Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nasib Perempuan Desa yang Tak Boleh Bercita-Cita

Oleh: Bagis Syarof
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA serta Pegiat keagamaan Garawiksa Institute Yogyakarta

     Foto: Tribunnews

Di masyarakat pelosok desa, seorang perempuan dilarang berkarir. Jika ada seorang perempuan yang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, dari sekolah ke kampus, maka mereka akan mendapat cemoohan dari masyarakat, bahwa seorang perempuan meskipun pendidikannya tinggi dia akan tetap di dapur (tukang masak), sumur (tukang cuci), dan kasur (menafkahi batin suami). Hal ini yang membuat perempuan desa banyak yang menikah di usia dini dan hanya menjadi pelayan suami.


Menurut UU Perkawinan pasal 7 tahun 1974, seorang perempuan dapat melangsungkan pernikahannya apabila telah berumur 16 tahun, dan 17 tahun bagi laki-laki. Pasal ini menimbulkan polemik di masyarakat. Undang-undang umur minimal untuk melakukan pernikahan dinilai tidak baik, karena seorang perempuan yang masih berumur 16 tahun kebawah tergolong sangat dini, masih belum siap untuk melayani suami dengan baik, dan sel telurnya juga belum siap untuk dibuahi. Sampai sekarang polemik itu masih belum menuai titik terang. Jadi, yang berlaku tetap pasal 7 UU Perkawinan tahun 1974. Dengan tradisi perempuan tidak akan bisa ber-karir tersebut, perempuan selalu kalah bertarung dalam dunia kerja ataupun karir yang lain.

Pada zaman Nomaden, terjadi sebuah hukum yang dinamakan Matriarchat (hukum per-ibu-an). Pada saat itu, kaum laki-laki hanya sebagai pelengkap saja.Artinya, segalanya diatur oleh perempuan, mulai dari mengurus anak, dan membesarkannya. Namun fakta di lapangan, perempuan yang berkuasa dalam hukum per-ibu-an justru semakin tertindas karena kebiasaan laki-laki untuk meniduri perempuan siapapun yang dia suka, Promiskuiteit. Bagaimana cara mengetahui bapak dari anaknya? Dengan keyakinan si perempuan dia akan memilih ayah dari anak nya sendiri. Inilah zaman dimulainya ketertindasan perempuan.

Setelah hukum Matriarchat, maka datang hukum baru, yaitu Patriarchat(hukum per-bapak-an). Di dalam hukum perbapaan ini berkembang sistem somah (keluarga). Pada saat itulah terjadi hubungan harmonis antara perempuan dan laki-laki dalam sebuah ikatan keluarga untuk menghasilkan keturunan sebagai ahli waris dari si bapak. Engel menggambarkan hukum perbapaan dengan pernyataan, “ia berasaskan pertuanan dari orang laki-laki, dengan maksud tertentu, untuk melahirkan anak-anak yang tak pernah bisa dibantah lagi siapa bapaknya; dan perbapaan yang pernah dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini akan mewarisi harta di bapak itu”. Dari gambaran Engel, telah tampak lagi penindasan terhadap perempuan yang hanya dijadikan alat produksi anak untuk mewarisi harta bapaknya ketika meninggal.

Mayoritas rakyat Indonesia memberlakukan hukum Patriarchat. Di Batak, seorang laki-laki yang ingin menikahi perempuan harus membelinya terlebih dahulu dengan “mangoli”, uang beli. Perempuan yang sudah terbeli harus pindah dari marga keluarganya ke marga sang suami. Jika sang suami meninggal, dia tidak akan mendapat harta warisan tetapi dia yang akan diwariskan ke saudara suami atau keluarga dekat dari suaminya. Dan jika suaminya tidak mempunyai saudara ataupun keluarga dekat, maka dia boleh kembali ke marga keluarganya dengan syarat membayar kembali “mangoli” yang sudah diberikan oleh suaminya yang sudah meninggal.

Di dalam sejarah perjuangan sebelum abad ke-18, wanita selalu kalah terhadap laki-laki yang lebih segalanya dari segi psikologis.Namun sebelum terpecahnya Revolusi Amerika dan Perancis abad ke-18, wanita-wanita di Eropa mulai tumbuh benih-benih perjuangan.Tanpa disadari, wanita dari kaum bangsawan mulai berkumpul untuk melakukan semacam kerajinan. Wanita-wanita yang berkumpul dalam kegiatan semacam kerajinan itu, akhirnya menjadi club-club yang mempunyai banyak program, seperti ilmu memasak, ilmu kecantikan, ilmu bergaul dan lain-lain.
Mercy Otis Warendan Abigail Smith Adam melakukan tuntutan lanjutan terhadap presiden Amerika saat itu, yang kebetulan adalah suami dari Abigail Smith. Dia, Abigail, menulis surat kepada suaminya, “Kalau Undang-Undang Dasar baru itu tidak memperhatikan benar-benar kepada kaum wanita, maka kami memutuskan akan memberontak kepadamu, dan kami merasa tidak wajib taat kepada hukum-hukum yang tidak memberikan kepada kami hak suara dan hak perwakilan guna membela kepentingan kami”. Tuntutan ini meminta agar kaum laki-laki memberikan hak bebas kepada wanita untuk ikut andil dalam perjuangan memajukan bangsa bersama kaum laki-laki.Lantas, bagaimana dengan perempuan pelosok yang sudah dinikahkan sejak dini dan dilarang berpendidikan tinggi?

Perempuan adalah penggerak dari kaum laki-laki. “dibalik suksesnya seorang pria, ada wanita hebat di belakangnya” pepatah lama yang menunjukkan bahwa wanita adalah semangat bagi laki-laki untuk meraih sukses. Jadi, DPR dan juga menteri pemberdayaan perempuan harus mengajukan uji UU Perkawinan lagi, khususnya di pasal pembatasan usia.[]

Posting Komentar untuk "Nasib Perempuan Desa yang Tak Boleh Bercita-Cita"