DEMOKRASI-POLITIK & DEMOKRASI-EKONOMI
![]() |
Soekarno menulis risalah kebangsaan Indonesia, 1945-1959. |
Demokrasi adalah
“pemerintahan rakyat”. Cara pemerintah ini memberi hak kepada semua rakyat
untuk ikut memerintah. Cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua
partai-partai nasionalis di Indonesia. Tetapi dalam mencita-citakan paham dan
cara pemerintahan demokrasi itu kaum Marhaen toh harus berhati-hati. Artinya:
jangan meniru saja “demokrasi-demokrasi” yang kini dipraktekkan di dunia
luaran.
Bagaimanakah prakteknya
demokrasi di dunia luaran itu?
Yang membawa
“demokrasi” mula-mula di dunia Barat ialah pemberontakan Perancis, kurang lebih
100 sampai 125 tahun yang lalu. Sebelum ada pemberontakan Perancis itu, cara
pemerintahan Eropa adalah otokrasi: kekuasaan pemerintah adalah di tangan satu
orang saja, yaitu di dalam tangan Raja. Rakyat tidak ikut bersuara. Rakyat
harus menurut saja. Raja mengaku dirinya sebagai wakil Allah di dunia ini.
Salah seorang raja yang
demikian itu pernah ditanya oleh salah seorang menterinya: ”Ratu, apakah staat
itu? Apakah yang dinamakan staat itu?” Raja menjawab: ”Staat[1] adalah aku
sendiri! L’Etat, c’est moi!”[2] Memang raja ini adalah seorang otokrat yang
tulen!
Di dalam cara
pemerintahan otokrasi itu, raja disokong oleh dua golongan. Pertama: golongan
kaum ningrat, kedua: golongan kaum penghulu agama. Kedua golongan ini menjadi
bentengnya raja, bentengnya otokrasi. Jadi raja + kaum ningrat + kaum penghulu
agama adalah “gambarannya” kaum jempolan di dalam masyarakat ini. Masyarakat
yang demikian itu dinamakan masyarakat FEODAL.
Tetapi lambat laun
timbullah satu golongan baru, suatu kelas baru, yang ingin mendapat kekuasaan
pemerintahan. Golongan baru atau kelas baru ini adalah kelasnya kaum borjuis.
Mereka punya perusahaan-perusahaan, mereka punya perniagaan, mereka punya
pertukangan, mulai lahir dan timbul. Untuk suburnya dan selamatnya perusahaan
mereka, perniagaan mereka dan pertukangan mereka itu, perlulah mereka mendapat
kekuasaan pemerintahan. Mereka sendirilah yang lebih tahu mana undang-undang,
mana aturan-aturan, mana cara-cara pemerintahan yang paling baik buat
kepentingan mereka, dan bukan raja, bukan kaum ningrat, bukan kaum penghulu
agama!
Tetapi kekuasaan masih
di tangan raja, dibentengi oleh kaum ningrat dan kaum penghulu agama!
“Welnu”, kata orang
borjuis, ”kekuasaan itu harus direbut!” tetapi untuk merebut, orang harus
mempunyai kekuatan! Padahal kaum borjuis belum mempunyai kekuatan itu!
“Nah”, kata kaum
borjuis sekali lagi,”kita memakai keuatan rakyat jelata!”
Dan begitulah maka
rakyat jelata itu oleh kaum borjuis lalu diajak bergerak, dirabunkan matanya,
bahwa pergerakannya itu ialah untuk mendatangkan “kemerdekaan, persamaan dan
persaudaraan”!
“Liberte, fraternite, egalite”’ adalah semboyannya pergerakan
borjuis memakai tenaga rakyat itu.
Rakyat menurut, ya,
rakyat berkelahi mati-matian! Apakah sebabnya rakyat mau diajak bergerak?
Sebabnya ialah bahwa nasib rakyat di bawah pemerintahan otokrasi itu adalah
nasib yang sengsara sekali, dan bahwa rakyat itu masih kurang sadar yang ia
hanya menjadi perkakas borjuis saja.
Pergerakan menang! Raja
runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu agama runtuh, pendek kata: otokrasi
runtuh, diganti dengan cara pemerintahan baru yang dinamakan “demokrasi”. Di
negeri diadakan parlemen, dan “rakyat boleh mengirim utusan ke parlemen itu”
Cara pemerintahan
inilah yang kini dipakai oleh semua negeri di Eropa Barat dan di Amerika.
