Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kekuatan Do’a dan Barokah di Pesantren

Oleh: Nur Moh Aris Boy

(Peserta Lomba Menulis Cerpen Hari Santri Nasional 2020)

Suara angin yang berhembus mengajakku mengingat sedikit kisah sewaktu menjadi santri di sebuah Pesantren yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Iya , waktu itu umurku masih belasan tahun  dan aku duduk dibangku madrasah tsanawiyah sekitar kelas IX. Di situ aku melakukan kekhilafan yang tidak bisa terlupakan dan menjadikan suatu pembelajaran untukku pribadi sampai saat ini, tapi sebelum itu perkenalkan namaku  Nur Moh Aris Boy yang akrab di panggil  Boy. Dan aku memiliki empat sahabat yang kebetulan sekamar dengaku sewaktu menjadi santri, sampai sampai kami di juluki pendowo limo karena kami berlima selalu bersama sama dalam melakukan kegiatan di pesantren. Tapi setiap orang pasti memiliki karakter yang berbeda, jadi tidak ada kesamaan dalam ke pribadian sahabat-sahabatku. Ada yang ke pribadiannya santai sehari- hari, ada yang suka ngelucu dan ada juga yang nakalnya minta ampun. Tapi mereka semua asik. Mereka yang membuatku betah di Pondok. Ku sebutkan saja satu-persatu, ada yang namanya Rifqi. Sahabatku ini hidupnya dihadapi dengan santai santai saja. Ada Mulyadi. Dia yang sering ngelucu. Dan yang terahir ada si Anggi dan Alfan, mereka ini yang nakalnya minta ampun.

Sampai di suatu hari kami beranjak keluar dari kamar tidur untuk mandi dan berniat masuk sekolah diniyah, karena sekolah diniyah salah satu sekolah wajib di pesantren, sesampainya di kamar mandi kami masih bercandaan sembari sedikit berghibah tentang santri putri, biasalah ghibahan menarik anak pesantren.

Lalu si Anggi memulai dengan melontarkan pertanyaan kepada Rifqi, “ Gimana  sama Roro, Rif?”

Dan Rifqi menjawab dengan simple, “Masih gak mau Nggi.”  

Tapi Mulyadi ikut menceloteh sambil tertawa, “ Ya gak mau lah, wong Si Rifqi goblok, kan Roro itu juara kelas dan juga lugu hehehe.“ Sontak kami semua pun tertawa mendengar celotehan dari Mulyadi . 

Setelah selesai mandi kita kembali ke kamar bergegas mengganti baju dan berangkat agar tidak telat untuk istighosah. Sudah aturan di pesantrenku berbaris di lapangan membaca istighosah dulu sebelum masuk ke dalam kelas. Sesampainya diteras kelas, Anggi dan Alfan berpisah karena kami tidak sekelas.  Tak terasa jam pertama telah selesai waktu istirahat telah tiba. Kami berkumpul kembali untuk berjajan di koperasi samping kelas, sambil iseng-iseng melanjut ghibah yang tadi di kamar mandi dan tak lama kemudian datang Wafi yang menyapa sambil mengingatkan  kami untuk latihan drumband sepulang dari sekolah diniyah. Setengah mendengarkan pembicaran dari Wafi kami hanya mengangguk dengan memberi senyum manis  dan meneruskan perbincangan hangat kami. Kemudian bel berbunyi untuk mengingatkan jam ke dua sudah di mulai kami pun masuk kelas kembali.

Keesokan harinya sepulang  dari sekolah formal aku mengajak sahabat-sahabatku untuk shalat jama’ah dzuhur bersama di masjid. Kemudian niatku melanjutkan istirahat saat kembali ke kamar. Tapi sesudah di kamar teman-teman asik mengobrol dan itu sangat mengganggu di telingaku. Tidak lama suara obrolan mulai lirih seperti berbisik, aku pun ingin tahu apa yang sedang dibicarakan dan mulai duduk di forum panas yang mereka bicarakan. Karena masih tak paham aku hanya mendengarkan cerita yang alurnya masih tak tau kemana.

