TEROR-ISME
Oleh: Bung Susanto Polamolo
https://www.qureta.com/
Padahal kita baru saja menggelar sebuah acara
“Silaturahmi Kebangsaan Satukan NKRI” antara sekitar 124 bekas narapidana
terorisme dengan 50-an penyintas juga para keluarga, yang digagas oleh BNPT di
Hotel Borobudur Jakarta, Rabu 28 Februari 2018 lalu.
Sebuah upaya rekonsiliasi diajukan di sana untuk
menambal luka, menyulam kembali batin kemanusiaan, sebagai sesama umat
beragama, sebagai warga negara Republik Indonesia.
Baru saja kita menarik napas panjang dan mengehembuskannya
perlahan sebagai tanda rasa lega, dan kalender masih menunjukkan tahun belum
berganti, tiba-tiba kita telah kembali terguncang oleh serentetan aksi
terorisme. Belum lagi hilang kecemasan kita tentang kasus-kasus penyerangan
tokoh agama Islam dan Kristen yang terjadi beruntun oleh orang-orang yang
katanya mengalami “gangguan jiwa”, serta penyerangan-penyerangan terhadap
kepolisian (kasus Polda Sumut dan penusukan di Masjid Falatehan), kemudian
kisruh napi terorisme di Mako Brimob belum lama ini, kini teror kembali
menerjang. Kali ini, tiga Gereja di Surabaya.
Seketika segala ingatan buruk tentang teror para
pengebom berdesakan. Tahun 2000 4 kasus pengeboman, 2001 masih sama, 2002-2004
masing-masing tiga kasus, 2005 5 kasus, 2009 1 kasus, 2010 2 kasus, 2011 3
kasus, 2012-2013 masing-masing 1 kasus, 2016 5 kasus, 2017 2 kasus, 2018 1
kasus. Ternyata memang hampir setiap tahun sejak tahun 2000 negara ini jadi
langganan terorisme.
Sampai tadi pagi kita menyaksikan semua teror itu
dengan marah bercampur sedih. Rasa yang sulit dijelaskan. Marah karena dari
balik asap dan korban yang mati dan terluka selalu ada alasan iman untuk
membinasakan orang lain, selalu ada alasan agama dan janji Tuhan dalam semua
tindakan biadab dan keji itu. Sedih karena selalu ada manusia-manusia payah
yang ingin mati melakukan aksi-aksi itu, dan sekelompok manusia-manusia dungu
yang menertawakan teror tersebut sebagai rekayasa, juga segelintir para
politisi over oportunistik yang menggorengnya sebagai bagian dari sikap
oposisinya. Maka, satu lingkaran kebiadaban telah kita saksikan sepenuhnya di
dunia nyata dan maya.
Ada semacam gabungan menyeramkan di sana, dalam
keyakinan agama para teroris dan para politisi yang merayakannya bahwa tak ada
yang dapat menjamin itu adalah semurni-murninya iman. Teror-isme tak pernah
bicara dengan pikiran terang justru dengan semua perangkat indoktrinasi agama
yang digunakannya. Sebagaimana juga para politisi payah yang tak pernah fair
dengan diri mereka sendiri dalam berkehidupan berbangsa, bernegara.
Sejarah menunjukkan teror-isme selalu ada
hubungannya dengan kekuasaan. Sejak istilah itu mulai digunakan pada abad
ke-18, ‘teror’ sebagai sebuah ‘isme’ adalah pilihan paling efektif untuk
menaklukan, untuk melakukan pemberontakan, menyampaikan protes, juga berarti
sebuah pesan kekuatan, kebengisan. Dan makin ke sini ia makin dekat dengan
tujuan politik.
Tak berarti bahwa teror yang kita saksikan dapat
diringkus dalam konklusi yang sama. Apa yang terjadi di Palestin merupakan
contoh yang berbeda dengan apa yang dilakukan ISIS. Ada teror perjuangan
pembebasan; ada teror brutalisme untuk merebut kekuasaan dengan dalil agama.
