Eustasius (Sebuah Cerpen Filsafat)
Oleh: Maywin Dwi-Asmara
LENIN mendengar suara
berdebum. Ia bergegas keluar dan menemukan dirinya sendiri terkapar di atas
rumput-rumput yang belum sempat dibersihkan. Diamatinya sosok itu,
bagian-bagian yang tertelungkup di atas rumput tinggi yang menyemak karena
telah lama tak dihiraukan. Sosok dirinya yang seperti baru saja terjatuh itu
merasakan kakinya dingin, pipinya gatal seperti menyentuh ujung-ujung bunga
digitaria; aromanya terhirup lembut. Ia merasa seekor serangga merangkak dari
dalam tanah ke lubang telinganya, suara langkah serangga itu menggema di
gendang telinganya. Ia bangun terperanjat, menemukan dirinya masih di dalam
kamar…
Lenin duduk memiringkan kepalanya dan mulai
mengorek-ngorek lubang telinga mencari serangga yang kini sudah terasa menapaki
saluran eustasius-nya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rupa saluran
eustasius yang sesungguhnya. Ia berharap serangga dalam telinganya kini
menikmati perjalanan di dalam sana dan keluar membawa cerita yang mungkin
menginspirasi Lenin untuk menjelajahi saluran eustasius orang lain.
Semenjak mendapat gagasan untuk menulis dengan cara
yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, Lenin mulai mendengar suara-suara
khayalan-seakan suara itu keluar dari otaknya dan masuk lagi melalui lubang
telinga, merambat menghantarkan getar lewat eustasius, memukul gendang
telinganya dan kembali masuk ke dalam sumber di mana suara itu berasal. Ia
sedikit terkejut karena ternyata tak hanya mendengar suara khayalan. Ia pun
mampu melihat wujud khayalannya. Saat itu ia sedang asyik menghitung
rumus-rumus fisika dasar yang berhubungan dengan jatuhnya sesuatu yang
dipengaruhi oleh gaya tarik bumi. Di pangkuannya ada modul perihal Hukum Newton
dengan tinta warna hitam tebal, angka-angka yang hampir tak terbaca, formulasi
rumus berjajar membentuk kerumitan tanpa garis, tanpa kalimat yang bisa dieja
untuk mengerti dari mana datangnya angka 200 dari akar 400. Sebelum suara itu
terdengar, ia sampai pada pengamatan tentang gerak suatu dimensi. Di bagian itu
ia tertarik pada prinsip gerak jatuh tanpa hambatan. Prinsip itu menjelaskan,
jika sebuah benda jatuh dari ketinggian tertentu dengan besar kecepatan 0, maka
seutuhnya benda itu akan tertarik oleh gaya gravitasi bumi.
Lenin mulai menduga seberapa tinggi gedung apartemen
tempat Veronica tinggal. Saat ia masuk ke dalam apartemen wanita itu, ia
melihat angka terbesar pada lift berhenti pada 15 dengan menghilangkan angka
13-ia yakin bahwa siapa saja yang merancang atau membuat gedung itu pastilah
seorang penderita triskaidekafobia-jadi ada 14 tingkat secara keseluruhan. Jika
masing-masing tingkat dari apartemen itu memiliki ketinggian 2,5 m, maka tinggi
keseluruhan bangunan itu adalah 35 m. Kemudian ia bayangkan menempatkan dirinya
di atap gedung itu dan membiarkan dirinya ditarik gravitasi seperti apel yang
jatuh di hadapan Newton. Ia mulai menghitung berapa lama waktu yang diperlukan
hingga tubuhnya terhempas di atas permukaan tanah; t = dengan kecepatan
gravitasi sebesar 10 m/s2, ia hanya membutuhkan waktu kurang dari 3 detik untuk
terhempas ke permukaan tanah. 3 detik cukupkah untuk mengingat semua kehidupan
yang pernah dijalaninya? Hanya 3 detik dan kematian yang dirindukan akan datang
menghampiri? Sesingkat itukah memanggil kematian? Telinganya berdenging
mendengar suara dentuman keras melalui lubang telinga, merambat menghantarkan
getar lewat eustasius dan memukul gendang telinganya. Lenin terperanjat
mendengar betapa nyatanya suara itu. Ia berlari keluar dan menyaksikan tubuhnya
sendiri terlungkup di atas rerumputan..
