Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme
Oleh: Bung Motius
![]() |
Pidato Bung Karno dalam konferensi Partindo, Mataram (Jogjakarta) 1933 |
POKOK- POKOK AJARAN
MARHAENISME
Marhaenisme mengangkat
masalah penghisapan dan penindasan rakyat kecil yang terdiri dari kaum tani
miskin, petani kecil, buruh miskin, pedagang kecil kaum melarat Indonesia yang
dilakukan oleh para kapitalis, tuan-tanah, rentenir dan golongan-golongan penghisap
lainnya. Ungkapan yang sering dipakai oleh Bung Karno, dan yang paling
terkenal, adalah _l_ exploitation de l_homme par l_homme_ (penghisapan manusia
oleh manusia). Marhaenisme, dilahirkan dan dikembangkan antara tahun 1930-1933.
Pemikiran Bung karno
dalam hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa baginya,
kepentingan rakyat adalah tujuan akhir dari segala-galanya. Dalam tilikan
Sukarno, masa itu mayoritas penduduk Indonesia, entah itu buruh, tukang becak,
tukang asongan, nelayan, hingga insinyur hidup seperti Pak Marhaen tadi. Mereka
memiliki alat produksi, namun hal itu tak menolong mereka untuk hidup layak.
Akhirnya, ajaran ini diberi nama Marhaenisme. Misi ajaran ini adalah terbitnya
kesejahteraan sosial (sosio demokrasi) pada seluruh kaum marhaen yang mengalami
penindasan dan pengisapan di bumi pertiwi ini.
Pidato Bung Karno dalam
konferensi Partindo, Mataram (Jogjakarta) 1933:
TENTANG MARHAEN,
MARHAENIS, MARHAENISME
1. Marhaenisme yaitu
Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi
2. Marhaen yaitu kaum
proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia
yang lain-lain.
3. Partindo memakai
perkataan Marhaen, dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar sudah
termaktub didalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu
bisa diartikan bahwa kaum tani dan kaum lain-lain kaum melarat tidak termaktub
didalamnya.
4. Karena Partindo
berkeyakinan bahwa didalam perjoangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu
yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai
perkataan Marhaen itu.
5. Di dalam perjuangan
kaum Marhaen, maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian
yang paling besar sekali.
6. Marhaenisme adalah
Azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang dalam segala
halnya menyelamatkan kaum Marhaen.
7. Marhaenisme adalah
pula Cara Perjoangan untuk mencapai susunan negeri yang demikian itu, yang oleh
karenanya harus suatu cara perjoangan yang Revolusioner.
8 Jadi Marhaenisme
adalah: cara Perjoangan dan Azas yang ditujukan terhadap hilangnya tiap-tiap
Kapitalisme dan Imperialisme.
9. Marhaenisme adalah
tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme.
Amanat Pada Konfrensi
Besar GMNI pada tahun 1959 di Kaliurang, Bung Karno menegaskam tentang Marhaenisme
Sebagai berikut:
1. Marhaenisme adalah
asas yang menghendaki susunan masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan
kaum Marhaen
2. Marhaenisme adalah
cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya
3. Marhaenisme adalah
dus asas dan cara perjuangan “tegelijk†menuju hilangnya kapitalisme,
imperialisme, dan kolonialisme
Inti ajaran Marhaenisme
adalah pada sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Karena keduanya
mencerminkan gagasan aatau tentang cita-cita yang dinilai oleh bung Karno bagi
kondisi Indonesia. Sosio nasionalisme merupakan karakter atau ciri nasionalisme
Indonesia. Dimana nasionalisme yang muncul harus berwatak sosial, tidak merasa
bangsanya yang paling besar di dunia (chauvinis). Seperti yang pernah dilakukan
bangsa Jerman dan Jepang. bangsa Nasionalisme Indonesia harus menjadi bunga
dalam tamansarinya Internasionalisme dunia. Nasionalisme tidak berwatak
ekspansif, sangat menghargai perbedaan antar bangsa. Sosio nasionalisme
menghendaki adanya persamaan derajat antar bangsa.
Sosio demokrasi juga
bagian dari gagasan Bung Karno tentang sistem demokrasi di Indonesia. Gagasan
ini dilatar belakangi situasi dimana saat itu pengaruh demokrasi liberal yang
dianut para negara barat seperti Amerika, Prancis, Inggris begitu kuat. Dalam
paham demokrasi liberal yang dikedepankan adalah banyak suara dalam pengambilan
keputusan (voting). Dalam pandangan Sukarno, sistem ini tidak cocok diterapkan
di Indonesia.
Musyawarah mufakat lebih cocok dengan kultur bangsa Indonesia.
Karena dalam praktek kehidupan sehari-hari terutama dalam komunitas atau suku
yang ada di bangsa Indonesia, musyawarah mufakat telah dikenal berabad-abad
lamanya. Keputusan diambil melalui dialog dengan coba mendengarkan pendapat
orang lain. Yang lebih pintar harus membimbing yang belum tahu, sehingga
mskipun keputusan yang diambil tidak bulat tetapi merupakan sebuah kesepakatan
bersama. Sehngga rasa tanggung jawab terhadap keputusan tersebut menjadi kuat.
Jadi akar dari semua itu adalah semangat gotong royong. Berbeda dengan barat
yang lebih mengedepankan kebebasan Individu.
Selain itu sosio
demokrasi juga tidak hanya menuntut persamaan dibidang politik. Sosio demokrasi
juga harus diterapkan dalam bidang ekonomi. Artinya sistem perekonomian
Indonesia harus dibangun atas semangat gotong royong bukan semangat yang kuat
yang menang. Di Bumi Indonesia negar harus mengatur agar yang kuat membantu
yang lemah. Karena kompetisi secara bebas akan menghasilkan ketimpangan yang
sangat dalam. Bung Karno juga melihat ketidakadilan dalam tradisi demokrsi
barat. Dimana rakyat miskin hanya diberi kesempatan berpartisipasi dalam
politik tapi tidak diberi kesempatan dalam bidang ekonomi.
Gagasan Bung Karno
tentang sosio nasionalisme dan sosio demokrasi masih terasa relevansinya hingga
sekarang. Di barat sendiri wacana deliberatif democrasi mulai dikembangkan.
Sistem ini mengedepakan kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan. Pola
pengambilan keputusan dengan mengedepankan voting dirasakan kurang efektif
dalam menghasilkan keputusan yang didukung semua pihak.[]
Posting Komentar untuk "Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme "
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!