Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kyai tak Tahu Diri

Oleh: Teguh Supriyanto

(Peserta Lomba Menulis Cerpen Hari Santri Nasional 2020)

Tak begitu menjadi masalah sebenarnya aku harus tersesat lima kali dalam semalaman. Lebih menyebalkan karena aku tersesat gara-gara sebuah aplikasi penunjuk jalan. Meski uang makanku juga hampir terkuras habis untuk biaya ganti rugi kambing yang aku tabrak karena berkeliaran. Bahkan meskipun separuh perjalananku ditemani seorang wanita yang tak kukenal duduk bisu di jok belakang mobil. Wanita itu tidak pernah aku persilahkan naik. Aku juga tidak tahu kapan naiknya. Tidak heran juga kalau wanita itu hilang tanpa perlu aku bukakan pintu. Ucapan terima kasih pun tak ada. Bukan masalah yang penting aku sampai di kampung tujuanku. Dari gapuranya, benar ini kampung tujuanku. Selamat Datang di Kampung Bulusari. Begitu tulisannya. Di bawahnya terdapat julukan untuk kampung ini. 

Aku diberi tugas mulia menjemput Kyai Sepuh, Kyai Rohim namanya. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengan beliau ini. Aku juga tak punya cukup petunjuk tentang Kyai ini. Dimana rumahnya dan bagaimana wajahnya tak ada yang kutahu. 

Azan Zuhur berkumandang dari salah satu masjid dan sepertinya itu satu-satunya masjid di kampung ini. Orang-orang yang sebagian berpakaian putih berbondong menuju suara azan. Para pria yang memakai sarung dan berpeci necis. Sementara para wanita memakai mukena. Di antara mereka ikut serta anak-anaknya lengkap dengan baju koko, bersarung mungil, dan peci gambar bocah kembar asal negara tetangga. Aku yakin mereka hendak salat berjamaah, bukan untuk pergi berdemo. Aku ikuti mereka, bukan hendak berniat buruk. Aku juga harus menjalankan kewajibanku. Dan siapa tahu dapat sedikit informasi tentang Kyai Rohim. 

Selesai salat Zuhur, aku bukannya langsung pergi. Awalnya aku pikir Kyai Rohim yang bakal menjadi imam salat Zuhur, ternyata bukan. Aku memang belum pernah bertemu dengan Kyai Rohim. Tapi panggilan Kyai Sepuh tak mungkin disematkan pada remaja yang kira-kira umurnya 25.

“Pak, maaf hendak bertanya. Apakah bapak kenal dengan Kyai Rohim?” tanyaku kepada salah satu jamaah yang sedang memakai sandal dan bersiap bergegas pergi.

“Oh, Kyai yang tak tahu diri itu?” jawabnya ramah.

“Eeee…. Tidak jadi, Pak. Terima kasih!” 

Jawaban bapak-bapak berkumis jamur tadi memuakkan sekali. Kurang ajar. Seorang Kyai kok dipanggil tak tahu diri.

Tak menyerah. Aku menyambungkan pertanyaan yang sama kepada jamaah yang lain. Jawabannya sama.  Semuanya sama.

“Oh, Kyai Rohim Si Kyai tak tahu diri.” 

Menyedihkan sekali jamaah masjid ini. Seenak udel-nya mencaci Kyai Sepuh dengan wajah yang menyemai senyuman. Seperti merasa bangga telah melakukan sesuatu yang hebat, seolah mencaci adalah hal paling membahagiakan yang bisa mereka lakukan.

Tinggal satu orang yang belum aku tanyai, orang yang sudah berumur senja. Orang yang sedari tadi belum beranjak dari tempat duduknya. Tasbih dalam genggaman terus berputar. Berdzikir seperti orang yang sedang mengobrol. Terkadang sedikit tertawa, lalu kemudian sedikit menangis. Ya persis orang sedang mengobrol. Dia mungkin mengobrol dengan Tuhannya.

