AL MAKIN, ANAK "DUKUN" KAMPUNG YANG JADI PROFESOR
Oleh: Ilham Khoiri
![]() |
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
Al Makin lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 12 September 1972. Ayahnya seorang guru dan Kyai Ngaji di pelosok kampung dekat hutan jati di Desa Sidorejo, Kedungadem, Bojonegoro. Ibunya juga seorang guru Madrasah. "Bisa dibilang, ayah seorang Dukun, tempat orang-orang di kampung mengadu dan meminta pertolongan untuk semua persoalan," katanya.
Menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah di kampung, dia lantas belajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri I Bojonegoro sembari mondok di Pesantren Adnan Al-Charish. Dia kemudian belajar di MANPK (Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus) Jember, program yang dicanangkan Menteri Agama Munawir Sadzali, untuk mencetak ulama-intelektual.
Al Makin ambil kuliah S1 Jurusan Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1996). Lulus, dia kemudian melanjutkan studi ke luar negeri. S2 di The Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada (1999), dan meraih S3 di Universitas Heidelberg, Jerman (2008). Disertasinya tentang Musaylimah, seorang pendaku nabi yang gagal mendirikan komunitas di Yamamah pada abad ke-7 bersamaan dengan kelahiran Islam.
“Saya mendalami keilmuwan klasik di madrasah dan pesantren, kemudian lanjut S2 dan S3 di Kanada dan Jerman. Ramuan pendidikan yang mungkin terasa aneh ini membentuk cara berpikir saya yang terbuka,” katanya.
Kini, selain menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta, Al Makin juga dipercaya menjadi Ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) dan Editor in chief, “Al Jam’iah”, international journal of Islamic studies. Pada tahun 2018, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Filsafat di kampus yang sama.
Tahun 2017, dia menjadi anggota ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia). Dia juga aktif sebagai peneliti dan dosen tamu di beberapa universitas mancanegara, antara lain: University of Western Sydney, Australia (2014), Heidelberg University, Jerman (2014), Asia Research Institute, National University of Singapore (2011-2012), French Business School ESSEC, Asia Pacific, Singapore (2012), Bochum University, Jerman (2009-2010), dan McGill University (2009).
Di luar mengajar dan meneliti, dia aktif menulis artikel di jurnal internasional dan tulisan populer di koran. Sejumlah bukunya, antara lain: “Anti Kesempurnaan: Membaca, Melihat, dan Bertutur tentang Islam” (2002), “Nabi Palsu, Membuka Kembali Pintu Kenabian” (Arruz, 2003) dan “Bunuh Sang Nabi: Kebenaran di Balik Pertarungan Setan melawan Malaikat” (Hikmah Mizan, 2006), “Antara Barat dan Timur: Melampui Jurang Masa Lalu untuk Meniti Jembatan Penghubung Barat dan Timur” (2015/2016), “Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia”( 2016), dan “Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan lainnya”( 2017).
Beberapa bukunya terbit dalam bahasa Inggris, yaitu “Plurality, Theology, Patriotism: Critical Insights into Indonesia and Islam” (2017), “Challenging Islamic Orthodoxy, the Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia” (2016), dan “Representing the Enemy: Musaylima in Muslim Literature (2010).
“Ratusan nabi Nusantara telah muncul dan mendirikan kelompok-kelompok baru, memberontak kolonialisme pada masanya, mengisi kemerdekaan, menyuarakan keadilan, dan memberi alternatif saat krisis. Kita perlu para akademisi yang “menyelamatkan” bangsa, yang berfikir, menulis, meneliti, dan melahirkan karya dan ilmu pengetahuan. Kita bisa memperbaiki bangsa ini lewat pengetahuan dari tradisi, budaya, dan khazanah spiritualitas,” katanya tentang berbagai penelitiannya tentang nabi-nabi di Nusantara dan relevansinya dengan situasi kekinian. (***)
"BISAKAH MENJADI ILMUWAN DI INDONESIA?"
