Peran Intelektual: Telaah Progres Atas Pemikiran E. Said & A. Gramsci
Oleh: Nazaruddin Ali
http://www.tribunal1965.org
Jelas terlihat bias kepentingan (kekuasaan) dalam konsepsi ideologi tersebut, bagi Gramsci tujuan partai atau kelompok sosialis adalah terbentuknya masyarakat sosialis itu sendiri. Dengan konsepsi ideologi ini tentu (partai, kelompok) sosialis harus menjadikan dirinya inklusif/terbuka serta mampu melakukan perubahan secara terus menerus kearah perjuangan kelas.
http://www.tribunal1965.org
Ada
dua nama yang muncul dalam benak saya ketika dihadapakan gagasan
tentang Intelektual, sebagai spektrum perjalanan sejarah.
Sosok itu adalah Edward W. Said dan Antonio
Gramsci. Kedua tokoh ini memiliki latar tradisi pemikiran yang
berbeda serta perjuangan yang berbeda pula.
Namun, ada pola kesamaan dari kedua tokoh ini terhadap posisi seorang
intelektual dalam kehidupan sosial:
yaitu bahwa kaum intelektual memiliki peran
penting dan tanggung jawab terhadap kehidupan sosial.
Edward
W. Said lahir di Yerusalem tahun 1935 M. Edward W. Said merupakan
putra seorang pedagang Arab makmur. Pada tahun 1937 M, ia dikirim
orang tuanya ke Kairo untuk belajar di Victoria College, sekolah
elite di Timurn Tengah. Di sana semua gurunya orang Inggris.
Pendidikan yang benar-benar bergaya Inggris ini membuat dia menjadi
warga Inggris, bukan lagi seorang anak muda Arab. Pada usia 15 tahun,
ia dipindahkan ayahnya yang berkewarganegaraan Palestina-Amerika
Serikat, ke Massachusets. Pada umur 18 tahun, Edward W. Said menjadi
warga negara Amerika Serikat. Namun, bukan berarti pendidikan Barat
telah melunturkan perhatiannya kepada negeri kelahirannya. Panggilan
tanah leluhur Palestina semakin mengusik kesadarannya.
Ia
tidak lagi sekedar akademisi yang bergelut dengan teori-teori sastra.
Tapi telah menjadi aktivis yang merangkap sebagai pengajar untuk
kepentingan Palestina dan dunia Arab pada umumnya.
Sedangkan
Antonio Gramsci lahir
di Italia tahun 1891.
Di dalam diskursus
filsafat, Gramsci dikenal sebagai
seorang filsuf Marxian dari Italia dengan gagasann
prosesnya tentang intelektual
organik. Ia pernah menjadi anggota pendiri
dan kemudian menjadi pemimpin Partai Komunis Italia. Gramsci sempat
menjalani penjara pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini
(1926-1937). Ia
dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi
pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu
konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan
negara dalam sebuah masyarakat berpaham kapitalisme.
Edward
W. Said,
Intelektual
“E. Said
vs Julian Benda”
Pandangan
tentang Intelektual di dalam pemikiran Edward W. Said sebenarnya
adalah tanggapan kritis kepada Julian Benda (1867-1956)
dalam karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Pengkhianatan
Kaum Cendikiawan) yang menggambarkan cendekiawan dalam sosok ideal
yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar
tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah
seni, ilmu atau renungan metafisik mereka adalah para ilmuwan,
filsuf, seniman dan ahli metafisika. Benda
mengutip khotbah Yesus di bukit. Singkatnya, Benda menyebut
cendikiawan sejati ini dengan prinsip “kerajaanku bukan di bumi”.
Karya kritis Edwad W.
Said adalah
“Representations of the
intellectual ” yang kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia
oleh Penebit Buku Obor dangan judul “Peran Intelektual”.