Orang tua itu mulai beranjak dari tempat duduknya. Menghentikan segala aktivitasnya. Begitu pula dengan air matanya mulai mengering menyesap di sela keriput yang dimana-mana ada. Ia mulai menggerakkan tubuh rentanya keluar masjid. Dengan tongkat yang ia tinggalkan di dekat pintu ia kemudian berjalan. Susah sekali. Tak hanya kulitnya, bajunya pun terlihat kusut dengan bekas lipatan dimana-mana. Baju koko yang seharusnya berwarna putih itu malah kalah bersaing dengan warna rambutnya. Sarung yang dikenakan sudah sangat mengembang. Cara berpakaiannya tak beraturan, tak ada perasaan lain selain rasa iba dan kasihan.

Wajahnya menatapku dengan sedikit tertawa. Mungkin karena melihat wajahku. Memang kata orang, wajahku terlihat lucu kalau sedang marah. 

“Monggo…. Mampir ke gubukku saja!” pintanya dengan begitu ramah.

“Maaf, tapi saya sedang mencari seseorang, Kyai Rohim namanya. Apakah Mbah tahu?”

“Inggih, kawulo Rohim. Tidak usah ngagem kata Kyai. Mboten pantas kawulo dipanggil kyai.” 

Seketika tanganku meraih tangannya.

“Tidak usah cium tangan, kawulo bukan kyai.”

“Pripun kabare Kyai Hasan?”

“Bagaimana Kyai bisa tahu saya diperintah Kyai Hasan?”

“Hehe, saya juga tahu sampean kelaparan karena uangnya telas. Monggo pinarak ke gubuk saya dulu. Supados ngobrolnya lebih enak.”

Setelah itu Aku memaksa Kyai Rohim masuk ke dalam mobil. Iya memaksa. Bukan kurang sopan, tapi Kyai Rohim tak mau masuk mobil dengan alasan takut membuat mobil menjadi kotor.

“Kyai, kenapa melepas sandal?”

“Nanti mobilnya kotor.”

“Ya Allah Kyai, tidak usah sampai begitu. Sandalnya dipakai lagi aja.”

“Nggih….”

Santun sekali Kyai Rohim ini. Tak kutemukan ketidaktahu dirian pada Kyai satu ini. Terkutuklah orang-orang yang tadi.

“Di depan belok kiri,” 

“Monggo, Pak Kyai…” sapa orang-orang di sepanjang jalan menuju rumah Kyai Rohim. 

“Assalamualaikum, Kyai….”

“Wa’alaikumussalam, monggo-monggo….”

Memang bukan hal yang aneh kalau seorang kyai banyak disapa. Tapi ini ada pengecualian karena orang-orang ini adalah yang mengatai Kyai Rohim tadi. Aku betapa ingat betul wajah mereka yang kutemui di masjid. Bahkan pakaiannya saja tak ada berbeda. Orang-orang kemudian berebut mencium tangan Kyai Rohim. Sementara para Ibu, yang kebetulan menggendong bayinya memintakan doa dari Kyai Rohim.

Aku memang sengaja membuka kaca mobil supaya Kyai Rohim lebih nyaman. Dan karena melewati jalan kampung aku menjalankan mobilku dengan teramat pelan. Tapi aku tidak tahu orang-orang ini bakal sedemikian hormat pada Kyai Rohim. Padahal tadi mereka menghinanya. Antara mereka ini bermuka dua atau mereka orang yang paling suka lupa ingatan selain orang yang diperbudak jabatan. 

“Nah kita sampai,”

Rumah Kyai Rohim kecil saja, tak ada yang membuatnya istimewa selain sehampar tanah seluas sepertiga lapangan bola. Dalam sekilas pandanganku, rumah Kyai Rohim sedikit mepet ke utara. Meskipun luas, tak ada gerbang atau pun satpam penjaga. Hanya ada cemara yang di setiap pinggirnya. Ditambah sebuah tiang lengkap dengan bendera merah putih di pucuk, halaman rumah Kyai Rohim lebih mirip seperti lapangan upacara.

“Semua lahan ini milik Kyai?”

“Bukan, itu titipan. Setidaknya selama aku masih hidup aku bisa memanfaatkan sepuasnya.”

