Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biarkan Aku Jadi Kegelapan

Oleh: Hisyam Billya Al-Wajdi 

(Peserta Lomba Menulis Cerpen Hari Santri Nasional 2020)

“Aku akan tetap tinggal mas, menunggu,…menunggu kereta langit itu tiba menjemputmu” kata Siti. Abimayu tetap diam. Mulutnya enggan melucurkan sepatah katapun, sedang matanya seperti berlayar ke atas, mengarungi dingin udara, sebuah bangsal yang hampir tak pernah di singgahi cahaya. Beberapa saat kemudian tubuhnya mendadak dingin dan kaku. Sorot matanya padam. Ia pun terlelap dalam mimpi, mimpi yang abadi.

Perpuluh-puluh purnama setelah kejadian sakral itu,siti masih saja di bayang-bayangi sosok abimayu,setiap kali ia melintasi taman, jalan dan sungai yang pernah ia kunjungi bersama Abimayu,rasa itu kian menyeruak.Mungkin bagi sebagian orang Abimayu hanyalah seorang pemuda yang hidupnya lontang-lantung, tak jelas,seorang pemuda yang saban hari kerjaanya hanya duduk bersandar di sebuah kursi tua, memegang pena dan mencoret-coretkannya pada selembar kertas yang usang.

Abimayu adalah Abimayu, salah satu, atau bahkan satu-satunya penduduk desa yang tak pernah risau akan nasibnya, tak pernah mengidahkan gunjingan-gunjingan yang datang menerpa, gunjingan-gunjingan itulah yang menyebabkan orang tuanya tak kerasan berlama-lama memeluk ranjang dunia. Sepulang dari kota dia memang terlihat berbeda dari sebelumnya, banyak yang bilang pikiranya kacau, cara bicaranya pun jadi serampangan, terlebih lagi pakaian yang sehari-hari ia kenakan sangat mencerminkan ke sintingannya, rambut gondrong sebahu, tato di pipi dan jidat, gelang besar berwarna ijo, baju yang sobek di beberapa bagian, celana putih yang penuh coretan dan tak lupa ia senantiasa menenteng  keresek plastik berisi sebotol campaign,kertas dan pena.

Abimayu sebenarnya terlahir dari keluarga yang cukup disegani, orang tuanya adalah salah satu pemilik perkebunan sawit  terluas di desa, akan tetapi semenjak kematian orang tuanya, lebih tepatnya semenjak ia pulang dari kota, ada perubahan drastis yang terjadi pada diri Abimayu, dari mulai cara bicara, sikap dan penampilannya. Banyak yang bilang, ketika berada di kota, dia bergaul dengan dunia gelap. Bukan tanpa alasan, seringkali para tetangga mendapati kebiasaan dia menyumpah serapahi sesuatu dengan kata-kata yang menurut orang kebanyakan adalah kasar.  Di sekitaran rumahnya akan kita dapati botol-botol minuman keras seperti wiski, bir, campaign tergeletak dimana-mana, juga pernah sesekali para tetangga memergoki Abimayu menghisap bubuk putih dan dalam beberapa saat setelah itu tubuhnya mengelinjang, sorot matanya tak terarah. Ia mengoceh selenco seperti dalam euforia, lantas ketika para tetangga mendekatinya tercium aroma menyegat. Tentu setiap orang yang melihat hal seperti itu akan menjustifikasi bahwa penghuni rumah itu adalah seorang unmerciful terhadap dirinya sendiri. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa disangkal, bahwa Abimayu adalah orang yang sangat sopan kepada  wanita, seperti rahwana memperlakukan sinta.

Satu-satunya orang yang bersedia bertegur sapa dengan Abimayu hanyalah Siti, awalnya Siti hanya membalas pelakuan lembut dan sopan yang dilakukan olehnya. Bagaimana tidak, hampir setiap kali berpapasan dengan seorang perempuan Abimayu senantiasa menundukkan kepala, persis seperti tradisi ojigi di jepang,yang tentu hal tersebut tidaklah lumrah dikalangan adat masyarakat desannya yang cenderung masih menganut paham patriarki.

