Saya Dekat Dengan Teroris
Oleh: Maghfiroh Abdullah Malik |
Tadinya antara percaya dan gak percaya baca skrinsut status2 facebook seseorang yg menganggap kejadian mako brimob dan serangkaian bom di Surabaya adalah konspirasi atau pengalihan isu, karena akun mereka bukan dari orang yg saya kenal. Jadi tambah ragu ketika baca komen salah satu sahabat jurnalis yg bilang akun yg sering diskrinshot itu ternyata akun palsu, orangnya itu-itu saja dengan tujuan tentu mencari klaim bahwa pasukan pendukung aksi-aksi teror memang ada dan banyak, makanya saran temenku tidak usah disebarkan skrinsutan status2 mereka.
Tapi sekarang saya tambah yakin, ternyata mereka benar adanya, mereka bukan akun bodong, mereka manusia yg punya otak tapi mungkin neer hati dan perasaan. Saya kaget bukan main ketika mendapati status facebook seorang doktor yg menganggap teroris itu konspirasi dan pengalihan isu potilitik, padahal dia dosen pula di universitas berbasis keagamaan, tentu bukun UNU. Saya kenal dia karena kebetulan dia berasal dari tanah kelahiran yg sama dengan saya.
Rasanya kepadanya saya ingin berbagi pengalaman pribadi saya berhubungan dan bahkan berkenalan dengan para napi teror, mantan napi teror, dan bahkan keluarganya. Alhamdulillah walaupun pengalaman saya tidak sebanyak temen2 para ahli teroris, tapi persinggungan saya dengan mereka bahkan cukup dekat, cukup memberikan gambaran dan pengetahuan bahwa TERORIS memang NYATA, mereka MUSLIM, dan mereka menggunakan alasan agama untuk melakukan aksi-aksinya.
Di LP Cipinang saya berkenalan dg banyak napi teror, awalnya memang susah mencairkan suasana berbincang dg mereka. Tetapi beberapa kali mengunjungi dan ngobrol walaupun harus ada jarak karena sebagian mereka selalu menundukan pandangan, toh akhirnya saya bisa berbincang banyak juga dg mereka ; dg mantan anggota polisi penyuplai senjata ke kelompok teroris, dg mantan kelas menengah ibu kota yg terjaring kelompok teroris krn mengikuti pengajian2nya dan menjadi penyokong aksi teror dg menyembunyikan pelaku teror, dg mantan kader parta Islam bahkan dinataranya anggota dewan partai tersebut.
Di LP Cirebon kemudian saya lebih dekat dan mudah berhubungan dg para napi teror. Mungkin karena diantara mereka ada yg berasal dari Tegal, yg istrinya berasal dr Brebes selatan yg membuat kami merasa mudah membangun kepercayaan. Dengannya saya sangat akrab, tidak melulu ngobrolin aktifitas ‘teror’nya tetapi juga kehidupannya. Dia dg bangga bercerita kalau dulu di kampung halamannya adalah orang berandalan, tukang berkelahi, dan bisa dibilang preman. Sampai suatu ketika di Jakarta ia bertemu dg kelompok pengajian yg kemudian mengubah jalan hidupnya menjadi teroris. Dan lucunya dia selalu mengolok-olok NU dan Gus Dur dengan kebencian yg sangat, entah dia tidak tahu saya orang NU atau malah sengaja memberikan ‘hidayah’ kepada saya agar berpindah dr NU.
Napi teror lainnya adalah pelaku bom buku, anak muda lugu asli Jogja yg tinggal di Depok- Jawa Barat ini sepertinya merasa nyaman curhat2an dengan saya. Sebut saja Rizal, ia selalu menggelisahkan hidupnya, ia tidak memiliki pekerjaan, padahal anak dan istrinya membutuhkan nafkahnya. Ia terjaring kelompok teroris ketika masih di bangku sekolah dengan mengikuti pengajian-penga jian sampai kemudian menjadi bagian mereka. Ketika bertemu saya di LP Cirebon, beberapa bulan lagi Rizal kebetulan akan bebas keluar dari rumah tahanan. Kemudian Rizal bebas dan kembali ke Jogja, dan kamipun masih berhubungan dengan bertegur sapa lewat handphone. Bahkan saya sempat mengunjungi dia bertemu di Kaliurang Jogja. Rizal kembali meniti karir sbg petani salak pondoh, dan ia sering mengeluhkan hasil panennya yg sangat jauh dari cukup unt menghidupi keluarga. Sayang sekali komunikasi saya dg Rizal harus terputus semenjak HP saya hilang, dan nomor saya sudah kadaluarsa unt dipakai lagi.
Pengetahuan saya tentang teroris lebih terbelalak ketika saya berkesempatan mengunjungi LP Nusakambangan. Di sana saya memang tidak bertemu langsung dg mereka, tapi saya bisa berbincang lebih dalam dengan para petugas Lapas. Mereka yg berada di Nusakambangan tentu bukan napi teror biasa, mereka adalah para pentolan teroris ; termasuk Abu Bakar Baasyir dan Oman Abdurrahman. Saya sempat mengunjungi Lapas Oman Abdurahman, karena di Nusakambangan ada beberapa Lapas yg kebetulan Lapas Oman Abdurrahman berbeda lokasi dengan Abu Bakar Baasyir, di sana petugas Lapas menunjukan lokasi bagaimana Oman Abdurahman menggelar pengajian dari dalam sel khusus, mengingat dia adalah pentolan yg dianggap paling berbahaya saat itu.
Persinggungan saya dengan mantan napi teror justru ketika saya sudah tidak bekerja di lembaga yg mengharuskan saya berhubungan dg mereka. Suami saya kenal dekat dg Ali Fauzi, kami sempat bersilaturahmi ke rumahnya di Lamongan bertemu dengan istri dan anak-anaknya yg sangat banyak. Ali Fauzi adalah salah satu mantan teroris kelas atas yg menjadi kombatan di Filipina, tiga saudara lainnya termasuk alm. Ali Ghufron yg konon menjadi utusan Osama bin Laden unt melakukan teror di Asia Tenggara, dan alm. Amrozi yg mendapat didikan perang di Afganistan keduanya dieksekusi mati karena menjadi otak bom Bali. Padahal krn bom Bali, ibu mertua saya gagal naik haji krn memburuknya kondisi ekonomi, dan tentu banyak muslim lainnya yg tinggal di Bali terkena dampak aksi teror mereka.
Sahabat yg dirahmati Allah, masih menganggap teroris konspirasi? Hati-hati lho, sepanjang saya bersentuhan dg mereka, pemahaman keagamaan mereka mirip2 dengan kebanyakan pemahaman keagamaan ‘kalian’; Sangat tekstualis, hitam-putih, gampang menyalahkan pemahaman atau praktik kegamaan orang lain, mudah membenci yg berbeda, dan yg unik semua yg saya temui membenci NU apalagi Gus Dur. Kalian merasa punya kesamaan? Hati2 segera periksakan ke ‘dokter’ kandungan.
Posting Komentar untuk "Saya Dekat Dengan Teroris"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!