Aku tahu maksud dari Kyai Rohim. Tanah itu milik Allah.

“Apakah tidak melelahkan mengurusnya, Kyai?”

“Kawu lomboten pernah mengurusnya, biasanya remaja kampung sini yang mengurusnya. Sebagai imbalannya mereka saget bermain sesukanya di sini. Tanah ini sudah dianggap seperti tanah milik keluarga mereka sendiri. Asal jangan dijual atau dIbuat maksiat.”

Keluar dari mobil. Sambutan hangat dari Nyai Fatimah mengantarku duduk di kursi kayu. Rumah Kyai Rohim seperti pendopo kecil, dimana ruang tamunya dIbuat sedikit lebih luas dari kamar maupun dapur. Tak lupa tiang-tiang jati menyangga rumah dengan gagahnya. Lemari, meja, bahkan televisi terlihat begitu berumur. Tapi masih berfungsi dan terawat baik. 

Di depan mataku, secangkir teh hangat lengkap dengan kue lapis, kue pancong, pisang goreng, singkong goreng, dan makanan yang terbungkus daun pisang entah apa isinya. Terlihat masih hangat. Bahkan jika kau pandangi, asap masih bergumulan di atas piringnya. Ditambah dengan secangkir teh hangat dalam cangkir seng bermotif bunga. Kuno sekali.

“Monggo dinikmati, saya kasih tau kalau mau ada orang mampir jadi istri saya langsung menyiapkan jamuan seadanya.” Tutur Kyai Rohim.

“Mohon maaf, Kyai. Bagaimana kyai bisa tau kalau saya mau kesini dan tahu betul yang saya alami. Apakah Kyai Hasan sudah menelfon?”

“Wah kawulo ini tiyang bodo. Mana bisa saya mengotak-atik telfon. Bahasa Indonesia saya saja blepotan kados niki.”

Tiba-tiba ponsel dalam saku kemejaku berbunyi. Kyai Hasan telefon. 

“Assalamualaikum Farhan, bagaimana, sudah bertemu Kyai Rohim? Kalau sudah saya ingin mengobrol dengannya.” 

“Waalaikumussalam, sudah, Kyai. Baik.”

“Kyai Rohim, Kyai Hasan hendak bicara,” aku haturkan ponselku ke Kyai Rohim. Tangannya tampak sedikit gemetar. Ponsel itu diterima dengan kedua tangannya. Tampak sekali begitu hati-hati. Terlihat Kyai Rohim jarang atau bahkan tak pernah mengotak atik ponsel.

Di depan mataku, dua kyai sedang berbincang. Tampak Kyai Rohim begitu bahagia mungkin Kyai Hasan juga sama. Seperti anak kecil yang mengobrolkan acara kartun favorit. Seperti dua presiden yang membicarakan kelucuan negaranya sendiri. Hangat sekali. Walaupun aku sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan. Bukan karena topik yang terlalu berat. Tapi dua Kyai ini berbincang dengan bahasa Arab. 

Aku tak begitu mengerti bahasa Arab. Sejak SD sampai SMA aku tak pernah diajari. Bahkan setelah empat  semester kuliahku. Aku pun masih terhitung baru menyandang status sebagai santri, dua tahun kurang satu bulan. Jadi bahasa Arab, belum bisa aku kuasai.

Dulunya, aku menjadi santri tidak atas kerelaanku. Perintah orang tua. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, takut anak laki-laki satu-satunya ini mabuk-mabukan di kota orang. Takut anaknya main perempuan. Bahkan takut anaknya tak pulang karena menjadi teroris di negeri orang. Itulah alasan kenapa aku dipondokkan kepada Kyai Hasan.

“Saya ini tiyang bodo. Bahasa Indonesia saja blepotan tidak jelas,” tutur Kyai Rohim sambil menaruh ponsel di atas meja. “Saya lebih sedikit bisa bahasa Arab ketimbang bahasa Indonesia. Mungkin itu yang menjadikan saya pantas disebut Kyai Tak Tahu Diri. Tapi Kyai Hasan hendak mengundang saya di pengajiannya. Saya malu karena tak bisa bahasa Indonesia dengan baik apalagi kalau sampai berbicara di depan jamaah beliau, tapi tak mungkin kalau aku tak memenuhi undangannya.”