Dengan
tegas Edward W. Said menyatakan,
bahwa seorang
intelektual tidaklah berada di menara gading. Sebaliknya, mereka
terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan. Pekerjaan seorang
intelektual adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan, selalu
sadar akan tugasnya untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan
atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Dalam
hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang
kritis terhadap kekuasaan. Edwar
W. Said mencela kaum cendekia yang suka
bersolek dan memilih diam demi kehati-hatian atau
malah takut jabatannya akan tercopot demi sebuah tujuan menyatakan
kebenaran dan mendukung kebenaran.
Seorang
Cendekiawan baik
yang berasal dari kalangan
mahasiswa, politisi, dosen, bangsawan, atau apapun namanya itu,
menurut Edwar W.
Said,
tidaklah ia
bebas nilai atau netral. Sebaiknya seorang intelektual
harus berpihak yaitu kepada
kelompok atau
kaum lemah yang tertindas. Ia
mengingatkan kita
bahwa apabila
kaum intelektual mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas maka
intelektual itu akan menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari
pemilikan, kuasa dan kehormatan. Sebab
ia oposisi terhadap kedzaliman.
Intelektual
Profesional
Seorang
intelektual selalu berada di antara kesendirian dan pengasingan.
Suara seorang intelektual adalah suara kesepian. Tapi suara ini akan
bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas
sebuah gerakan, aspirasi dan pengejaran cita-cita bersama
bukan malah pembodohan atau
menggunakan jabatannya, posisinya dalam struktur sosial menjadi
sebagai abdi penguasa dzalim
atau kapital yang menghisap hak rakyat banyak.
Itulah
mengapa kita menemukan garis merah atau penggambaran dari Edwar W.
Said, bahwa karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan
marjinal, sebagai amatir dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang
mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan.
Pada
posisi ini, kita melihat seruan Edwar W. Said
pada dunia masyarakat modern agar
menjadi sorotan kita bersama;
Apakah peran
intelektual
yang di harapkan oleh beliau tersebut telah teramini dari kita semua?
Atau minimal oleh kalangan
terpelajar dari jajaran dosen dan mahasiswa serta pada para politisi
Indonesia? Ataukah kita ataupun kampus kita (UIN Sunan Sunan
Kalijaga) malah menjadi Abdi atau Taklid buta pada kekuasaan?
Dan
orang-orang yang tetap menghibahkan dirinya, mengabdikan dirinya di
dalam perjuangan perubahan sosial untuk mengangkat amanat penderitaan
rakyat, Edwar W. Said
menyebutnya itulah orang-orang intelektual
profesional yang sebenar-benarnya.
Melepaskan diri dari kepentingan dan keterikatan-keterikatan yang
akan membawa pada pembohongan publik. Tapi tetap selalu berperan
penting di dalam
mengatakan kebenaran
pada kekuasaan.
Hal
ini sangat jelas, meskipun Edwad W. Said
berproses dan menjadi tokoh
intelektual di Amerika, namun
karyanya membuat orang-orang Eropa dan Amerika
serta Israel tersudutkan, hingga hari ini para intelktual barat tidak
mau disebut sebagai orientalis. Sebab kata orientalisme menjadi suara
kelantangan Edwar W. Said
kepada dunia bahwa peradaban Eropa
dengan imprealismenya telah menjadikan institusi
pendidikan sebagai wadah penelitian yang beriorentasi untuk
menaklukkan
bangsa jajahan melalui para peneliti
(orientalis).
Lalu,
kita sebagai mahasiswa harus menjadi
seperti apa? Apakah akan ikut bersama-sama dalam barisan Edwad W.
Said sebagai intelektual profesional
(bukan intelektual
bayaran/abal-abalan) guna mewujudkan keadilan
sosial dengan segenap segala hal yang kita miliki? Ataukah
malah menjadi abdi Nekolim (neo-kolonialisme
dan imperialisme) justru malah memerangi intelektual
profesional
ala Edwar W. Said?
Antonio
Gramsci:
Hegenomi
dan Negara
Konsep Gramsci
tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan
kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya dengan
persuasi.
Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan
kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan
kepemimpinan politik dan ideologi
ataupun yang lain. Hegemoni adalah suatu
organisasi konsensus dalam
mempengaruhi. Seperti
yang diulasnya dalam
beberapa karyanya, Prison Notebooks.
Hegemoni
bagi Gramsci adalah kemampuan untuk mengakomodasikan semua
kepentingan kelompok lain sehingga mau memberikan dukungan, serta
berpartisipasi. Dengan jalan inilah sebenarnya kekuasaan dapat
dicapai serta dapat dipertahankan. Negara dalam hal ini dimaknai
sebagai pelayanan sipil yang menyangkut kesejahteraan rakyat dan
penyedia pendidikan bagi masyarakatnya. Dan
juga kampus, media merupakan salah satu alat atau instrumen hegemoni
berlangsung. Sebab hegemoni hadir mewujudkan dirinya secara halus.
Bagi
Gramsci, di dalam masyarakat, baik itu masyarakat sipil atau
masyarakat politik. Proses hegemoni terus berlangsung dan saling
memiliki intekkoneksi sesuai kepentingannya masing-masing yang
merujuk pada kapitalis dan pemerintah/penguasa. Bahkan kapitalisme
mengembangkan dirinya melalui hegemoni. Baik itu hegemoni lewat
media, negara, atau jabatan dalam perusahaan dan sebagainya. Dan
untuk mewujudkan sosialisme, atau menyelamatkan kasum tertindas dan
menciptakan sebuah sistem yang tidak lagi ada keberpihakan sepihak
secara radikal oleh para kapitalis, maka disinilah intelektual
organik menjadi jawaban oleh Antonio Gramsci. Intelektual
organik dengan ideologi progresnya yang begitu kuat diharapkan untuk
menghegemoni balik, melawan hegemoni kapitalisme atau penguasa yang
mengabdikan diri pada kapitalis, serta bahkan mengambil alih negara
dari tangan kapitalis. Sebab, negara dan alat produski adalah
institusi/alat yang digunakan oleh kapitalis dalam membesarkan
dirinya di atas penderitaan rakyat banyak.
Ideologi
dan Intelektual Organik
Gramsci
beranggapan bahwa ideologi
harus menjadi sebuah kesadaran kolektif, serta ideologi
yang baik adalah ketika mampu
mengakomodasikan kepentingan kelompok, serta bisa untuk menarik
kelompok lain ke dalam kelompok kita. Gramsci melihat bahwa ideologi
itu sifatnya arbriter (berubah-ubah) sesuai dengan
perkembangan pemikiran. Secara tidak langsung, disadari atau tidak
bahwa Gramsci telah menjebakkan dirinya terhadap bias dari
kepentingan kelompok intelektual (organik). Dari kelompok intelektual
inilah, progresifitas akan tumbuh dengan sangat cepat, mengingat
mereka memiliki kemampuan untuk mengorganisir massa. Maka bisa juga
dikatakan bahwa konsepsi ideologi
yang dilihat dari bagaimana konsepsi ideologi
arbriter ini adalah dari sudut pandang paradigma sistem.
Maka kita juga akan menemukan seperti yang dikatakan oleh Habermas
sebagai solidaritas budaya dan komunitas masyarakat itu terbentuk.
Jelas terlihat bias kepentingan (kekuasaan) dalam konsepsi ideologi tersebut, bagi Gramsci tujuan partai atau kelompok sosialis adalah terbentuknya masyarakat sosialis itu sendiri. Dengan konsepsi ideologi ini tentu (partai, kelompok) sosialis harus menjadikan dirinya inklusif/terbuka serta mampu melakukan perubahan secara terus menerus kearah perjuangan kelas.
Bagi
Gramsci, kaum intelektual terdiri dari dua wilayah, yakni teori
(intelektual tradisional) dan menghubungkannya dengan realitas sosial
(intelektual organik).
