Apakah Benar Yogyakarta Berhati Nyaman?
Oleh: Mamluatus Shalihah
![]() |
liputan6 |
Kata yang terpampang dipinggir-pinggir
jalan Yogyakarta, ”Yogyakarta berhati nyaman”. Dengan bahasa tersebut daerah
istimewa ini dipandang sebagai tempat yang aman, damai, dan nyaman untuk
ditempati. Namun, kata ini tidak lagi sakral ketika ratusan mahasiswa Papua
melakukan unjuk rasa di depan kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta(DIY).
Mereka menuntut jaminan keamanan pemerintah DIY bagi mahasiswa asal Papua yang sedang kuliah di Jogja. Hal tersebut dipicu oleh berbagai penganiayaan yang dialami mahasiswa Papua. Kejadian nahas itu terjadi tiga kali. Mahasiswa Papua dikepung oleh tiga orang tak dikenal serta di-todong dengan senjata api dan senjata tajam pada pada tanggal 18 Agustus 2018. Sebulan setelahnya, 12 September terjadi penusukan atas nama Kemis Murib di Babarsari Sleman. Berselang beberapa minggu setelahnya terjadi pembacokan terhadap Rolando Nauw di daerah Timoho. Tiga peristiwa sadis yang menimpa orang Papua tersebut seakan sudah menghilangkan eksistensi Yogyakarta sebagai kota Istimewa yang damai.
Mereka menuntut jaminan keamanan pemerintah DIY bagi mahasiswa asal Papua yang sedang kuliah di Jogja. Hal tersebut dipicu oleh berbagai penganiayaan yang dialami mahasiswa Papua. Kejadian nahas itu terjadi tiga kali. Mahasiswa Papua dikepung oleh tiga orang tak dikenal serta di-todong dengan senjata api dan senjata tajam pada pada tanggal 18 Agustus 2018. Sebulan setelahnya, 12 September terjadi penusukan atas nama Kemis Murib di Babarsari Sleman. Berselang beberapa minggu setelahnya terjadi pembacokan terhadap Rolando Nauw di daerah Timoho. Tiga peristiwa sadis yang menimpa orang Papua tersebut seakan sudah menghilangkan eksistensi Yogyakarta sebagai kota Istimewa yang damai.
Yogyakarta Istimewa
Daerah yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah tersebut mempunyai perbedaan tersendiri dengan daerah lain. Tempat ini dikatakan istimewa karena sampai sekarang masih menerapkan sistem kerajaan yang diwariskan oleh leluhurnya. Yogyakarta termasuk Provinsi tertua kedua setelah Jawa Timur. Wilayah ini berasal dari dua pemerintahan, yaitu Kadipaten Pakualaman dan Kesultanan Yogyakarta. Keduanya menjadi negara bagian saat Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda, Inggris, dan Jepang.
Setelah kemerdekaan diraih, Presiden Soekarno memberikan payung hukum terhadap daerah Yogyakarta untuk dijadikan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tanggal 18 Agustus 1945, keistimewaan daerah ini (daerah otonom) akan diambil oleh pemerintah Indonesia pada saat itu, karena, jika Yogyakarta masih menjadi negara tersendiri, maka hal tersebut bertentangan dengan isi UUD 1945 yang berisikan Indonesia adalah negara kesatuan.
Polemik antara petinggi kerajaan dan pejabat negara Indonesia. Orang kerajaan beralasan, jika otomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dicabut, maka akan menimbulkan ketidak sukaan dari masyarakat Yogyakarta, karena mereka sudah menikmati akan sistem kerajaan. Akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan piagam kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.
