K U N F A Y A K U U N
Oleh: Rubiyantiningsih
(Pemenang Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Hari Santri Nasional)
Kumelangkah maju penuh percaya diri saat menyadari namaku dipanggil dari atas altar gereja nan megah itu, menuju sang Romo yang juga telah menantiku di atas sana. Ujung jariku mulai dingin, namun bibirku tetap tak urung tersenyum menyadari hari ini adalah hari bersejarah bagiku. Ya, hari ini adalah hari penerimaan komuni pertama. Aku juga langsung dinyatakan naik satu tingkat dari sekedar anak yang sudah menerima komuni, yaitu gelar putra putri altar.
Perasaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata saat aku berdiri di hadapan Romo itu. Namun yang pasti, aku merasakan sesuatu yang ganjil mengisi relung hatiku, entah apa itu. Aku menoleh ke belakang tempat ayahku duduk sembari memandangku dan tersenyum bangga. Namun rasa tak nyaman ini tampaknya terus mengusik hatiku. Alhasil, setelah aku melewati sesi pemotretan dan sebagainya di depan altar, aku langsung berlari ke arah ayahku. Aku hampir saja tersandung oleh bangku yang sudah agak bergeser dari tempatnya semula. Aku memeluk ayahku dengan segenap perasaan dan ayahku pun mendekapku dengan penuh kebanggaan pada putra bungsunya.
Ah iya, aku lupa berkenalan dengan kalian. Namaku Majella Percy Oktavian. Kalian bisa memanggilku Percy atau Pyc saja seperti orangtuaku memanggilku. Usiaku baru menginjak 13 tahun bulan ini. Banyak orang bilang, bahwa angka 13 adalah angka sial dan keramat. Entahlah, aku tak mempercayainya. Namun, ternyata di usia itulah aku mengalami banyak goncangan lahir batin yang tak terkira di dalam hidupku. Di sinilah segala halang rintang perjalanan dimulai.
* * *
“Bagaimana acara tadi Pyc?” Tanya Ibuku yang langsung menyambutku begitu aku tiba di rumah.
“Lancar-lancar saja, Ibu.” Jawabku sambil berbohong mengingat perasaan tak nyaman yang kualami tadi masih membekas di hati kecilku.
“Alhamdulillah! Ya, sudah! Ibu shalat Dhuha dulu, ya? Tunggu Ibu sebentar jika ada yang ingin kau ceritakan!” Respon Ibuku lembut dan beliau tak lupa mengusap kepalaku yang masih agak basah terkena cipratan air suci di gereja tadi. Aku hanya mengangguk pelan.
Jam segini Ibu sudah biasa shalat Dhuha. Aku tidak tahu ritual apa itu. Sedari dulu aku tidak pernah mengamati Ibu shalat. Padahal sepertinya Ibu melakukan shalat lebih dari 3 kali sehari, melebihi kebutuhan makan manusia pada umumnya. Aku pun memutuskan untuk mengikuti Ibu ke kamarnya. Langkahku terasa begitu ringan, padahal tadinya aku tidak begitu bersemangat walaupun hari ini adalah hari yang penting pula bagiku.
Ajaib! Hatiku berangsur-angsur tenang dan damai. Gerakan-gerakan ritual bernama shalat itu seakan menghipnotisku. Aku terus mengamatinya hingga aku dikejutkan oleh suara dingin ayah.
“Apa yang kau lakukan di sini, Percy?”
Aku terkejut dan setengah takut. Karena jika ayah memanggil nama itu, berarti ada yang telah mengusik kenyamanan ayah. Aku merasakan adanya aura tak menyenangkan dari sikap ayah kali ini.
“Aku hanya melihat Ibu shalat. Ya, hanya melihat, tak lebih dari itu,” ucapku meyakinkan ayah walau dengan suara agak gemetar.
Aku tak pernah melihat ayah semengerikan ini dan aku tak ingin membuat ayah marah padahal baru saja ayah merasa bangga padaku.
Ayah hanya mendengus, dan aku menoleh. Ibu menatapku. Lebih tepatnya menerawangku. Aku merasa tak enak hati pada Ibuku. Aku pun menghampirinya, dan tiba-tiba Ibu memelukku sambil terisak.
“Maafkan Ibu, Percy! Sungguh maafkan!”
Untuk ukuran remaja 13 tahun, aku tak mengerti. Terlebih ketika Ibu memanggilku tidak dengan nama biasanya. Namun sebelum aku sempat bertanya, Ibu sudah memberikan penjelasannya.
“Maafkan Ibu, kamu terlahir dengan orangtua yang berbeda agama. Ibu ingin…” belum sempat Ibu menyelesaikan kalimat penjelasannya, ayah datang dengan wajah penuh kemurkaan. Jujur, aku takut sekali. Ayah langsung menarik tanganku dan menatapku lekat-lekat.