Yang terakhir ini tumbuh pesat sebagai sebuah trend-transnasional yang
menjijikkan. Tak terkecuali di Indonesia, ‘isme’ ‘teror’ yang berulang-kali
terjadi terpapar langsung dari trend teror-isme transnasional tadi.
Jelas bahwa ‘teror’ sebagai ‘isme’ adalah konsep
politik, juga berarti sebuah pilihan politik. Maka, sebagai ‘isme’ tentu ia
bukan sebuah bentuk ibadah. Bagaimana mungkin Tuhan serendah tindakan-tindakan
brutal para teroris? Bagaimana mungkin? Tidakkah Tuhan telah diambil,
digantikan keberadaan dan peran-Nya dalam ‘isme’ para teroris buat menentukan
takdir, nasib, kematian, kehidupan, kebenaran, kafir, sesat, keberimanan mereka
yang oleh para teroris dikatagorikan sebagai target untuk dimusnahkan bersama
dengan nasib para teroris sendiri?!
***
Di Republik ini, ada monster yang diam-diam
tumbuh. Monster itu bernama teror-isme. Dan memang selalu ada kegelapan yang
dibawanya melintasi zaman. Sejak pertama kali ia disebut teror ia telah
menegaskan dua hal yang menjadi landasannya: teologi dan politik. Ia bisa
datang dari kalangan elit, bisa hidup dari lapisan bawah—hasrat kekuasaan
datang dari lapisan ‘atas’; sedang teologi yang tersesat memukul-mukul dari
lapisan ‘bawah’ mencari pegangan, memutuskan hidup dengan putus asa dari balik
hayalan tentang balasan kenikmatan atas setiap kematian dengan alasan iman
untuk membinasakan orang secara membabi-buta.
Teror-isme dengan kata lain adalah percampuran
dari sifat iblis dan kebinatangan yang pandai menggunakan dogma agama juga
lihai bermain kebenaran. Maka, perang terhadap mereka tak boleh serupa dengan
yang dirumuskan misalnya oleh Presiden Bush, sebuah aksi brutal dalam
pengertian yang tak jauh berbeda yang kemudian juga didukung oleh para
fundamentalis ‘Kristen kanan’ Amerika Serikat—sikap Bush juga punya alasan
teologi dan politiknya sendiri.
Aksi teror di Indonesia, sampai pada
kasus pengeboman Gereja-gereja di Surabaya pagi tadi, sebenarnya hidup dalam
bayang-bayang kebencian yang sambung-menyambung dalam kelindan alasan teologi
dan politik. Sebagian ada hubungannya dengan sejarah tindakan-tindakan yang
diambil oleh orang seperti Presiden Bush; sebagian lagi masih merupakan
genealogi yang sama dari gerakan-gerakan pengeboman sebelumnya juga dalam
kaitannya dengan trend terorisme transnasional. Inilah masa di mana alasan
teologi dan politik teror lahir untuk menciptakan teror.
***
Dahulu, salah satu bagian sejarah Islam yang
gemilang—ketika batas-batas antariman masih dapat dikomunikasikan, ketika
perang adalah pilihan paling akhir, dan sifat-sifat kesatria masih menyelimuti
iman—juga ada alasan yang sama: teologi dan politik pada sikap seorang pemimpin
seperti Yusuf bin Najuddin al-Ayyubi. Sejarah Kristen mengenalnya sebagai
Saladin karena sifatnya yang kesatria.
Di situlah pesannya. Saladin adalah simbol
kegemilangan Islam. Saladin tidak mengambil jalan para pengecut dalam teologi
dan politiknya sebagaimana jalan yang ditempuh oleh para teroris. Saladin juga
punya sikap politik, dan dari sikapnya itu para politisi Indonesia dapat
belajar satu hal: agar tidak menjadi bajingan yang pengecut!
Posting Komentar untuk "TEROR-ISME"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!