Kegilaan Politik, atau Politikus Gila?
Oleh: Ali Munir S.
![]() |
doogle.com |
Artikel ini ditulis untuk mengobati ketidakbisahadiran saya pada diskusi malam nanti (23/03) di forum GMNI UIN SUKA. Karena saya harus mengisi belajar rutin setiap malam Minggu untuk anak-anak kampoeng halaman yang ingin belajar di UIN.
Jadi begini. Saya lihat sebuah pamflet bertebaran di HP saya, dan bahkan ada yang langsung chat pribadi tentang tema “Kegilaan Politik” malam nanti. Dari sana saya melihat mereka memposisikan politik sebagai objek atau benda (tersangka), yang sebenarnya benda itu tidak ada (halusinasi), atau sekedar simbol berupa Istilah Bahasa. Sehingga kata yang tidak jelas itu seperti angin, tergantung dimana dia hinggap. Kalau dia ada di tangan Hitler, dia adalah hantu yang mematikan. Kalau dia ada di tangan Marx, dia adalah pemicu keadilan dompet sosial bagi kaum buruh. Kalau dia ada di tangan Soekarno, dia adalah perintis kemerdekaan dan perdamaian dunia melalui Non-Block. Kalau dia ada di tangan Soeharto, dia adalah…. (pikir sendiri, atau tanya sama hantu PKI swasta yang dibantai itu).
Dan kalau “Politik” itu ada di tangan kalian?
Banyak orang berpikir bahwa politik itu hanya terkait dengan kekuasaan dan pemerintahan. Padahal politik itu seperti jin, bisa ke segala ruang dan bergantung pada di tanagn siapa dia dipegang. Kalau dipegang tukang sihir, itu persis kayak jaman Soeharto. Kalau dipegang oleh kalian?
Politik itu jangkauan istilah yang sangat luas. Mantu bersiasat agar tidak diusir mertua itu termasuk politik. Murid yang main belakang gedung agar tidak ketahuan saat merokok itu politik. Mahasiswa yang mengkritik dosen agar tidak kerasan di kelas itu politik. Mahasiswa yang mengatur pola gerak kritisnya agar tidak mempengaruhi terhadap nilai Cumlaude itu juga politik.
Lalu, politik di tangan kalian jadi apa?
Politik adalah tuyul kata-kata yang tidak absolut. Karena selalu ada celah dimana, siapa, dan dengan cara apa politik itu dijalankan, selalu ada celah yang plural. Sebut saja Nabi Muhammad yang katanya manusia sempurna, masih menjalankan politik dengan perang. Kurang apakah lobi politik seorang nabi yang baik hati itu? Kemudian kalian mau sok-sokan tahu betul soal politik absolut, padahal itu tak lebih dari bayangan otak kalian sendiri. Lalu, politik di tangan kita apa?
Oke, kita bicara soal Politik Indonesia. Dari dulu hingga sekarang politik kita selalu bergantung pada siapa pemeran utama politik negara. Sebut saja Soekarno, Soeharto, dan sebagainya. Dan kita berpikir bahwa politik Soekarno (bedaulat dalam politik) lemah karena Soekarno tidak berani melawan gerakan Soeharto. Padahal kuat lemah politik tidak bisa diukur dengan absolut, semua tergantung pada situasi dan pelaku politik itu sendiri. Justru mengalahnya Soekarno di tampuk kekuasaan itu adalah politik untuk menjaga kesatabilan negara, agar Uni Soviet dan Amerika tidak meledak di Indonesia (perang saudara tanah air). Masih mau sebut politik itu kekuasaan? Tidak. Dia adalah jalan yang dimiliki setiap orang, sehingga hasilnya juga berbeda-beda.
Jadi kita sudah bisa pisah, politik personal dan politik kebangsaan. Sepertinya apa yang kalian gagas jadi tema diskusi itu lebih dekat dengan politik kebangsaan. Tapi untuk sampai pada analisis politik kebangsaan, kalian harus kaji dulu politik persoalnya. Misalnya gini, ada 4 partai dalam kontestasi kekuasaan melalui Pilpres saat ini. Kita lihat dulu personal pada masing-masing partai. Karena partai digerakkan oleh otak-otak yang sebenarnya suka mundar mundir, bahkan sewaktu-waktu bermetamorfosis menjadi penilik kepentingan perut itu.
Setelah ditemukan pelakunya, kita analisis gerakannya. Misal partai si A yang begini dan B yang begitu, mengusung Jokowi sebagai presiden. Dan kebetulan partai pengusung memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Dan wajarlah kalau partainya si Prabowo mengusung kritik kontra terhadap paham kubu Jokowi. Lalu kalian mau bilang politiknya Prabowo itu politik gila? Jangan gitu lah. Kalau Prabowo gak bangun wacana kritik kontra, mending gak usah nyalon. Diem aja. Gak ngaruh sama elektabilitas (soalnya kubu Prabowo sudah tahu kubunya tidak memiliki gagasan fair yang mumpuni dibanding kubu sebelah). Begitu to?
Kubu Jokowi juga jangan dikira tidak memiliki “kegilaan” dalam politik. Sebut saja kasus HAM, Novel Baswedan misalnya yang tidak ada kabar sampai sekarang. Terus kasus HAM di masa Soeharto gagal diungkap. Dana desa tercecer pada wilayah “dompet kepala desa dan aparaturnya”.
Udah deh, kalau mau sempurna undang Tuhan saja untuk kampanye, seperti yang dilakukan Amien Rais misalnya. Biar Tuhan bicara bahwa kutukan untuk Iblis juga termasuk politik untuk menjadikan ciptaannya sendiri sebagai kontra dari Malaikat. La, kalau tidak ada Iblis ngapain ada neraka? Buktinya katanya Iblis dibuat dari Api. Api ada di neraka. Iblis pasti masuk neraka. La, iya to?
Jadi ya sudahlah. Kita tidak perlu ngotot menyalahkan politik. Politik itu korban. Kesalahan yang ada disebabkan oleh pelakunya. Yang benar adalah analisis, dan ambil alternatif, serta gerakan yang lebih dari sekadar label “KEKUASAAN”.
Kalian kira dosenku yang berhasil membangun Sentra Peternakan Rakyat itu bukan proses Politik? Walaupun tidak ada di kekuasaan Pemerintah Desa, tapi dia ada dan membangun system sendiri kesejahteraan rakyat. Itu baru politik. Politk kok hanya mikir soal kekuasaan. Gak jaman!!!
Posting Komentar untuk "Kegilaan Politik, atau Politikus Gila?"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!