Gigi ayah bergemeletuk, menyiratkan kemarahan. Matanya menyala-hanya, dan nafasnya tidak teratur. Hingga akhirnya, meluncurlah perkataan yang bahkan aku sendiri tidak pernah bermimpi untuk mendengarnya.
“Kau ingin mengikutiku, atau berbalik pada ibumu? Kau ingin berdamai bersama Yesus Kristus atau memilih agama ibumu? Ayah dan Ibu tidak akan bisa bersatu, dan kau harus memilih salah satunya!” Suara itu menohokku.
Aku tercekat. Dadaku sesak, lidahku kelu. Tak kuasa aku mendengarnya, memikirkannya, apalagi menjawabnya.
“Jawab, Ayah! Jawab, Ayah, Majella Percy Oktavian!!!”
Aku tak kuasa menjawabnya. Tidak! Aku pasti bermimpi. Mengapa kenyataan begitu dengan kejamnya menghancurkan kebahagiaanku? Aku menangis, sungguh kenyataan ini terlampau menyakitkan. Sayup-sayup aku mendengar bisikan lirih dalam batinku: “Ikuti kata hatimu dan perjuangkan kebenaran!”.
* * *
Aku telah membuat keputusan besar dalam hidupku. Mempertaruhkan hidupku di dunia dan akhirat. Sesuai dengan bisikan yang kudengar di rumahku dahulu, aku benar-benar mengikuti kata hatiku. Aku masuk pesantren salaf di Makassar, ribuan kilometer dari rumahku di Yogyakarta. Orangtuaku bercerai dan kini ibuku menjadi tulang punggungku. Ternyata kedua orangtuaku sudah sering bertengkar sebelumnya. Betapa bodohnya aku tidak menyadari hal itu. Sedangkan Ayah, beliau akan menghabiskan umurnya untuk Yesus, begitu yang ia katakan kepadaku.
Kuharap, aku membuat keputusan yang tepat.
“Nama saya Majella Percy Oktavian,…” aku mendengar orang-orang di depanku ini berbisik-bisik tentangku.
Apa ada yang salah dengan namaku? Memang ada nama baptis tertera di sana. Aku pun melanjutkan kalimatku.
“Saya pindahan dari SMP Dominikus di salah satu kota di Yogyakarta. Saya baru 1 pekan masuk Islam, dan saya harap teman-teman semua mau menerima dan membantu saya.” Aku mengakhiri perkenalan singkat ini dengan mencium tangan Kyai di pesantren besar ini, Kyai Syafiq. Aku merasa nyaman bersamanya.
Semoga ini adalah awal yang baik. Namun aku salah. Aku benar-benar salah 100%. Dunia serasa mencemoohku. Dunia serasa membenci dan melaknatku. Suara-suara sumbang teman-temanku sendiri membuat kupingku panas dan pendirianku goyah. Aku juga kesulitan untuk mengimbangi ilmu keagamaanku. Di Madrasah, aku selalu menangis ketika pelajaran Bahasa Arab. Sungguh aku merasa sendiri di dunia ini. Aku merasa terbuang dari lingkunganku. Belum lagi ketika ada event yang memaksaku untuk bisa beradaptasi. Sungguh, aku berada di titik di mana tidak ada lagi semangat untuk hidup. Aku benar-benar di titik nol.
Beruntungnya, aku memiliki seorang teman dekat yang selalu ada di sampingku. Merangkulku di kala orang lain merendahkanku. Menemaniku di kala aku sendirian. Menghiburku di kala aku merasa tak berdaya. Ia mu’allaf juga. Namanya Vito, lengkapnya Vito Levesquie. Aku banyak belajar dengan Vito. Aku juga didampingi seorang Musyrif, namanya Ustadz Fauzan.
1 bulan berjalan, dan aku sudah mulai bisa merasakan energi shalat dan ibadah. Di bawah bimbingan khusus Ustadz Fauzan, aku mulai menginjak Iqro’ 6. Perkembangan yang signifikan dan besar, begitu pendapat Kyai Syafiq. Ternyata, diam-diam beliau merasa respek dan terus memantau perkembanganku dari hari ke hari.
Selang sepekan, aku sudah lulus Iqro’ dan mulai menghafal Al-Qur’an dimulai dari Juz 1, Surah Al-Baqarah. Ketika aku membuka mushaf Al-Qur’an dan mulai menghafalnya, aku merasa kesulitan. Begitu menyadari bahwa aku hanya sendirian mengarungi badai cobaan ini, aku hanya bisa menangis. Menangis tanpa suara. Tidak ada Ibu dan Ayah. Tidak ada Vito. Tidak ada Ustadz Fauzan. Sambil duduk bersila di masjid, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan merasakan panasnya air mataku.