DIY dikenal sebagai kota orang berpendidikan, bahkan kampus negeri ternama di Indonesia, Universitas Gajah Mada (UGM) terletak di daerah istimewa ini. Tidak hanya itu, alumni-alumni kampus DIY berhasil banyak yang menjadi penulis, pembisnis dll. Hal ini memicu banyak siswa lulusan MA/SMA/SMK ingin untuk melanjutkan studinya di Yogyakarta, sehingga kampus-kampus di wilayah tersebut mendidik mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Kerifan lokal juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa perantau. Saya sendiri sebagai mahasiswa yang tinggal di daerah ini merasa kerasan karena keramahan masyarakat dan dan lingkungan Yogyakarta. Namun, semua keistimewaan tadi serasa hilang disaat beberapa mahasiswa Papua dianiaya di berbagai tempat. Ada apa dengan Yogyakarta?
Sampai saat ini, pelaku belum diketahui siapa yang melakukan pembacokan, penodongan senjata tajam dan pistol tersebut. Saya berasumsi bahwa, pelaku adalah orang yang memiliki rasa benci kepada mahasiswa Papua dan atas dasar dendamnya, mahasiswa Papua dijadikan pelampiasan. Menurut teori Bondet Wrahatnala, pakar ilmu Sosiologi, penyebab terjadinya penganiayaan; faktor personal dan komunal.
Faktor pertama, disebabkan karena adanya ketimpangan sosial antara satu orang dengan orang lain. Sedangkan faktor kedua, merupakan masalah suatu kelompok dengan dengan kelompok lain, atau konflik yang disebabkan oleh satu orang dan disebarkan ke komunitasnya, lalu problem ini menjadi ketimpangan sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Jika ditelisik lebih mendalam tentang kasus ini, motif pengniayaan ini adalah termasuk ke faktor kedua, yaitu komunal, karena penganiyaan dalam tiga kasus di awal tulisan dilakukan terhadap satu kelompok mahasiswa papua. Maka bisa dipastikan ada oknum dari kelompok lain yang membenci mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Saya mengutip dari teori Jonathan H. Turner tentang penyelesaian konflik antar kelompok. Konflik sosial antar kelompok menurut Turner disebabkan oleh emosional keduanya. Tokoh ini menawarkan agar adanya tokoh moderat yang bisa mempertemukan perwakilan dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Orang yang saya rekomendasikan dalam teori ini adalah polisi. Jadi, proses perdamaian dengan melakukan penyatuan emosional melalui proses moderator diharapkan bisa menghapus konflik agar tidak berkepanjangan.
Teori musyawarah untuk menyelesaikan konflik sosial sangat cocok untuk diimplementasikan dalam masalah penganiayaan ini, karena ini adalah suatu metode menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Mekanisme ini akan menuai dua kemungkinan, antara damai atau tidak. Maka, jika proses penyelesaikan konflik ini tidak bisa diselesaikan secara musyawarah maka aparat keamanan harus memakai hukum positif untuk membuat mereka menjadi jera.
Penerapan teori-teori konflik di atas harus diterapkan dengan serius oleh aparat keamanan DIY karena mahasiswa rantau secara keseluruhan pasti menginginkan jaminan keamanan agar bisa serius menuntut ilmu di DIY yang berhati nyaman.
Penulis adalah Mahasiswa Institute Ilmu Ke-Islaman Annuqayah Madura
Daerah yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah tersebut mempunyai perbedaan tersendiri dengan daerah lain. Tempat ini dikatakan istimewa karena sampai sekarang masih menerapkan sistem kerajaan yang diwariskan oleh leluhurnya. Yogyakarta termasuk Provinsi tertua kedua setelah Jawa Timur. Wilayah ini berasal dari dua pemerintahan, yaitu Kadipaten Pakualaman dan Kesultanan Yogyakarta. Keduanya menjadi negara bagian saat Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda, Inggris, dan Jepang.
Setelah kemerdekaan diraih, Presiden Soekarno memberikan payung hukum terhadap daerah Yogyakarta untuk dijadikan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tanggal 18 Agustus 1945, keistimewaan daerah ini (daerah otonom) akan diambil oleh pemerintah Indonesia pada saat itu, karena, jika Yogyakarta masih menjadi negara tersendiri, maka hal tersebut bertentangan dengan isi UUD 1945 yang berisikan Indonesia adalah negara kesatuan.