Beberapa malam sebelum Lenin mulai mempelajari
rumus-rumus yang berhubungan dengan gravitasi, gerak, dimensi, kejatuhan atau
apa pun itu, ia telah terlebih dahulu jatuh cinta pada Veronica. Wanita ini
mampu membuat Lenin memikirkan hal-hal yang tak pernah dipikirkan; termasuk
memikirkan wanita itu hampir setiap saat meski pada awalnya ia tak pernah
memikirkannya sebelumnya, tepatnya tak pernah sekeras itu. Lenin mengeja nama
wanita itu bagaikan membaca sebaris ayat suci; dengan lembut dan penuh rasa
haru. Pada malam-malam ketika ia tak bisa tidur karena apa pun, bayangan
Veronica menjadi selimut lembut menyelubungi dan membuatnya nyaman. Saat dalam
kebimbangan dan kesulitannya menemukan pembenaran, Lenin seringkali menemukan
perkataan Veronica menjadi fakta yang absolut. Lenin akan selalu terpesona pada
apa pun yang dilakukan Veronica; akan selalu mendengarkan perkataan Veronica
dengan antusiasme yang terkadang berlebihan. Ia akan selalu mengamati setiap
detail pada wajah dan tubuh wanita itu, memeriksa kembali detail-detail yang
luput dari perhatiannya sebelum melepas wanita itu dengan pelukan hangat.
Beberapa malam lalu mereka bertemu di “sarang”
mereka-Lenin menyebutnya begitu. Veronica telah menyiapkan makan malam dan
mereka duduk berhadap-hadapan. Tak ada hujan hari itu. Lenin juga tak bisa
melihat bulan karena jendela di belakang Veronica mengarah ke kegelapan. Lenin
merasa hatinya penuh.
“Betapa menyenangkan melihat kau menikmati makananmu.”
“Benarkah?” Veronica mengangkat tatapannya ke wajah
Lenin, matanya yang coklat bagaikan memancarkan hangat matahari ke dalam hati
Lenin.
“Sungguh, aku selalu menyukainya.”
“Kadang aku merasa sedikit aneh jika kau perhatikan
seperti itu, kau seolah-olah sedang melihat sekuntum bunga purba yang sedang
mekar.”
“Kau benar,” Lenin tersenyum dan melihat Veronica
benar-benar menjadi sekuntum bunga purba yang begitu rapuh dan indah dengan
semua kenangan yang terkatup dalam kelopak-kelopaknya. Rambutnya menjuntai
bagai benang sari yang mengikat nasib para bayi yang belum menemukan pintu
masuk ke dunia ini.
“Kau benar. Kau seperti sekuntum bunga purbakala yang
sedang mekar dan selamanya akan mekar karena kau tak tersentuh waktu.”
Mereka tersenyum dan kembali menikmati makanan tanpa
suara atau percakapan, itu membuat Lenin semakin jatuh cinta padanya;
ketenangannya yang lambat seperti ketika langit jingga senja hari berubah
gelap. Lenin bersyukur karena mampu menikmati ketenangan itu dari wajah
Veronica. Saat acara makan malam yang khidmat itu selesai, mereka akan memulai
percakapan perihal apa saja, apa saja bagi Lenin berarti Veronica dan semua hal
tentang dirinya. Jadi ia selalu berharap Veronica menceritakan sesuatu tentang
buku-buku yang dibacanya, tentang burung yang hinggap pada tali temali yang ia
lihat entah di mana, tentang arwah nenek moyang yang menginjak kakinya, tentang
seorang laki-laki yang baru kembali dari rantauan dan lupa mengeja nama
desanya, tentang sejarah seekor belatung atau nama mahoni, tentang film yang
telah ditontonnya malam lalu, tentang seorang sutradara dan aktor serta aktris
favoritnya, tentang musik dan keinginannya mengumpulkan semua album yang
dimiliki oleh semua musisi yang dikenalnya, tentang seseorang yang memberinya
vodka saat udara begitu dingin menusuk hidungnya yang manis. Apa saja berarti
kemungkinan yang selalu menggairahkan.