Kupaksakan menelan teh manis yang baru saja aku sruput. Tak sempat aku teguk, tak sempat ternikmati aromanya, tak sempat pula aku berpikir bahwa tehnya benar terlalu banyak gula. Perkataan Kyai Rohim membuatku terperanjat. Jadi Kyai Rohim sebenarnya tahu sebutan warga terhadap dirinya. Aku memang tahu bahwa bahasa Indonesia Kyai Rohim tidak konsisten. Kadang saya, kadang kawulo, kadang tidak kadang mboten, kadang kamu kadang sampean. Meskipun begitu, Aku masih sedikit mengerti tentang bahasa Jawa, karena Ibuku asli Jawa sementara ayahku asli Sunda. 

Mengkombinasikan bahasa Indonesia dengan bahasa yang lain seharusnya menjadi hal biasa. Lagi pula Kyai Rohim mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Terdengar lebih baik buatku daripada mencampurnya dengan bahasa Inggris atau bahasa yang asing lain. Dan lagi, perihal bahasa seharusnya tidak menjadi alasan Kyai Rohim bisa disebut orang tidak pintar apalagi disebut Kyai Tak Tahu Diri. 

“Walaupun saya tidak terlalu bisa bahasa Indonesia, kecintaanku sama bangsa ini melebihi kecintaan pada diriku sendiri,” lanjut Kyai Rohim. “Oh iya. Kyai Hasan badhe menikahkan putra bungsunya ya?” 

“Betul, Kyai. Putra bungsu Kyai Hasan hendak menikah lima hari lagi Kyai Rohim diundang untuk hadir sekaligus memberikan tausiyah di acara pengajiannya.”

“Hebat sekali ya Kyai Hasan, punya pondok pesantren yang santrinya rIbuan. Pernikahan putranya pun mengundang Pak Gubernur pula.”

“Pangapunten, hendak menanyakan kalau putra/putri panjenengan sudah menikah atau belum ya?”

“Kedua anakku tinggal di Semarang. Satu putra belum menikah, namanya Zubair dan adiknya Aisyah yang hampir beranak satu. Selisih tiga tahun, tapi adiknya dulu yang menikah. Di antara keduanya, dua mingggu sekali hampir selalu pulang. Kalau perhitunganku tidak salah, seharusnya hari ini ada yang pulang.”

“Sampean menginap saja di sini, kembalilah ke Bandung lusa, lagi pula Abah juga belum siap-siap,” sergah Nyai Fatimah Istri Kyai Rohim.

“Maaf, apa tidak merepotkan?”

“Tidak, tenang saja,” ujar Nyai Fatimah yang dibarengi dengan anggukan dari Kyai Rohim.

Ada alasan lain mengapa aku mau menginap sampai lusa. Tiga hari seharusnya cukup untuk mencari tahu alasan mengapa Kyai Rohim dipanggil Kyai Tak Tahu Diri. Apa memang benar gara-gara tak bisa bahasa indonesia dengan lancar kemudian seenaknya dipanggil dengan Kyai Tak Tahu Diri. 

***

Ketika malam segera sampai di kampung ini. Tepatnya setelah semua orang rampung sallat Magrib, anak-anak berbondong ke rumah Kyai Rohim. Dari mulai balita yang tak mau jauh dari kakaknya, hingga remaja. Semuanya mengaji di rumah Kyai Rohim. Ramai sekali, kau bisa nampak mereka begitu berdesakan. Bahkan meskipun sudah dibagi menjadi dua, dimana santri putri di dalam ruang tamu dan santri putra di beranda rumah. Namun tetap saja rumah kecil Kyai Rohim sedikit kewalahan menampungnya.