Mengapa perjuangan ini begitu berat? Apakah Allah akan mendengarkan keluh kesahku? Aku merasa seakan Allah menghukumku di rumah-Nya. Bayangan Ayah, Ibu, tetangga bahkan Romo di gereja memenuhi pikiranku. Ingin rasanya aku pulang kepada pelukan Ayah dan kembali bersamanya. Di sana pula aku menyumpah-nyumpah Allah. Mana janji Allah yang katanya Allah tak akan mengingkari janji-Nya? Mana janji Allah akan rahmat terhadap orang-orang yang sabar? Mana janji Allah terhadap orang yang berhijrah di jalan-Nya?
Pada akhirnya, aku jatuh dan tertidur di atas karpet masjid, dengan sisa-sisa air mata dan pipi yang licin. Betapa malangnya aku.
* * *
Hari ini adalah Kuliah Shubuh, di hari ke-50 aku berada di Pesantren Al-Furqan, yang diisi oleh Kyai Syafiq dengan aku yang berada di shaf pertama, tepat di hadapan beliau. Beliau membahas tentang kalimah sakti Allah dalam kehendak-Nya, yaitu Kun Fayakuun.
“Allah SWT menciptakan langit dan bumi dengan mengucapkan kalimat Kun Fayakun. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi, ‘Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan ‘Jadilah, lalu terjadilah’, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkala ditiup. Dia mengetahui yang gaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui’. (QS Al-An'am ayat 73).” Kyai Syafiq menjelaskan.
Selain itu disebutkan pada surah Ali Imran ayat 59 bahwa Allah menciptakan Nabi Adam yang berasal dari tanah. Allah berfirman, “Kun Fayakun” maka jadilah (seorang manusia) jadilah dia. Keajaiban Kun Fayakun juga dirasakan oleh Maryam Ibunda Nabi Isa. Pada saat itu, dirinya belum pernah disentuh oleh lelaki manapun, namun karena kehendak Allah, dirinya mengandung dan melahirkan Nabi Isa.
Di surah Maryam, Allah berbicara dengan bukti. Dia membuat seorang anak manusia melahirkan tanpa suami dan tanpa proses persetubuhan. Ketidakmungkinan suatu hal bisa terjadi. Bagaimana konsep kun fayakun dapat diwujudkan dalam kehidupan? Kun merupakan kata perintah. Fayakuun merupakan kalimat present continues/yang menandakan adanya proses. Proses ini menuju pada terkabulnya atau terjadinya aplikasi dari perintah Allah SWT. Dengan begitu, ada tiga tahapan yang harus dihadapi manusia untuk mendapatkan kun fayakuun dalam hidup, yaitu perintah, proses, dan hasil. Proses merupakan bagian terpenting. Adapun lima kekuatan yang akan membantu mewujudkan kun fayakun dalam hidup antara lain kekuatan niat atau visi, kekuatan aura/feromon, kekuatan memberi, kekuatan syukur, dan kekuatan doa. Di atas semua itu, keyakinan menjadi kunci utama terwujudnya semua ketidakmungkinan dalam hidup manusia.
Aku merenungkan kalimat-kalimat sederhana yang dijelaskan Kyai Syafiq itu. Aku memang belum terlalu fasih dalam hal agama, apalagi tafsir Al-Qur’an. Namun kalimat itu serasa memberikan suntikan semangat dalam diriku. Aku bertekad, untuk belajar sungguh-sungguh dan membanggakan kedua orangtuaku. Aku juga akan menambahkan daftar do’aku, yaitu teruntuk ayahku nun jauh di sana. Semoga hidayah Allah menyapanya dan kami bisa berkumpul bersama-sama kambali. Ya, semustahil apa keadaan itu, jika kita yakin pada Allah, semua pasti kun fayakuun. Walaupun ayah dahulu pernah menjadi misionaris, pernah tinggal di Keuskupan Agung Semarang, dan bahkan menempuh pendidikan kuliah di Roma Italia sekalipun, aku tak akan berhenti untuk yakin.
Aku akan berdedikasi pada hidup ini, apapun yang terjadi.
* * *
Tak terasa 5 tahun telah berlalu. 5 tahun lamanya aku berada di pesantren ini, dengan berbagai pedih perih dan perjuangan. Aku tak menyangka bisa melewati ini semua dengan maksimal. Kini aku sudah berhasil menghafalkan Al-Qur’an genap 30 Juz. Tentunya semua ini tak lepas dari dukungan Ibuku tercinta, kesabaran Kyai Syafiq beserta Ustadz Fauzan, serta rangkulan dari Vito. Tahun ini, insyaallah aku lulus Madrasah Aliyah. 3 bulan lagi aku akan menjalani Ujian Madrasah. Aku juga sudah mendaftar beasiswa perguruan tinggi di Timur Tengah.
