Catatan untuk Seorang Kawan "Agamawan"
Oleh: Ali Munir S.
Saya masih ingat betul bentuk tubuhnya, cara bicaranya yang bersahaja, dan songkok hitam yang hampir tak pernah lepas dari kepalanya. Saya dan dia masuk dalam angkatan yang sama, jurusan yang sama, dan almamater yang sama di Kampus islam tertua di Indonesia, UIN Sunan Kalijaga.
Saya ingat betul bagaimana dalam setiap perdebatan kelas, kami memiliki referensi dan pola pikir yang berbeda. Sebagai seorang yang berangkat dari kebudayaan dan pengalaman hidup lokal "Nyandhak Bukkolla Oreng", saya selalu berargumen sesuai konteks. Sedangkan dia, sebagai lulusan pesantren Bata-Bata Sampang, selalu menggunakan referensi kitab Kuning dalam setiap argumentasinya. Walaupun dalam beberapa hal dia meninggalkan ruh keislaman dalam persoalan yang global.
Sampai pernah suatu ketika, kami berdebat soal Al-Qur'an, apakah ia bahasa Tuhan atau tidak, dan faktanya ia diturunkan dalam bahasa Arab. Saya percaya bahwa ia diturunkan melalui kebudayaan " Bahasa Arab". Karena tidak mungkin secara alamiah Tuhan berbicara bahasa Arab sebagaimana orang Arab. Walaupun secara isi itu berasal dari Tuhan. Faktanya? Al-Quran diturunkan melalui malaikat Jibril. Itu artinya ada bahasa ilhiyah lain antara Jibril dan Tuhan. Karena jika Tuhan berbahasa Arab, berarti ia tidak beda dengan Makhluk kebudayaan.
Tapi dia tetap tidak sepakat dan tidak setuju dengan argumen saya. Saya paham keterbatasan kontemplasinya. Tetapi kemudian, saya curiga, jangan jangan yang dia sembah adalah nama yang alamiah. Bukan hakikat. Karena dia serta merta menolak jika penyebutan Allah diganti "Al-lah" secara penyebutan tajwidnya.
Kemudian soal Pilkada Jakarta, dia sepakat bahwa Ahok haram dipilih berdasarkan surah Al-Maidah. Rupanya, dia tidak mengampuni pengecualian dalam Islam. Itu karena pemahamannya yang terlalu sempit. Dia serta merta mendukung FPI karena berani bersih secara ayat, dan memaklumi para muslim yang koruptor. Katanya, biarlah dosa itu urusan Allah. Urusan kita adalah memenuhi perintah Allah. Perintah yang bagian mana? Dalam konteks apa? Dan wilayahnya seperti apa? Dia tidak mau tahu.
Oke. Saya bangga memiliki kawan seperti itu, karena hitam tanpa putih itu tiada artinya. Memang diperlukan adanya orang pintar dan orang bodoh. Soal siapakah yang bodoh dan pintar, itu persoalan lain. Karena sepanjang hidup manusia, orang bodoh tidak pernah diizinkan tahu seberapa besar kepintaran seseorang. Sampai dia sendiri setara dengan orang yang pintar itu.
Intinya, dalam bayangan dia, sebaik apapun saya, saya tidak termasuk makhluk Tuhan yang dikasihi bila saya berdosa. Lha, pertanyaan saya, kenapa Allah mengampuni dosa secara Ilahiyah, namun tidak mengampuni dosa antar sesama, sampai orang lain mengampuninya? Kenapa kalau saya bersalah pada si A, saya tidak akan diampuni, kecuali si A mengampuni?
Itu artinya, derajat kebudayaan lebih diperhitungkan dari pada derajat keTuhanan. Semoga kita senantiasa tidak lupa, di balik orang yang rajin naik haji, selalu ada tetangga miskin yang membutuhkan bantuan.[]
Posting Komentar untuk "Catatan untuk Seorang Kawan "Agamawan""
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!