Perancis mempunyai parlemen, Inggris mempunyai parlemen, Belanda mempunyai
parlemen, semua negeri modern mempunyai parlemen. Di semua negeri modern itu
adalah “demokrasi”…
*
* *
Tetapi, ..... di semua
negeri modern itu kapitalisme subur dan merajalela! Di semua negeri modern itu
kaum proletar ditindas hidupnya. Di semua negeri modern itu kini hidupnya
milyunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib
kokoro, di semua negeri modern itu rakyat tidak selamat, bahkan sengsara
sesengsara-sengsaranya.
Inikah hasilnya “demokrasi” yang dikeramatkan orang?
Amboi, parlemen!
Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil ke dalam parlemen itu,
tiap-tiap kaum proletar kini, kalau dia mau, bisa mengusir menteri, menjatuhkan
menteri itu terpelanting dari kursinya. Tetapi pada saat yang ia bisa menjadi
“raja” di parlemen itu, pada saat itu juga ia sendiri diusir dari pabrik di
mana ia bekerja dengan upah kokoro, dilemparkan di atas jalan, menjadi orang
pengangguran!
Inikah “demokrasi” yang dikeramatkan?
Dengarkanlah pidatonya
Jean Jaures, -bukan komunis-!, mengkritik “demokrasi” itu:
“Kamu, kaum borjuis,
kamu mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin
republik itu teguh dan kuat, tak dapat dirubah sedikitpun jua, tetapi karena
itulah kamu telah mengadakan pertentangan antara susunan politik dan susunan
ekonomi.”
“Karena Pemilihan Umum,
kamu telah membikin semua penduduk berkumpul di dalam rapat yang seolah
rapatnya raja-raja. Mereka punya kemauan adalah sumbernya tiap undang-undang,
tiap pemerintahan; mereka melepas mandataris, pembuat undang-undang dan
menteri. Tetapi pada saat itu juga yang si buruh menjadi ntuan di dalam urusan
politik, maka ia adalah menjadi budak belian di dalam urusan ekonomi”
“Pada saat yang ia
menjatuhkan menteri-menteri, maka ia sendiri bias diusir dari bingkil zonder
ketentuan sedikit juapun apa yang esok harinya akan dimakan. Tenaga
pekerjaannya hanyalah suatu barang belian, yang bisa dibeli atau ditampik oleh
kaum majikan, ia bias diusir dari bingkil, karena ia tak mempunyai hak ikut
menentukan peraturan-peraturan bingkil, yang setiap hari, zonder dia tetapi
untuk menindas dia, ditetapkan kaum majikan sendiri!”
Sekali lagi: inikah
“demokrasi” yang orang keramatkan itu?
Bukan, ini bukan
demokrasi yang harus kita tiru, bukan demokrasi untuk kita kaum Marhaen
Indonesia! Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah demokrasi parlemen saja,
yakni hanya demokrasi politik saja. Demokrasi ekonomi tak ada.
*
* *
Sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi
Di dalam karangan saya
yang lalu, saya terangkan dengan singkat, bahwa demokrasi-politik saja, belum
menyelamatkan rakyat. Bahkan di negeri-negeri, seperti Inggris, Nederland,
Perancis, Amerika dll, di mana “demokrasi” telah dijalankan, kapitalisme
merajalela dan kaum Marhaen papa sengsara!
Kaum nasionalis
Indonesia tidak boleh mengeramatkan “demokrasi” yang demikian itu. Nasionalisme
kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari “gebyarnya” atau kilaunya luar
negeri saja, tetapi ia haruslah mencari selamatnya semua manusia.
Banyak di antara kaum
nasionalis Indonesia yang beranganangan: “Jempol sekali jikalau negeri kita
bisa seperti Jepang atau negeri Amerika atau negeri Inggris, bank-banknya
meliputi dunia, benderanya kelihatan di mana-mana!”
Kaum nasionalis yang
demikian itu lupa bahwa barang yang hebat-hebat itu adalah hasilnya
kapitalisme, dan bahwa kaum Marhaen di negeri-negeri itu adalah tertindas. Kaum
nasionalis yang demikian adalah kaum nasionalis yang burgerlijk, yaitu kaum
nasionalis borjuis. Mereka bisa juga revolusioner, tetapi revolusionernya
adalah Burgerlijk Revolutionair. Mereka hanyalah ingin Indonesia Merdeka saja
sebagai maksud yang penghabisan, dan tidak suatu masyarakat yang adil zonder
ada kaum yang tertindas. Mereka lupa, bahwa Indonesia-merdeka hanyalah suatu
syarat saja untuk memperbaiki masyarakat Indonesia yang rusak itu. Mereka
adalah burgerlijk revolutionair, dan tidak Sociaal Revolutionair, tidak
Marhaenistis Revolutionair.