Tempias hujan baru saja menembus kaca kamarku, ketika kabar itu muncul. Di tengah sahurku, aku mendapat panggilan khusus dari Kyai Syafiq. Ada apa beliau memanggilku pukul 03.00 dinihari? Segera kuteguk air putih sebanyak-banyaknya. Firasatku mulai memainkan perannya. Hatiku tak nyaman, serasa ada keganjilan besar yang menghadang. Namun aku tak ingin berprasangka buruk. Kuraih gamis hitamku dari hanger kamar dan mulai bergegas pergi. Jarak kamarku dengan rumah Kyai Syafiq hanya berjarak 25 meter, namun aku merasa telah berjalan sejauh puluhan kilometer.
“Duduk, Nak…” Kyai Syafiq mempersilahkanku duduk di samping beliau. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang tak bisa kubaca, padahal biasanya aku bisa membaca ekspresi orang lain dengan mudahnya.
“Sebelumnya, Kyai mohon maaf telah mengganggu aktivitasmu. Kau masih tidur Percy?” Tanya beliau sehalus mungkin.
Aku merasakan adanya gelagat aneh yang terpancar.
“Tidak Kyai, saya sudah habis sahur.” Aku hanya menjawab singkat.
Kyai Syafiq tersenyum padaku. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraannya.
“Jadi begini, Percy, Kyai Syafiq mendapat kabar dari keluarga ayahmu di Yogyakarta.” Aku langsung tersentak dan kembali mengumpulkan nyawa dan mempertajam pendengaranku untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar, apalagi mengigau.
“Ayahmu sakit keras, dan beliau menginginkan kau sempat bertemu dengannya. Pulanglah, Nak! Jenguk ayahmu! Jangan sampai kau menyesal seumur hidup karena kau tidak bisa memenuhi permintaan beliau. Doa Kyai selalu menyertaimu.”
Air mataku memanas. Bendungan air mataku hampir jebol. Namun aku sungguh tak pantas untuk menangis. Aku hanya mampu untuk mengucapkan sepatah kata pamit dan mencium punggung tangan Kyai Syafiq. Segera kubersiap-siap dengan membawa pakaian beberapa pasang dan beberapa lembar uang dari Kyai Syafiq. Penerbangan pertama Makassar-Yogyakarta hari itu langsung meluncur. Hanya butuh 2 jam perjalanan untuk menempuh perjalanan itu, tanpa transit.
* * *
Jenazah ayahku mulai memasuki liang lahat. Sedari tadi, aku tak ingin memperlihatkan kesedihan dan air mataku pada semua tamu dan kerabat. Aku hanya bisa tersenyum penuh kenang. Aku sungguh beruntung, aku tak terlambat barang semenit. Aku tiba di rumah sakit tepat di detik-detik terakhir perjalanan hidup ayah.
Kun Fayakuun!
“Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadarrasuulullah” Ayah berhasil mengucapkan kalimat agung itu di nafas terakhirnya. Aku, sang putra kebanggaan ayah menangis penuh haru. Kebahagiaan ini sungguh tak terkira harganya, sungguh tak bisa dibeli dengan jutaan dollar sekalipun. Aku bersujud syukur lama sekali. Kyai Syafiq benar, jika Allah menghendaki terjadi, maka terjadilah.
4 tahun kemudian....
“Kepada wisudawan terbaik kita, Majella Percy Oktavian diharap segera naik ke podium utama,” suara MC memanggilku.
Aku maju ke podium, dengan diiringi tepuk tangan meriah para tamu undangan. Mendadak aku ingat akan peristiwa 9 tahun lalu di Yogyakarta. Kali ini aku kembali maju, namun untuk berbahagia dalam hal yang berbeda. Aku tersenyum ke arah semua kamera yang menyorotku.
Hari ini adalah wisuda di Universitas Ummul Qura, Mekkah. Allah SWT yang Maha Adil telah membayar lunas seluruh keprihatinanku dahulu. Di podium, aku menyampaikan beberapa patah ucapan terimakasih, terutama kepada Ayah di surga, ibuku tercinta dan kepada semua orang yang tidak bisa kusebutkan satu persatu yang tak pernah lelah mendukung dan membantuku. Tak terasa butiran lembut menetes di pipi tirusku. Semua orang kembali bertepuk tangan. Aku tak sanggup berkata-kata lagi.
Kun Fayakuun![]
Barakallah....
BalasHapusSemoga semakin berkah untuk semuanya...