Meneropong Jalan GMNI UIN: Pecahnya Komisariat Bisa Jadi Keberuntungan, Juga Kecelakaan
Oleh: Ali Munir S.
"Konflik dan pertentangan, jatuh dan terbangun, hanyalah keniscayaan dari perjalanan yang harus kita hadapi dengan hati yang lapang. Sejak kapan revolusi bisa dicapai tanpa adanya perang?"
Andai aku adalah Ali Munir yang masih hidup di tahun 2016 silam.
Malam itu aku diajak oleh Bung Farid, teman diskusiku di Komunitas Intelectual Transformer (Intrans Community), menuju sebuah tempat yang entah; di sebuah sekolah pinggir jalan yang kelasnya berderet sepanjang kisaran 30-an meter dari barat ke timur. Di sekolah yang tampak kecil itu, aku berkenalan dengan Bung Ogin, Limpad, dan teman-teman Farid yang lain. Sekitar jam 7 sehabis isya’, Farid dan teman-temannya mengajakku beranjak ke sebuah ruang kelas yang di bagian depan tampak Banner bertuliskan “Musyawarah Anggota Komisariat” lengkap dengan meja di bawahnya.
Mulanya aku tidak tahu itu forum apa; diskusi atau apa. Aku hanya mengikuti forum dengan seksama, berikut jalannya acara yang ternyata identik dengan persidangan. Aku pun semakin tertarik, sekalipun aku belum pernah mengikuti bentuk forum, diskusi misalnya, yang sealot dan sepanjang ini hingga dini hari.
Laporan pertanggungjawaban disampaikan oleh Bung Limpad. Perilakunya yang Cool dan tegas, membuatku terkagum-kagum; mungkin ini yang dimaksud aktivis. Lelahku terbayar dengan segala dialektika selama sidang. Selanjutnya, sidang komisi. Aku sebagai peserta sidang diperbolehkan memberikan masukan-masukan, namun tidak diperbolehkan memberikan suara. Aku sebagai orang yang sudah terbiasa berdiskusi, ikut serta memberikan masukan-masukan seputar topik GBHO dan GBHK, terutama sekali kaitannya dengan efektifitas diksi bahasa. Dan aku senang, sekalipun lelah, berikut kopi, snack dan rokok yang menyertainya.
Sekitar jam 4 subuh, tibalah pada pemilihan komisaris. Mula-mula Bung Yazid mengajukan diri, kemudian disusul oleh Bung Farid. Dengan gelagatnya yang masih tegar, berikut suaranya yang tegas dan lancar, Bung Farid lebih diunggulkan dalam musyawarah ini. Benar saja, Bung Farid didukung oleh mayoritas forum, sementara Bung Yazid hanya didukung oleh 2 orang; Bung Limpad dan satu temannya. Setelah melewati lobying yang cukup alot, akhirnya Bung Yazid mengundurkan diri dan memilih Bung Farid sebagai Komisaris.
Acara selesai, aku dan Bung Farid pulang membawa galon. Di sepanjang perjalanan pulang, kisaran jam 7 pagi itu, Bung Farid bercerita apa yang terjadi semalam. Dia memintaku untuk ikut organisasi GMNI. Tentu saja aku yang melihat menariknya kealotan musyawarah tadi malam langsung tertarik dan siap ikut bergabung.
Hari berlalu. Aku daftar GMNI. Aku ikut PPAB di UP'45. Pematerinya waktu itu ada DPC, Susanto Polamolo dari UP45, dan Bung Ilung dari UIN. Aku merasa materi yang kudapat tergolong baru dan menarik; Marhaenisme, Nasionalisme, serta Lambang GMNI yang terlihat sangar dan menantang itu. Setelahnya, aku aktif ikut diskusi di sekretariat GMNI UIN di Papringan.
Seiring berjalannya waktu, mulai bermunculan kader baru angkatan Nazar, Baha, Miftah, Fian dan Rifai. Baha dan Rifai adalah kawananku, Fian kawanan Nazar, dan Miftah kawanan Farid. Kami KTD secara bersama-sama dengan karakter yang berbeda-beda, terutama sekali antara aku dan Nazar; Nazar begitu giat, ambisius, dan loyal dengan Farid. Sementara aku hanya kader yang suka diskusi dan menulis apa adanya saja. Aku sama sekali tidak memiliki pikiran soal politik dan sebagainya.