Pidato pengukuhan Dr Al Makin, sebagai profesor ilmu filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
* * *
Bangsa Indonesia masih mengidap inferioritas kompleks. Kita kurang serius dalam ilmu pengetahuan, belum menelorkan ilmuwan berkelas.
Jurnal-jurnal kita belum berkelas; temuan-temuan kita tak terdengar; indeks-indeks kita masih rendah; dan rasa percaya kita pada ilmuwan sendiri masih kecil. Bahkan di perguruan tinggi, ilmuwan mendapatkan porsi kecil, tertutupi administrasi dan birokrasi yang tebal.
Kita pengagum buku-buku dan artikel-artikel bermutu, tetapi kita lebih suka menulis singkat, ringan, tanpa penelitian, dan menjadi terkenal secara instan. Seperti dalam olahraga, seni, dan bidang-bidang lain, riset kita kurang
berkembang, bahkan dibandingkan dengan Malaysia dan Singapore.
Apa yang salah? Tengok saja administrasi dan birokrasi yang sangat kental di kampus kita. Kampus disamakan dengan kantor kecamatan, desa, atau Pemda. Kinerja dosen dianggap sama dengan PNS atau ASN yang menangani administrasi.
Kewajiban dosen lebih banyak dihabiskan dengan administrasi harian, kepangkatan, dan tugas- tugas tambahan. Apalagi, jika tidak mendapatkan posisi di birokrasi, maka dosen tidak mendapatkan akses sumber finansial dan kebijakan lebih. Hingga kini, menjadi dosen biasa belum merupakan kebanggaan, karena terbatasnya penghargaan dan kesempatan. Dosen seperti pegawai administrasi biasa, lengkap dengan tugas dan fungsi. Ini jauh dari ideal dosen dalam UU 14 tahun 2005.
Birokrasi dan administrasi di Indonesia sangat rumit, prosedural dan banyak mengahabiskan energi. Administrasi kadang dianggap lebih esensial dari inti persoalan dan tujuan pengetahuan. Birokrasi ini menjadi mental kita semua, mengontrol ilmu pengetahuan dan kehidupan. Semua harus dijalani dengan administrasi yang panjang dan melelahkan. Ilmu pengetahuan tunduk di bawahnya.
Bahkan para dosen yang seharusnya menjadi ilmuwan yang berfikir terbebaskan, harus dan sudah terbiasa menjalani prosedur rumit yang tidak ilmiah. Birokrasi dan administrasi selama ini memegang kendali riset, pengembangan
institusi, dan jejaring internasional. Riset kurang punya daya tawar di hadapan administrasi. Riset tidak mengatur kebijakan, tetapi kebijakan birokrat mengatur riset.
Contoh nyata, riset luar negeri harus seizin Sekneg. Bayangkan dosen yang jumlahnya kira-kira 287.681 di Indonesia, harus mendapatkan izin satu pintu di Sekneg. Selembar surat izin yang tidak pasti inilah yang sering menjadi bahan pemeriksaan riset, bukan riset itu sendiri atau hasil publikasi.
Urusan absensi finger print setiap hari, surat izin dan surat tugas, syarat-syarat kenaikan pangkat, SK, penilian kinerja publikasi membuat para dosen kekurangan waktu untuk penelitian dan publikasi. Semua sibuk mentaati aturan ASN/PNS agar selamat dari pemeriksaan BPK dan Itjend.
Sistem ASN/PNS kurang menjawab kebutuhan keilmuwan dan kecendikiawanan. Begitu juga penterjemahan dan praktek aturan-aturan dari Kemristekdikti dan Kemenag, terasa alot untuk mencari terobosan- terobosan yang membebaskan ilmuwan.
Lantas, apa solusinya? Kita perlu merombak sistem yang membelenggu penelitian. Jangan sungkan menyerap sistem negara-negara maju yang universitasnya melahirkan penghargaan Nobel, ilmuwan dunia, penemuan- penemuan berkelas. Sistem seperti "tenure track" perlu dipertimbangkan demi membuat dosen produktif dan leluasa pindah dari satu kampus ke kampus lain.[]
Sekarang jadi rektor mas. Bisa di update lagi tulisannya :D
BalasHapus