Intelektual organik
dengan demikian adalah intelektual yang dengan sadar dan
mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada, dan ia
bergabung dengan kelompok-kelompok revolusioner untuk mendukung
dan meng-kounter
hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan dalam
mewujudkan masyarakat sosialis.
Pendasaran
yang paling progres dari Antonio Gramsci adalah bahwa
orang yang
memiliki kesadaran intelektual organik
adalah
mereka
yang mampu
menjadi seorang organisator dalam perubahan atau penyadaran, untuk
membangun kesadaran bahwa selama ini masyarakat sekitarnya telah
terhegemoni dan tertindas.
Peran
Intektual: Edward W.Said & Antonio Gramsci
Entah
mengapa ketika membaca buku E.W.
Said,
sepertinya saya sedang berada dalam dunia Marxian. Tapi sejauh ini
saya tidak menemukan dari E.W.
Said
bahwa pikirannya mendasarkan diri pada Karl Marx. Dan bahkan dia
bukan seorang Marxian pejuang komunis dan hal-hal semacam itu. kesan
itu terjadi karena posisi E.W. Said betul-betul membuktikan ketidak
setujuannya terhadap segala bentuk penindasan-penindasan atau
pembodohan.
Kita
tahu bahwa dia adalah seorang profesor, dan saya menyebutnya sebagai
mahakarya yang kritikus. Ia tahu betul apa yang terjadi dunia
akademis khususnya di eropa dan berusaha mengungkapkan kepada kita
semua bahwa ada kebejatan, atau niat buruk di dalam sebuah institusi
pengetahuan yang berlangsung di erapo dari zaman penjajahan eropa
hingga zaman penjajahan gaya baru hari ini, orang-orang yang
berpengetahuan di eropa dengan intitusi pengetahuannya secara umum
digunakan oleh para pihak imperial untuk memudahkan menaklukkan dunia
jajahan (Asia, Afirika dll) yang hari ini dengan bentuk penjajahan
gaya baru.
Karyanya
membuat kita menyadari satu hal bahwa orang-orang berpengatahuanlah
yang menjadi jawaban mengapa masyarakat dunia terjadi perbudakan,
kebohongan publik, serta ketidak adilan sosial hari. Semua itu karena
orang-orang berpengetahuan tidak lagi profesional. Ia menghambakan
diri pada jabatan, gaji, menjadi hamba dalam perbudakan kapitalis
pengusaan.
Dan
untuk merubah tatanan dunia itu, oang-orang berpengetahuan harus
kembali di jalan yang benar bahwa pengetahuan itu untuk rakyat, untuk
kebenaran, bukan untuk kepentingan yang melanggengkan ketidak adilan
sosial. Harus menjadi intelektual yang profesional, tidak mau
dibayar, disogok, atau diiming-imingi oleh jabatan untuk
sesuatu
yang mengarah pada ketidakmurnian. Intelektual
profesional
yang jelas keberpihakannya, yaitu kebaikan hajat
hidup
sosial dan keadilan.
Dengan
nada terang Edwar W.Said berkata,”berani mengatakan kebenaran
pada penguasa”.
Di
sinilah antara E.W. Said yang meskipun bukanlah kader Marxian
tetapi gigih, dan jujur melihat ketidak-adilan, telah menemukan titik
yang sama dari gagasan intelektual organik dari Antonio Gramsci yang
mendasarkan diri bahwa Intelektual organik menjadi titik sentral di
dalam sebuah perjuangan, atau perubahan sosial.
Singkat
kata: saya menyebutnya bahwa orang-orang yang berpengetahuanlah
yang kemudian memiliki pengaruh penting di dalam kehidupan kita yang
menjadi penentu, sampai kapan dunia akan selalu dibiarkan dalam
kedzaliman dan ketidak adilan.[]
Posting Komentar untuk "Peran Intelektual: Telaah Progres Atas Pemikiran E. Said & A. Gramsci"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!