Nasionalisme kita tidak
boleh nasionalisme yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme
yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir dari
pada menselijkheid. “Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan”, begitulah Gandhi
berkata. Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan
perkataan baru kami sebutkan : SOSIO-NASIONALISME. Dan demokrasi yang harus
kita cita-citakan haruslah juga demokrasi yang kami sebutkan : SOSIO-DEMOKRASI.
Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi
itu?
Dua perkataan ini
adalah perkataan bikinan, bikinan kami. Sebagaimana perkaaan Marhaen adalah
kemarin kami “bikinkan” untuk menyebutkan kaum melarat sengsara, maka perkataan
sosio-nasionalisme sosio-demokrasi adalah pula perkataan bikinan untuk
menyebutkan nasionalisme dan demokrasi kita.
Sosio
adalah terambil dari perkataan yang berarti: masyarakat, pergaulan hidup,
hirup-kumbuh, siahwee.
Sosio-nasionalisme
adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio-demokrasi adalah
demokrasi-masyarakat.
Tetapi apaka nasionalisme-masyarakat dan demokrasi-masyarakat
itu?
Nasionalisme-masyarakat
adalah nasionalisme yang timbulnya tidak karena “rasa” saja, tetapi karena
“gevoel” saja, tidak karena “lyriek” saja, tetapi ialah karena keadaan-keadaan
yang nyata di dalam masyarakat. Nasionalisme-masyarakat, sosio-nasionalisme,
bukanlah nasionalisme “ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah
nasionalisme “melayang”, tetapi nasionalisme yang dengan kedua kakinya berdiri
di dalam masyarakat.
Memang, maksudnya
sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu,
sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada
kaum tertindas, tidak ada kaum yang celaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara.
Oleh karenanya, maka
sosio-nasionalisme adalah nasioalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak
borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi
sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN ekonomi, suatu nasionalisme
yang bermaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan
negeri DAN keberesan rezeki.
Dan
demokrasi-masyarakat? Demokrasi-masyarakat, sosio-demokrasi, adalah timbul
karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berdiri dengan
ke dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi a la Inggris,
a la Nederland, a la Jerman dll, tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari
keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki.
Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik DAN demokrasi-ekonomi.
*
* *
Komunis?
Sosio-nasionalisme
dan sosiodemokrasi bukanlah angan-angan komunis.
Perna saya terangkan, bagaimana seorang pemimpin, Jean Jaures yang bukan
komunis, juga menghendaki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan di dalam
salah satu karangan saya dulu sudah dikatakan pula, bahwa Dr. Sun Yat Sen
mencela “demokrasi” a la Revolusi Perancis atau a la Inggris, Nederland dll
itu. Begitu pula pemimpin-pemimpin yang lain seperti Gandhi, Nehru-muda dll,
mencela “demokrasi” yang demikian itu.
Memang orang tidak usah
menjadi komunis, untuk melihat bahwa di dalam negeri-negeri “demokrasi” itu,
sebagian besar dari kaum rakyat adalah tertindas oleh kapitalisme. Orang tidak
usah menjadi komunis, untuk melihat bahwa “demokrasi” negeri-negeri itu adalah
demokrasi borjuis saja.
Kontra angan-angan
demokrasi borjuis ini kaum Marhaen harus bercita-cita dan menghidupkan
sosio-demokrasi, yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Dan kontra nasionalisme
borjuis, kita taruhkan sosio-nasionalisme kita.
Bagaimana
sosio-demokrasi, demokras-politik dan demokrasi-ekonomi itu, bisa dijalankan,
akan saya gambarkan di dalam garis-garisnya yang besar di dalam karangan saya
yang akan datang.
Hiduplah sosio-nasionalime!
Hiduplah sosio-demokrasi!
(Soekarno,
Fikiran Ra’jat, 1932)
[1] Staat = Negara
[2] L’Etat C’est moi =
Negara adalah saya
Posting Komentar untuk "DEMOKRASI-POLITIK & DEMOKRASI-EKONOMI"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!