Anggi bertanya dengan mengangkat kedua alisnya “ Boy gimana? “

Dengan bingung aku menjawab “ ha…, gimana apanya? “ Sambil bertanya tanya dalam otakku. 

Kemudian Alfan ikut menyahut dengan mengatakan, “nanti sehabis sekolah diniyah, kita ke pagar belakang untuk ngobrol dengan santri putri.“ Ujarnya tanpa rasa takut, karena mereka berdua sudah biasa melanggar.

Tapi dengan ragu aku dan Rifqi menanyakan kembali, “tapi aman gak?“ 

Mulyadi juga menyahut sambil bertanya, “ iya, nanti ketahuan pengurus putri, habis kita jadi telor ?” Celotehan gurau keluar dari bibirnya

Dengan nada meyakinkan tanpa takut anggi mengatakan, “gak bakalan, aman kok.” 

Si Alfan juga ikut meyakinkan, “iya pasti aman.“

Aku, Rifqi, dan Mulyadi hanya mengiyakan karena kami pun penasaran. Setelah pembicaraan selesai tidak ada waktu untuk beristirahat dan kami melanjutkan mandi untuk persiapan sekolah diniyah. Seperti biasa jam istirahat, kami pasti berkumpul dan jajan bareng, tak lupa ada inisiatif dari Rifqi untuk mengajak Wafi ikut dalam aksi kami nanti sepulang dari sekolah diniyah. Tak disangka Wafi kemudian datang dengan maksud untuk berjajan, tapi pas ingin kembali ke kelas, Wafi dipanggil oleh Rifqi.

“Fi kesini dulu,“ sambil mengangkat tangannya 

Lalu Wafi datang menghampiri dan menjawab “Ada apa Qi.? “ 

Rifqi memberitahu aksi kita dengan raut wajah yang santai, “ayo nanti ikut kita sepulang diniyah, ke pagar belakang untuk ngobrol dengan santri putri “ 

Tapi di situ, Wafi langsung menolak, “enggak ah Qi, aku takut ketahuan dan lagian nanti sore kan ada latihan drumband.“  

Tanpa memaksa, Rifqi mengiyakan. “ Iya sudah fi kalo begitu.“ Singkat cerita sekolah diniyah pun selesai kami ke masjid dulu untuk melakukan sholat ashar berjemaah agar tidak dihukum oleh pengurus .

Setelah berjamaah kami pun beraksi dan bodohnya kita tetap berpakaian ala santri dengan tidak melepas kopyah dan memakai sarung, seakan lupa dengan dosa kami melompat pagar dan menuju pagar belakang santri putri melewati persawahan warga sekitar. Dan anehnya sore itu sangat sepi yang biasanya ramai warga sekitar ke sawah untuk mencari rumput. Alfan yang berada di garda depan dan Anggi sebagai pengatur serangan, menyempurnakan formasi yang seakan memberi jalan kepada kami yang sedikit ragu-ragu.  Tak lama sampai lah kita pada tempat. Karena pagar yang tinggi kami binggung caranya untuk bisa mengintip keatas pagar, mungkin karena bantuan setan yang berbisik Anggi pun tak mati akal dia naik pada pohon Jarak untuk bisa sampai keatas.

Sesampainya diatas Anggi hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan nada bicara yang lirih. “Gak ada siapa siapa sepi.“

Dengan rasa penasaran Alfan pun juga naik keatas untuk melihat, tak lama dia juga berbicara dengan muka kusut, “iya eeh ga ada orang.“ 

Tersisa lah aku,Rifqi dan Mulyadi di bawah kemudian Si Anggi turun dan mengajak pulang tapi Rifqi menolak karena masih penasaran. Alfan menyusul turun bermaksud agar yang naik bergantian. Lalu aku dan Rifqi mengganti mereka naik sampainya diatas Aku dan rifqi baru percaya kalau memang benar tidak ada orang, mungkin sedang bersih-bersih sore fikirku . Dan apesnya saat hendak turun karena kesantaiannya,  Rifqi ketahuan oleh salah satu pengurus putri dia disiram dan pengurus putri ini berteriak bahwasannya ada anak yang mengintip di pagar. Seakan lupa pada satu sama lain kami pun lari sempoyongan sampai si Mulyadi jatuh tengkurep saking takutnya.