Lambat-laun benih-benih cinta mulai mekar di hati Siti. Seringkali ia tenggelam dalam lamunan, bayang-bayang Abimayu seperti meloncat-loncat di pikirannya.

Sitipun memberanikan diri untuk mengenal lebih dekat sosok Abimayu, sesekali ia menyempatkan diri mengunjungi sungai di pinggiran desa. Kenapa? Karena di tempat itulah Abimayu biasa menghabiskan siangnya yang terik,dia memang suka berlama-lama di tempat itu. Suatu ketika, Abimayu memergoki siti tengah memandangnya dari kejauhan, sontak ia berseru,

“mataku tidak buta untuk memandang cahaya seterang dirimu.”

Sitipun gelagapan,rona wajahnya mendadak merah,ia tersipu malu.

“Kemarilah Siti!” Panggilnya dengan lembut.

Siti semakin gemetar, suara Abimayu seakan bergema ke ceruk terdalam hatinya.

“Kemarilah, aku bukan bad guy, so don’t be afraid” 

Dengan perlahan, Siti mengayunkan langkahnya,  lamban dan kaku, seperti detik-detik pada jam dinding. Pandanganya masih menunduk. Ia pun berjalan ke arah Abimayu. Sampailah ia di hadapan Abimayu yang tengah memandang bentangan sungai. Tidak ada yang lebih mengetarkan hatinya, selain melihat wajah teduh Abimayu. Tapi Siti cukup heran, karena setelah dekat, seakan terbersit kegelisahan pada wajah tersebut.

Siti pun duduk berdambingan dengan Abimayu,sejenak keheningan tercipta, di antara riak-riak sungai yang bergemercik dan daun-daun kering yang berjatuhan dibelai sepoi angin, entah mengapa sepasang anak manusia itu masih membisu. Mengumpulkan keberanian, Siti mulai membuka mulutya, ia sedikit gemetar ketika hendak menyebut nama Abimayu, sebuah namanya yang seringkali hadir dalam mimpi-mimpinya,

“Apa mas tidak lelah?”

“Lelah kenapa?”

“Lelah berpura-pura. Siti tahu, mas sebenarnya adalah seorang yang sangat baik, tetapi di hadapan orang-orang mas berperangai lain, mas seperti menampakkan kegelapan dan menyembunyikan cahaya.”

“Rupanya kamu seorang detektif ya, kamu suka baca Sherlock Holmes?

“Siti bahkan tidak tau siapa dan apa itu?

“Benarkah,kalau begitu maukah kau mendengarkan pejelasaanku tentang siapa itu Sherlock Holmes?

“Kalau mas tidak keberatan, Siti mau , pun pengetahuan Siti masih dangkal, maklum Siti hanya tamatan SMA,” katanya dengan lugu. Siti masih belum menyadari bahwa Abimayu berusaha mengalihkan topik pembicaraan dan menguasai alurnya.

“Hmm, mungkin lagi kali saja.”

“Kenapa?”

“Saya hanya ingin kau mengetahui kebenaraan akan diriku”

“Maksudnya?”

“Ketahuilah Siti, kehidupan ini bagai panggung sandiwara, semua orang mengambil perannya masing-masing, naskah dan lakonnya sejatinya sudah ditentukan oleh sang sutradara yang tak lain dan tak bukan adalah Tuhan itu sendiri. Tugas kita sebagai aktor, pemeran, adalah memerankan watak  dengan baik, penuh totalitas sebagaimana yang termaktub dalam naskah tersebut.”

