Pandang Gagasan, Bukan Jabatan (Kepada Redaktur Media)
Oleh : M. Kompa
![]() |
krjogja.com |
Bagi segelintir orang, menulis
adalah sebuah kebutuhan. Mereka merasa tidak nyaman ketika tidak menulis. jika
kita ambil dari sebuah pepatah senior, membaca tanpa menulis adalah seperti
makan tanpa bertai, kalau tidak dikeluarkan, tidak sehat namanya.
Menjadi seorang penulis tidak
semudah menjadi seperti senior, asal ngomong,
kemudian akan dipercaya sama junior. Menulis membutuhkan banyak skil,
membutuhkan banyak ide, membutuhkan kreatifitas untuk membuat pembaca paham
akan gagasan yang kita sajikan dalam sebuah karya.
Mayoritas penulis mengirim
tulisannya untuk media agar dibaca oleh banyak orang. keuntungannya, menulis di
koran atau media online selain dibaca
banyak orang, biasanya pihak pengelola media tersebut menyediakan honorarium
untuk penulis sebagai sebuah imbalan atau ucapan terimakasih atas jasanya
menulis di media. Lumayan bukan?
Untuk penulis yang masih
awal-awal biasanya akan mencoba mengirim karyanya untuk media lokal, taraf
medianya tidak nasional. Melalui seleksi ketat di meja redaktur, karya yang
sudah terkirim lewat email, dipilih yang cocok kepada redaktur, kemudian akan
dimuat.
Redaktur adalah raja dalam sebuah
media, mereka berhak untuk membuang karya tulis yang berserakan di mejanya dan
dia juga berhak untuk memilih tulisan orang yang ia inginkan. bagus. Redaktur
memang sangat bagus, karena banyak tulisan profesor, guru besar, dosen, ketua
sebuah organisasi, dan segala jabatan lainnya.
Jika kalian tulisan yang banyak
berserakan di media cetak atau online,
kalian lihat sendiri. apakah ada penulis yang tanpa jabatan? sangat jarang dan
bahkan tidak ada. Di koran lokal pun redaksi lebih memilih orang punya jabatan
tinggi. Miris ya. menyelasaikan sebuah tulisan tidak semudah kamu membuang
tulisan mereka bos.
Memperoleh jabatan sebagai
redaktur dalam sebuah media tentunya tidak langsung lompat seperti tupai naik
ke pohon, tidak seperti batu ketepel langsung cuz, masih butuh proses yang
berkeringat dan sangat melelahkan. Ada yang menulis dari genre fiksi dan ada
yang menulis dari genre non fiksi.
Setelah menjadi orang yang
berpangkat redaktur, mereka seperti kacang lupa kulit. Kalau kita pinjam
pepatah anak jaman now, “jangan lari
untuk dikejar, berjuang tidak sebercanda itu.” Perjuangan menulis juga tidak
sebercanda itu mas.
Tulisan mereka juga butuh
perhatian lebih dari anda. jika anda pandang jabatan, apalah daya kita yang
tidak punya jabatan, hanya pejalan kaki, hanya pemulung yang ingin menulis,
yang ingin gagasannya dibaca banyak orang. kalau redaktur seperti ini, kapan
Indonesia maju? Indonesia butuh gagasan cemerlang, Indonesia butuh gagasan yang
baru, siapa tahu sebuah ide datang dari pemulung, siapa tahu gagasan datang
dari seorang kuli bangunan.
Oke, kita pinjamkan lagi
kata-kata entah dari siapa, “jangan pandang siapa yang berucap, tapi pandanglah
apa yang diucapkan.” Semua penulis adalah manusia, semua profesor juga manusia,
semua guru besar juga manusia, mereka bukan dewa yang selalu benar. Jangan
jangan lebih benar pedagang kaki lima.
Saya orang Indonesia, aku ingin
media cetak atau pun online di negara
ini tidak pandang jabatan, karena jabatan tidak menjamin sebuah ide cemerlang.
tulisan ini memang amburadul acakadut dan tidak jelas. Namun intinya, redaktur
jangan gila jabatan! izinkan penulis di pinggir selokan bergagasan di mediamu.[]
Posting Komentar untuk "Pandang Gagasan, Bukan Jabatan (Kepada Redaktur Media)"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!