Kyai Rohim sudah terlampau berumur untuk mengajari santri segini banyak. Kyai Rohim dibantu beberapa ustadz dan ustadzah. Aku pun diminta membantu. Meski aku masih belum lama menjadi santri, aku mengiyakan. Itung-itung sebagai imbalan ganti rugi karena kau telah diperlakukan dengan sangat baik di rumah ini. 

Selepas Isya, sebuah lampu mobil menyusup masuk melewati jendela sampai di ruang tengah. Tempat aku tidur selama di sini. Aku bisa saja tidur di kamar salah satu anak Kyai Rohim sesuai dengan perintah kyai. Tapi aku menolaknya.

Dari balik jendela aku pandangi seorang wanita yang sedang hamil turun lebih dahulu. Kemudian disusul oleh seorang pria bersarung hitam berpola batik, lengkap dengan baju koko putih. Dari sini aku bisa tahu, ini putri dan menantu Kyai Rohim. 

Aku yang masih berdiri di balik jendela lantas disalami oleh menantu Kyai Rohim. Sementara istrinya yang sedang hamil hanya memberi anggukan lantas menuju kamar bersama Nyai Fatimah. 

“Ini Farhan, salah satu Kyai Santri dari Kyai Hasan,” ucap Kyai Rohim memperkenalkanku pada menantunya.

“Oh iya? Sampean ternyata salah satu santri dari Abah saya. Pantas saja saya seperti mengenal mobil yang terparkir di depan. Saya kira Abah sendiri yang hendak menjemput Kyai Rohim. Perkenalkan saya Luthfi, Muhammad Luthfi lengkapnya.”

Pada malam itu aku menyadari satu hal. Selain sebagai teman masa kecil dan teman ketika mondok, ternyata Kyai Hasan dan Kyai Rohim adalah keluarga yang dipersatukan oleh pernikahan anak-anaknya. Aku memang tak pernah bertemu dengan Gus Luthfi karena jarang pulang ke Bandung. Sekalinya pulang tak lama dan aku tidak pernah bisa menemuinya. 

***

Di hari kedua, aku masih belum menemukan jawaban yang aku mau. Aku sudah berkeliling di kampung ini, aku ajak biacara warga kampung. Tak ada jawaban yang kumau. Hanya satu yang pasti. Sebutan Kyai Tak Tahu Diri adalah dari Kyai Rohim seorang diri. 

Kata warga. Sekitar empat tahun yang lalu, Kyai Rohim pernah diundang di sebuah pengajian akbar. Jama’ahnya bukan orang sembarangan. Mulai dari gubernur hingga anggota dewan. Undangan Kyai Rohim disampaikan melalui santrinya. Prinsip Kyai Rohim adalah tak harus tahu dimana tempatnya kalau bisa hadir akan hadir. Tak perlu tahu siapa jamaahnya___bermobil, berkuda, atau berjalan kaki. Orang berdasi atau orang yang bahkan susah sekali untuk mencari nasi___baginya ilmu harus disampaikan urusan kepada siapa dipikir belakang. 

Prinsip Kyai Rohim sedikitnya membuat dirinya celaka pada pengajian itu. Karena ceramah yang disampaikan seharusnya dalam bahasa Indonesia. Sementara tiga tahun lalu, bahasa indonesia Kyai Rohim lebih buruk dari sekarang. Pada akhirnya, Kyai Rohim yang terlanjur naik mimbar harus ditemani santrinya. Sebagai penerjemah bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Seharusnya tak ada masalah. Akan tetapi Kyai Rohim merasa malu karena tak bisa berbahasa indonesia dengan baik padahal sudah hidup di negara ini lebih kurang 70 Tahun. Kemudian menyebut dirinya bodoh dan tak tahu diri. Sepanjang perjalanan pulang hanya dua kalimat itu yang terucap oleh Kyai Rohim. Bahkan sampai setibanya di kampungnya sendiri. Begitulah awalnya Kyai Rohim dijuluki Kyai Tak Tahu Diri. Lalu kenapa orang-orang juga ikut-ikutan? Aku masih belum tahu.