2017 akhir aku tidak aktif di GMNI. Aku sibuk sebagai Ketua Kelompok KKN dan semester akhirku. Namun aku masih sempat ikut MAK-nya Bung Farid dan ikut serta mendukung Nazar yang mengajukan diri dengan alasan; Nazar begitu bersemangat dan cekatan dalam berbicara di depan publik. Meskipun sebenarnya Bung Farid memintaku menggantikannya, tapi aku biarkan melepas kesempatan itu demi aku fokus pada Skripsiku. Aku hanya siap menjadi Wakobid Media waktu itu. Sekalipun di tengah jalan aku sempat bertentangan dengan langkah Nazar yang agak sedikit buyar dalam kerangka rentetan kerja organisasi. Aku tiada peduli, dan diminta Nazar untuk keluar dari lingkaran grup pengurus.
Aku tahu Media Lokajaya tidak ada yang ngurus, dan aku tetap bersedia mengurusnya sekalipun tidak ada dalam lingkaran pengurus, dengan cara berkonsultasi langsung dengan Mas Irfan. Beruntungnya, Mas Irfan bersedia memberiku arahan dan membelikanku domain Marhaenislokajaya.com untuk media GMNI UIN.
Singkat cerita, Nazar selesai dengan segala huru-haranya dan diganti oleh Jamal. Jujur, aku sama sekali vakum dari kegiatan bersama GMNI selama kepengurusan Nazar; aku hanya pegang media di belakang layar. Dengan kesibukanku pada Skripsi dan Wisuda, tentu aku tidak terlalu peduli. Aku hanya sesekali bertemu si Jamal, dan menanyakan perkembangannya. Nihil, program tidak jalan katanya. Hingga suatu ketika aku mendorong mereka mengadakan sekolah jurnalistik, namun tetap saja nihil juga dengan kurangnya manajemen kegiatan antar pengurus yang ada.
Jamal selesai, Alumni turun tangan. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin lagi ikut campur dengan GMNI UIN karena sudah lulus dan selesai Wisuda; berikut mimpiku untuk S2 dengan jalur beasiswa LPDP. Namun, aku diminta untuk kembali dan memperbaiki Komisariat. Aku keberatan, karena aku hanya punya bekal kesekretariatan dan masukan program semenjak OSIS SMA dulu. Tapi melihat keadaan komisariat yang ada, aku dengan mencoba ikhlas terjun lagi ke bawah; berikut segala konflik dan resiko yang harus aku tanggung.
Mula-mula aku punya kerangka besar yang ingin kukerjakan selama 1 tahun kepengurusanku. Tapi naas, Pandemi Corona membuyarkan segalanya. Bersukurnya, kaderisasi tetap jalan dan beberapa program diskusi tetap dijalankan secara online. Semua karena kerjasama pengurus yang ada; aku hanya berperan sebagai penampung, kurasi, dan fasilitasi saja.
Dengan banyaknya kader, 5 Caretaker pun dibentuk. Semua itu kulakukan bukan tanpa beban, sekalipun barangkali beberapa orang menganggapnya pencapaian yang luar biasa. Bagiku tidak sama sekali, pecahnya GMNI UIN adalah keniscayaan dari perjalanan sebuah tanaman yang harus terus tumbuh, berkembang dan bercabang. Karena bila tidak, penumpukan akan terjadi dan berikutnya akan ada banyak kader yang vakum karena tidak adanya wadah tersendiri. Dan semua itu terbukti, mulai banyak kader yang kembali aktif di komisariat; bahkan kader yang awalnya sempat tidak mengakui lagi sebagai kader GMNI UIN sekalipun.
Tugas berikutnya adalah menyiapkan bekal kepada mereka semua, mencoba mengayomi dan menguatkan. Dan itu tidak mudah. Apalagi situasinya masih serba online, belum pernah bertemu satu sama lain. Tapi setidaknya aku dan kawan yang lain mencoba beradaptasi dengan cara kerja yang baru; cara kerja era milenial. Kesulitan dalam mematangkan kader mungkin iya, tapi perjalanan organisasi yang mulai beradaptasi dengan zaman dan siap bersaing dengan organisasi lain adalah sisi lain yang perlu diapresiasi.
Hal yang perlu dijaga selanjutnya agar tidak terjadi kecelakaan adalah keterbukaan, integritas, menghargai, dan saling berbagi satu sama lain antar komisariat di UIN. Satu atau dua komisariat boleh lebih progresif dan maju, tapi jangan sampai lupa untuk menggandeng tangan komisariat lainnya dengan segala kelemahan yang dimiliki. Berikut terus menjaga hubungan baik dengan para Alumni yang memegang rantai perjuangan dari masa ke masa.
Di sinilah revolusi kader GMNI diuji; menggeser budaya Kompetisi dengan Kolaborasi.
Itulah Marhaenisme!
Posting Komentar untuk " Meneropong Jalan GMNI UIN: Pecahnya Komisariat Bisa Jadi Keberuntungan, Juga Kecelakaan"
Berkomentarlah dengan Bijak dan Kritis!