah ia menunjukan perangainya yang
Internasional, makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama,
karenanya, tak heranlah kita, kalo seorang profesor amerika, Ralston Hayden,
menulis bahwa Pergerakan Serikat Islam ini “akan berpengaruh besar atas
kejadiannya politik di kelak kemudian hari, bukan saja di indonesia, tetapi di seluruh
Dunia Timur jua adanya” ralston hayden dengan ini menunjukan keyakinannya akan
perangai internasionaldari pergerakan sarekat islam itu, ia menunjukan pula
suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum terjadi
pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannnya telah terjadi ? pergerakan islam
di indonesia telah nikut menjadi cabangnya Mu’
Tamar-Ul’ Alamil Islami di Mekkah, Pergerakan Islam Indonesia telah
menceburkan diri dalam laut perjuangan Islam Asia.
Makin
mendalamnya pendirian atas keagamaan pergerakan Islam ini menyebabkan keseganan
kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu. Dan makin
kemukannya sifat internasional itu oleh kaum Nasionalis “kolot” dipandang
tersesat, sedang hampir semua kaum nasionalis, baik “kolot” maupun “muda”, baik
evolusioner maupun revolusioner, sama berkeyakinan bahwa agama itu tidak boleh
dibawa-bawa ke dalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang “fanatik”,
sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis, menghina politik
kerezekian dari kaum Marxis, mereka memandang politik kebangsaan itu sebagai
sempit., dan mengatakan politik kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata,
sudah “sempurna”-lah adanya perselisihan paham.
Nasionalis-Nasionalis
dan Marxis-Marxis tadi sama menuduh pada agama islam, yang negeri-negeri Islam itu
kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir semuanya di
bawah pemerintahan negeri-negeri Barat. Mereka kusut paham! Bukan Islam,
melainkan yang memeluknyalah yang salah! sebab tidak dipandang dari pendirian
nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam pada mulanya
sukar dicari bandingannya. Rusaknya kebesaran nasional, rusaknya Sosialisme Islam
bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri. Rusaknya Islam itu ialah oleh karena
rusaknya budi pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiyah
mengutamakan asas dinastis-keduniawian untuk aturan Khalifah, sesudahnya
khalifah-khalifah itu menjadi raja, maka padamlah tabiat Islam sesungguhnya, “Amir
Muawiyah yang harus memikul pertanggung jawab atas rusaknya tabiat Islam yang
nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya“. Begitulah Oemar Said
Tjokroaminoto berkata.
Islam sejati tidaklah
mengandung asas anti-nasionalis, Islam yang sejati tidaklah bertabiat
anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi paham-paham Nasionalisme yang
luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas
sirothol mustaqim, selama itu
tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi. Kita sama
sekali tidak megatakan yang islam itu setuju pada materialismenya atau
perbendaan sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melibihi bangsa, super
nasional. Kita hanya mengatakan Islam sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang
sosialistis yang menempatkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban Nasionalis
pula!.
Bukankah sebagai
yang sudah kita terangkan, Islam yang sejati mewajibakan pada pemeluknya
mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk
rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam?
Seyid Jamaludin El Afgani di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan
patriotisme, yang oleh musuhnya lantas saja disebutkan “fanatisme” dimana-mana
pendekar Pan-islamisme itu mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri.
Mengkhotbahkan rasa luhur-diri. Mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang
oleh musuhnya lantas saja dinamakan “chauvinisme” adanya. Dimana-mana, terutama
di mesir, maka Sayid Jamaluddin menanam benih Nasionalisme itu, Seyid
Jamaluddin El Afgani yang menjadi “Bapak Nasionalisme Mesir” di dalam segenap
bagian-bagiannya.
Dan bukan Seyid
Jamaludin saja yang menjadi penanaman benih Nasionalisme dan cinta bangsa.
Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohamad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff, Mohammad
Ali dan Shaukat Ali, semuanya adalah panglimanya Islam yang mengajarkan
cinta-bangsa, semuanya adalah propagandis Nasionalisme di masing-masing
negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin ini menjadi teladan bagi Islamis-Islamis
kita yang “fanatik” dan sempit budi, dan yang tidak suka, mengetahui akan
wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang Nasionalistis.
Jikalau umat Islam
tetap tidak mengindahkan pengajaran-pengajaran besar sejarahnya sendiri,
jikalau pemuka-pemuka Islam di Indonesia tidak mengikuti jejaknya
pemimpin-pemimpin besar di negeri lain seperti, Mohammad Ali, Farid Wadjdi,
Kwadja Kamaludin, Amir Ali, dll. Yang menghendaki satu kebangunan roh baru di
dalam dunia Islam – jikalau pemuka-pemuka kita itu hanya mau bersifat ulama-
ulama fiqh saja dan bukan pemimpin kejiwaan sejati—maka janganlah ada harapan
umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa atau kekuatan jiwa yang
hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaaan aib yang sekarang ini.
Janganlah kita
ada harapan dapat mencapai persanggupannya Allah yang tertulis di atas tubuhnya
kuda—seberani tadi itu. Janganlah kita kira diri kita sudah Mukmin, tetapi
hendaklah kita insyaf bahwa banyak di kalangan kita yang islamnya masih islam sontoloyo.
Sumber :
·
Islam sontoloyo dalam
buku Dibawah Bendera Revolusi karya Ir. Sukarno Hal
: 54.
· Nasionalisme,
Islamisme, Marxisme dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Karya Ir. Sukarno Hal
: 11-15.
Posting Komentar untuk "Ajaran Islam Revolusioner dalam Rumpun Nasionalisme"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!