Begitulah, malam itu Veronica bercerita tentang buku
yang ia baca, buku itu menyita perhatiannya. Veronica adalah seorang penulis.
Jadi, apa pun yang ia katakan tentang buku, cerita, atau puisi akan terdengar
begitu hidup dan nyata. Ia mulai bersemangat menceritakan tentang cerita yang
sedang ditulisnya. Cerita itu berkisah tentang upaya bunuh diri seorang wanita
dengan cara melompat dari jembatan. Dalam cerita itu ia menuliskan bahwa tokoh
yang ingin bunuh diri itu berusaha menghindari tatapan orang lain agar tak ada
siapa pun yang melihatnya. Secara tidak terduga ia menemukan hal serupa dari
buku yang dibacanya malam sebelumnya. Buku itu juga berkisah perihal seorang
yang melakukan tindakan bunuh diri dengan melompat dari jembatan. Bedanya,
karakter dalam cerita Veronica tidak berhasil melompat karena ada seorang ibu
baik hati yang berusaha menolongnya, sedangkan karakter dalam buku itu berhasil
melompat dan berusaha mati. Karena Lenin sangat ingin menjadi bagian dari
apapun yang Veronica pikirkan, ia mulai berpikir untuk menulis cerita tentang
seseorang yang ingin bunuh diri dengan cara melompat dari jembatan.
Pertemuan terakhir dengan Veronica itu terus
mengganggu Lenin hingga ia memutuskan menulis cerita tentang dirinya sendiri.
“Lenin Endrou duduk termenung menatap dahan pohon yang
berayun. Di dalam kepalanya keinginan untuk bunuh diri begitu kuat. Ia pernah
menyaksikan orang-orang yang begitu putus asa hingga memutuskan untuk bunuh
diri, ia memikirkan hal itu hingga tertidur dan ia bermimpi dirinya jatuh dari
tempat yang sangat tinggi. Ia menyadari dirinya jatuh tepat seperti adegan
dalam film garapan Federico Fellini di mana tokohnya diikat dengan tali seperti
layangan, terbang di atas hamparan laut di bawah langit abu-abu, kemudian jatuh
karena orang yang memegang tali itu menarik-nariknya, memaksanya turun. Ia
merasa terhempas di atas digitaria dan seekor semut masuk ke dalam telinganya.”
Saat mengetik tanda titik, Lenin tahu ia belum sempat
menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuhnya untuk menyentuh tanah, ia
juga belum menetapkan di mana tempat karakter-dirinya itu harus melompat;
karena jembatan-jembatan telah digunakan oleh Veronica dan seorang pengarang
besar yang bukunya telah dibaca Veronica. Hal lain yang membuatnya beralih dari
angka-angka dan hitungan adalah alasan apa yang kira-kira masuk akal bagi
karakter-dirinya itu untuk melakukan upaya bunuh diri?
I Still Can’t Sleep dari Bernard Herrmann mengalun
dari pemutar musik terpantul pada dinding-dinding kamar yang menjaga
imajinasinya. Lenin baru ingat ia telah memutar lagu itu berulang-ulang
semenjak tadi. Tepat sebelum adegan Robert De Niro mulai bercerita tentang
bagaimana buruknya kesepian dan masalah susah tidurnya, Lenin menutup mata. Ia
mulai melihat dirinya berada di puncak sebuah apartemen. Angin dingin
menggoyangkan tubuhnya sebelum ia terjatuh begitu dalam.[]
Maywin Dwi-Asmara,
penulis cerpen dan peneliti. Tahun 2014 mendapat researchfellow dari salah satu
universitas di Bologna, Italia. Pada Oktober 2016 diundang Dewan Kesenian
Jakarta sebagai pemateri dalam Dua Forum Teater Riset. Ia berkhidmat di
Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Posting Komentar untuk "Eustasius (Sebuah Cerpen Filsafat)"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!