Pada hari ketiga, aku dIbuat kecewa. Jauh-jauh aku kemari untuk menjemput Kyai Rohim, tapi kyai malah tidak jadi ikut. Bahkan meskipun aku sudah menunggu tiga hari. Tapi tiba-tiba Kyai Rohim menolak dengan entengnya. Alasannya pun tak masuk akal. Takut mabuk perjalanan. Kemudian Gus Luthfi yang ikut beserta istri. Kyai Rohim diwakilkan dua orang santri yang satu mobil bersamaku. 

“Sebenarnya julukan Kyai Tak Tahu Diri yang begitu melekat pada Kyai Rohim itu bukanlah sebuah cacian,” kata seorang santri yang duduk disampingku menjawab pertanyaan yang sebelumnya aku tanyakan. “Sejak kejadian yang tiga tahun lalu. Kyai Rohim tak pernah berhenti memanggil dirinya begitu. Selama tiga minggu. Setiap bertemu orang, beliau selalu menyebut dirinya Tak Tahu Diri. Lalu diperparah dengan datangnya Rozikin. Ustaz yang selalu menjadi imam sholat itu. Karena memang di sini imam sholat hanya satu”

“Kenapa?”

“Rozikin adalah warga baru, katanya lulusan dari Mesir yang menikah dengan Putri Pak Bambang yang kini ditahan karena meraup dana desa. Setelah mengikuti salat Maghrib berjamaah, Rozikin tiba-tiba menemui Kyai Rohim lalu mengatakan bagaimana Kyai Rohim bisa disebut Kyai, membaca surat saja tak ada fasih-fasihnya, tak ada merdu-merdunya. Membosankan.” Kata santri itu menirukan gaya bicara Rozikin. “Akhirnya, Ustaz Rozikin mengambil alih imam sholat. Julukan Ustaz milenial yang dinisbatkan oleh mertuanya membuatnya makin semangat menggantikan peran Kyai Rohim”

“Lalu?”

“Setelah itu Kyai Rohim juga ikut makin menjadi. Hampir setiap saat selalu membiacarakan dirinya tak tahu diri. Dan minta ampun atas ketidaktahuan dirinya kepada Allah.”

“Eeeee….”

“Sampai akhirnya Kyai Hasan datang ke kediaman Kyai Rohim. Delapan bulan lalu. Mendengar ucapan Kyai Rohim, Kyai Hasan pun membalasnya. Perdebatan malam itu sungguh sengit. Bukan debat untuk menghinakan lawan, bukan juga debat untuk meraih kursi kepemimpinan. Kedua Kyai ini salah mengolok bahwa dirinya yang lebih tak tahu diri”

“Kyai Rohim ini hebat. Saya tak ada apa-apanya. Kalau mau dijuluki tak tahu diri saya paling pantas,” kata Kyai Hasan yang ditirukan oleh si santri

“Tidak, Kyai Hasan jauh lebih hebat. Memang sebutan Kyai Tak Tahu Diri itu pantas buat saya,” kata Kyai Rohim tak mau kalah.

“Perdebatannya tak kunjung selesai. Sampai akhirnya Kyai Rohim berhenti menyebut dirinya Kyai Tak Tahu Diri dan Kyai Hasan mengikuti.” Kata santri mengakhiri cerita. 

“Benar-benar dua Kyai yang hebat. Jadi sejak hari itu Kyai Rohim mulai jarang mengolok dirinya?”

“Iya. Hampir sebagian warga kampung ini pernah diajari ngaji oleh Kyai Rohim atau minimal anak cucunya. Kalau Kyai Rohim dan Kyai Hasan saja mau mengolok diri mereka sendiri dengan sebutan tak tahu diri lantas kami ini apa? Lalu kemudian kami menyebut kami sebagai Orang yang Paling Lebih Tidak Tahu Diri. Kami pasang di gapura. SELAMAT DATANG DI KAMPUNG YANG WARGANYA PALING LEBIH TIDAK TAHU DIRI. Tak ada penolakan, mereka malah senang dengan sebutan itu”