“Dan ketahulaih Siti seseorang yang di beri amanah untuk menjalankan peran dalam naskah tersebut adalah mereka-mereka yang telah menemukan identitasnya, kenapa? Karena ketika seseorang telah menemukan identitasnya, maka otomatis ia tidak akan goyah oleh macam-macam angin yang berhembus. Sekaligus ia akan mengetahui kesejatian yang sebenarnya tidaklah terletak pada dunia ini, sebagaimana yang ku jelaskan tadi dunia ini baginya adalah panggung sandiwara, sebuah tempat dimana ia harus menjalankan tugas atau peran yang dibebankan padanya dengan sebaik-baiknya”

“Jadi maksud mas sifat semua orang itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya?”

“Bukan semua orang Siti, tetapi mereka-mereka yang sudah menemukan identitasnya, lagipun juga bukan hanya sifatnya. Akan tetapi mencangkup segala watak, karakter maupun apa saja yang melekat pada orang tersebut”

“Lantas apa hubungannya dengan kebenaran dirimu? ”

“Sejak aku berada di kota, aku menemui sesuatu yang dapat menghantarkan aku pada sebuah kesejatian. Pada sebuah hidup yang sebenarnya. Pada sebuah cara pandang yang sejati.”

“Maksudmu,sungguh saya tidak paham apa yang kau katakan Abimayu”

“Siti! Saya mendapati seni terbit menyinari kegelapan jiwa, menjernihkan pikiran-pikiran yang ruwet acak-acakan, seni membimbing saya menemukan identitas yang membimbing saya mengetahui naskah atau peran yang musti saya lakonkan di kehidupan yang fana ini. Jadi, Siti, semua yang kulakukan dan sikapku  dalam keseharian adalah peranan yang Tuhan titahkan”

“Kenapa kamu bisa tau bahwa peranan yang di berikan oleh Tuhan adalah sebagai seseorang yang berperangai buruk”

Saya mengamati segalanya yang ada di desa, dari mulai yang terkecil sampai terbesar. Dari mulai yang kompleks sampai yang rinci. Dari mulai matahari sampai rembulan. Dan saya mendapati desa ini terlalu banyak cahaya dan kurang kegelapan. Oleh sebab itulah saya menjadikan diri saya sebagai objek kegelapan, agar kita benar-benar memperoleh ekuilibrium atau keseimbangan bahkan dalam kubangan cahaya”

Siti hanya diam menyimak kata demi kata yang di lontarkan oleh Abimayuk. Kemudian berhenti bicara. Ia berdiri membalikkan tubuhnya dan mengayunkan langkahnya menjauhi Siti. Ia pergi tanpa permisi. Nafas Siti terhempas, sebenarnya ia ingin melambaikan tangan dan memanggil nama Abimayu, tapi ia urungkan. Ia tahu bahwa, ia baru saja mengetahui rahasianya yang apabila semua orang tahu, akan berubahlah presepsi mereka.sekaligus ia tak habis pikir kenapa Abimayu menceritakan sesuatu semacam itu kepadanya, akan kah ia juga memiliki perasaan yang sama dengan dirinya.

Kejadian-kejadian seperti itulah yang membuat Siti tak bisa melupakan Abimayu,bahkan ketika mereka berdua telah berada dalam dunia yang berbeda. Siti adalah satu-satunya orang yang menemani saat-saat terahir Abimayu. Ia juga satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran tentang Abimayu. Ia mungkin dicerca oleh para penduduk di bumi, akan tetapi namanya harum dan senantiasa di bicarakan oleh para penghuni langit. Abimayu adalah kegelapan yang mengorbankan dirinya agar muncul cahaya.[]

*Hisyam Billya Al-wajdi lahir di Yogyakarta,sekarang tercatat sebagai mahasiswa aktif filsafat UIN sunankalijaga,tulisan-tulisanya dapat di jumpai di beberapa media cetak maupun digital seperti cerano.id,majalah literasi dan beberapa antologi bersama,penulis menetap di bantul.


Posting Komentar untuk " Biarkan Aku Jadi Kegelapan"