Polemik antara petinggi kerajaan dan pejabat negara Indonesia. Orang kerajaan beralasan, jika otomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dicabut, maka akan menimbulkan ketidak sukaan dari masyarakat Yogyakarta, karena mereka sudah menikmati akan sistem kerajaan. Akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan piagam kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.
DIY dikenal sebagai kota orang berpendidikan, bahkan kampus negeri ternama di Indonesia, Universitas Gajah Mada (UGM) terletak di daerah istimewa ini. Tidak hanya itu, alumni-alumni kampus DIY berhasil banyak yang menjadi penulis, pembisnis dll. Hal ini memicu banyak siswa lulusan MA/SMA/SMK ingin untuk melanjutkan studinya di Yogyakarta, sehingga kampus-kampus di wilayah tersebut mendidik mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Kerifan lokal juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa perantau. Saya sendiri sebagai mahasiswa yang tinggal di daerah ini merasa kerasan karena keramahan masyarakat dan dan lingkungan Yogyakarta. Namun, semua keistimewaan tadi serasa hilang disaat beberapa mahasiswa Papua dianiaya di berbagai tempat. Ada apa dengan Yogyakarta?
Sampai saat ini, pelaku belum diketahui siapa yang melakukan pembacokan, penodongan senjata tajam dan pistol tersebut. Saya berasumsi bahwa, pelaku adalah orang yang memiliki rasa benci kepada mahasiswa Papua dan atas dasar dendamnya, mahasiswa Papua dijadikan pelampiasan. Menurut teori Bondet Wrahatnala, pakar ilmu Sosiologi, penyebab terjadinya penganiayaan; faktor personal dan komunal.
Faktor pertama, disebabkan karena adanya ketimpangan sosial antara satu orang dengan orang lain. Sedangkan faktor kedua, merupakan masalah suatu kelompok dengan dengan kelompok lain, atau konflik yang disebabkan oleh satu orang dan disebarkan ke komunitasnya, lalu problem ini menjadi ketimpangan sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Jika ditelisik lebih mendalam tentang kasus ini, motif pengniayaan ini adalah termasuk ke faktor kedua, yaitu komunal, karena penganiyaan dalam tiga kasus di awal tulisan dilakukan terhadap satu kelompok mahasiswa papua. Maka bisa dipastikan ada oknum dari kelompok lain yang membenci mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Saya mengutip dari teori Jonathan H. Turner tentang penyelesaian konflik antar kelompok. Konflik sosial antar kelompok menurut Turner disebabkan oleh emosional keduanya. Tokoh ini menawarkan agar adanya tokoh moderat yang bisa mempertemukan perwakilan dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Orang yang saya rekomendasikan dalam teori ini adalah polisi. Jadi, proses perdamaian dengan melakukan penyatuan emosional melalui proses moderator diharapkan bisa menghapus konflik agar tidak berkepanjangan.
Teori musyawarah untuk menyelesaikan konflik sosial sangat cocok untuk diimplementasikan dalam masalah penganiayaan ini, karena ini adalah suatu metode menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Mekanisme ini akan menuai dua kemungkinan, antara damai atau tidak. Maka, jika proses penyelesaikan konflik ini tidak bisa diselesaikan secara musyawarah maka aparat keamanan harus memakai hukum positif untuk membuat mereka menjadi jera.
Penerapan teori-teori konflik di atas harus diterapkan dengan serius oleh aparat keamanan DIY karena mahasiswa rantau secara keseluruhan pasti menginginkan jaminan keamanan agar bisa serius menuntut ilmu di DIY yang berhati nyaman.
Penulis adalah Mahasiswa Institute Ilmu Ke-Islaman Annuqayah Madura
Posting Komentar untuk "Apakah Benar Yogyakarta Berhati Nyaman?"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!