“Tapi sepertinya Kyai Rohim memang tak tahu diri. Kyai Rohim adalah orang paling kaya di kampung ini. Lahannya sedikit lebih luas dari wilayah seluruh kampung ditambah satu lapangan bola. Tapi kita bisa lihat betapa sederhananya beliau, tak pernah mengaku orang berpunya. Padahal lahannya dimana-mana, baik sawah, tanah pekarangan, maupun perkebunan. Kita lihat di penghujung senja umurnya, meskipun berjalan pun susah tapi tetap semangat ke masjid. Sementara kita ada saja alasannya. Meski sudah hafal alquran dan rIbuan hadits Kyai Rohim masih menyebut dirinya bodoh. Sementara kita yang  hanya tahu hadits sepotongan, dengan senang hati menghina orang lain dengan serampangan, ” lanjut santri 2.

“Kalau tidak salah nama putra beliau adalah Ustadz Zubair, saya seperti tidak asing dengan nama itu.”

“Pasti, Mas. Ustadz Zubair selalu muncul di televisi setiap pagi. Menemani sarapan  atau setidaknya selama dua jam. Beliau adalah pendakwah yang mengisi kajian di televisi. Semua anggota keluarga Kyai Rohim memang kaya. Putrinya juga seorang dokter. Tapi semuanya sangat sederhana, sementara kami yang tidak ada apa-apanya selalu mencoba bertampil memaksa.”

“Si Rozikin benar bebal. Main caci sana sini seolah mencaci adalah ibadah paling mulia dan mudah sekali. Padahal soal ilmu tak ada apa-apanya dengan Kyai Rohim yang sudah hafal alquran dan rIbuan hadits. Perihal tak fasih memang lidah Kyai Rohim yang begitu. Warga menolak memanggil Rozikin sebagai ustaz. Tapi Kyai Rohim mau dengan senang hati memanggilnya begitu, akhirnya kami mengikuti Kyai Rohim dengan memanggilnya ustaz” kata santri yang satunya.

“Memang saya beranggapan bahwa Kyai Rohim memang tak pantas disebut Kyai Tak Tahu Diri hanya karena bahasa. Sementara di luar sana banyak yang pintar berbahasa Indonesia, namun dengan caranya berbahasa, malah dIbuat menghasut. Adapula yang pandai memainkan kata-kata untuk bisa berkuasa. Tapi setelah jadi, mengeja keadaan rakyatnya saja mereka gagu, buta, dan tuli. Bukan hanya tak tahu diri, mereka lupa diri. Bukan saja lupa terhadap amanat rakyat tapi lupa diri sebagai manusia. Sudah dijatah rejeki, malah merampas rejeki rakyatnya sendiri. Awalnya mengemis, tapi ketika ada jatah buat rakyat malah disikat habis,” kataku. 

“Hmmmm….”

“Tapi aku kesini untuk menjemput Kyai Rohim bukan kalian. Aku sudah menunggu tiga hari, tapi tiba-tiba Kyai Rohim menolak ikut. Apa ini termasuk sifat tidak tahu diri?”

“Kalau belum mengenal beliau lebih jauh jangan seperti itu, Mas. Bisa-bisa Mas Farhan sendiri yang tidak tahu diri karena suudzon yang mudah sekali.”

****

Sampailah kami di rumah Kyai Hasan. Tak ada halangan. Sampai di depan rumah langsung disambut dengan senyuman yang aku belum bisa melupakannya.

“Alhamdulillah sampai, bagaimana lancar? Hehehe… Tidak ditumpangi gadis lagi, bukan?” tanya Kyai Rohim yang ternyata sudah sampai di rumah Kyai Hasan.[]


*Teguh Supriyanto, lahir 8 Mei 1998 di Bulusari, Pulosaren, Kepil, Wonosobo. Saat ini sedang menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga (UIN SUKA) jurusan Pendidikan Kimia semester 7. KesIbukan penulis saat ini adalah menyusun skripsi dibarengi dengan push rank.  Akun instagram penulis adalah @teguh_esye. 

Posting Komentar untuk "Kyai tak Tahu Diri"