Sesampainya di asrama putra kami kasihan juga tertawa pada Mulyadi yang jatuh saat berlari Tak lama kemudian ada pengurus santri putri yang memanggil pengurus santri putra. Kami pun curiga dan feeling kami berkata aksi kami ketahuan. Mencoba positif thinking, Aku mengajak mereka berempat mandi dan bersiap siap untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Seusai sholat maghrib ketua pondok putra langsung berdiri dan menanyakan kepada seluruh santri siapa yang tadi sore keluar pondok meloncat pagar dengan raut wajah kekesalan yang lain pun bingung sambil menoleh kanan kiri. 

Karena takut semua santri putra terkena masalah, Wafi menyahut karena yang tahu rencana kita hanya dia. “Tadi yang keluar loncat pagar Boy, Rifqi, Mulyadi, Alfan dan Anggi itu yang saya tau Ust.“

Kami pun disuruh berdiri dan ditanyakan kebenarannya, Mulyadi menjawab mewakili suara kami “ enggeh Ustad kami berlima yang loncat pagar dan pergi ke santri putri “ 

Dengan sangat marah ketua pondok melaporkan kami ke Pengasuh. Setelah sholat isya’ kami dipanggil ke dhalem pengasuh dan kami di hukum langsung oleh beliau. Karena beliau kyai yang sabar, kami diberi pertanyaan sebelum dinasehati.

“ngapain kalian naik ke pagar putri? “ Beliau bertanya santun. 

Dengan alasan yang sama kami menjawab, “kami ga ada niatan Abuya kami keluar hanya untuk mencari belalang dan hilaf kemudian kami naik pagar.“

Kedua kalinya Kyai bertanya “ loh buat apa kalian cari belalang?”  

Kami pun menjawab, “dibuat bakar-bakar Abuya untuk dimakan.“ 

Dan kali ketiga Kyai bertanya, “tapi kalian tahu kalo itu salah?” 

Dengan menunduk dan kesadaran hati, kesadaran fikiran kami menjawab, “enggeh kami sangat bersalah Abuya. “ Tersenyum beliau kami mengaku bersalah dilanjut dengan nasehat- nasehat yang membuat hati kami sejuk tapi tetap kami dihukum gundul plontos agar sadar atas kesalahan niatnya.

Kemudian setelah kami mendapat hukuman dari Kiai, kami berjanji kepada satu sama lain untuk tidak melanggar melebihi dari batasan-batasan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh santri, kami saling mengingatkan walaupun sesekali dari kami ada yang melanggar walaupun ya tetap Anggi dan Alfan yang susah diingatkannya mungkin karena sudah kebiasaan melanggar. Tapi dari pengalaman itu kami berlima sadar ada tingkat kewajaran santri melanggar dan ada juga yang melebihi batasan.  

Lalu seiring perjalanan waktu kami sudah biasa dengan peraturan peraturan pesantren sampai kami lulus dari Madrasah aliyah pesantren. Berkat doa Orang tua dan Kyai serta para Ustad, serta barokah majelis ilmu di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, kami pun diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Rifqi melanjutkan pendidikan tetap di pesantren sekaligus sebagai pengurus asrama putra. Sementara aku dan Mulyadi sama-sama melanjutkan pendidikan di luar pesantren. Untuk dua sahabatku tidak kalah membanggakan, terbukti kekuatan barokah dan doa menjadikan sahabatku nan jauh disana mampu menjadi tulang punggung kedua orang tua dan saudaranya.[]


*Nama : Nur Moh Aris Boy

Tempat dan Tanggal Lahir : 06-07-1998 Bengkak-Wongsorejo-Banyuwangi

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Hobi : Tidur

No Telp : 083122769407


Posting Komentar untuk " Kekuatan Do’a dan Barokah di Pesantren"