Ganti Presiden atau Ganti Sistem?
Oleh : Bagis Syarof
Nahdlatululama.id
Pancasila yang lahir dari rahim bumi nusantara, yang telah digali oleh tokoh-tokoh negarawan, seperti Bung Karno dan Moh. Yamin, dari jiwa rakyat nusantara untuk dijadikan dasar negara untuk mencapai sebuah kemerdekaan jiwa dan raga dari penjajahan Jepang, kini hangat diperbincangkan di perbincangkan di media sosial. Ideologi yang dibuat melalui musyawarah dan mufakat para kyai, tokoh agamawan dan negarawan, Pancasila, ramai di bincangkan akan diganti dengan ideologi Khilafah yang ditunggangi gerakan politik kelompok oposisi, #2019Gantipresiden. Meskipun masa kampanye pilpres yang ditetapkan oleh pemerintah pada bulan Oktober akan dilaksanakan,tapi media sosial menjadi ladang kampanye bagi kedua kubu, Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.
Media Sosial Sarang Hoax
Telah banyak yang terciduk dikarenakan menyebarkan berita hoax. Di Jakarta, Bareskim meringkus sepuluh orang tersangka penyabar hoax yang dilakukan melalui media sosial, mulai dari isu penculikan Ulama, penghinaan tokoh agama, dan kasus ujaran kebencian yang di unggah di media sosial milik mereka. Baru-baru ini saya sebagai orang yang aktif di media sosial sering sekali menemukan postingan banyak postingan yang mengandung ujaran kebencian, berita yang tidak jelas asal usulnya, dan berita yang sudah basi dibagikan lagi untuk dikonsumsi pengguna medsos. Mirisnya, sosial network user menelan secara mentah berita hoax yang diviralkan dan ujung-ujungnya ada #2019Gantipresiden. Media sosial seakan-akan menjadi lapangan agar banyak orang membenci presiden dan menginginkan untuk menggantinya pada pemilu mendatang. Kasus yang sudah saya temukan di minggu ini, di facebook, PDI-P dituduh usul ke pemerintah agar pesantren ditutup. Setelah menemukan kasus ini, saya bergegas untuk mengklarifikasi melalui browsing google dengan mengetik “PDI-P usul ke pemerintah agar pesantren ditutup” sesuai dengan apa yang saya temukan. Nyatanya, yang keluar di urutan pertama adalah berita dari Tribunews.com bahwa PDI-P melaporkan, isu Megawati usul pesan ditutup di Indonesia. Itu artinya media sosial adalah sarang berita hoax. Hati-hati tanda seru.
Sebenarnya, pasal dua puluh tujuh ayat tiga UU ITE sudah menanti para penyebar hoax. Mereka diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak enam miliar. Namun, penyebar berita hoax kebanyakan menggunakan akun palsu untuk melancarkan kepentingannya. saya sebagai aktivis media sosial hanya bisa mengingatkan hati-hati terciduk dan mengirim klarifikasi di kolom komentar bahwa berita itu adalah hoax.
Hastage Gantipresiden
Seiring dengan akan dilaksanakannya pesta demokrasi Indonesia, pemilu presiden, pada tanggal 17 April 2019, sudah dua kubu yang akan berkompetisi, Prabowo menggandeng Sandiaga Uno dan Jokowi menggandeng Kyai Ma’ruf Amin. Partai koalisi dan oposisi-pun sudah resmi menyatakan dukungan terhadap kedua capres dan cawapres. Keduanya juga sudah mempunyai hastage, 2019gantipresiden dan 2019ptetapJokowi.
Hastage dari kelompok oposisi, sungguh sangat mengerikan menurut saya pribadi. Karena banyak sekali #2019Gantipresiden yang akhiri dengan kata, “takbir…. Allahu akbar” sedangkan kata itu merupakan jargon dari ormas terlarang, HTI. Permadi Arya yang biasa dipanggil Abu Janda, dari video vlog-nya tentang hastage 2019gantipresiden membuat saya semakin ambigu karena di dalam video vlog itu, ada petinggi PKS Ismail Ali Sera yang mengatakan, “2019gantipresiden” dan petinggi HTI, Ismail Yusanto mengatakan “2019ganti sistem”. Entah video vlog Permadi Arya itu benar atau tidak, saya kurang tau akan hal itu. Namun, hati-hati lebih baik. Ganti presiden, oke-oke aja. Ganti sistem, Pancasila, jangan!
Bagis Syarof
Pengamat Keagamaan di Garawiksa Institute Yogyakarta
Posting Komentar untuk "Ganti Presiden atau Ganti Sistem? "
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!