Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rabi’ah Al Adawiyah Masa Kini

Oleh: Neng Dewi Anggraeny

(Peserta Lomba Menulis Cerpen Hari Santri Nasional 2020)

“Dalam sebaris larik puisinya ia menyebutkan, ‘Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu’.” Tutup Ustadz Alim malam itu.

Rafa diam, pikirannya menjelajah jauh mengingat pembelajaran yang ia dapat dari perjalanan sebelumnya. Setelah berpamitan, kakinya berjalan melewati jalan yang terasa sejuk. Angin malam bercampur udara setelah hujan terasa begitu kuat.

“Manusia harus belajar menjadi manusia, Raf.” Ranu yang ada di sebelahnya membuka pembicaraan, meskipun begitu mereka tetap melangkah menuju asrama.

Malam semakin beranjak. Rafa berhenti dari jalannya dan mengajak Ranu ke warung untuk membeli roti karena besok Rafa harus berangkat lebih pagi dari jam sarapan dibagikan di pondok tersebut. Sesampainya di warung, Bu Nina dan suaminya sedang merapikan warungnya. Sejenak menjawab salam Rafa dan Ranu, lalu memberikannya roti dan semangkuk sayur sop.

“Dibawa ya, jangan lupa langsung dimakan.” jelas suami Bu Nina.

“Apa Ibu dan Bapak tidak ingin memakannya?” Tanya Rafa.

“Kami sudah makan, Nak. Kalian yang semangat belajarnya dan harus sehat.” Bu Nina dan suaminya memang terkenal sering memperlakukan santri seperti saudara sendiri bahkan anak sendiri.

Mereka berpamitan dan melanjutkan jalan. Setelah sampai, mereka segera merapikan diri dan bersiap untuk tidur. Baru saja Ranu akan menarik selimutnya, tiba-tiba…

“Ran…”

“Kenapa?” jawab Ranu.

“Apa yang kamu pikirkan tentang wanita?” Rafa menatap dinding kamarnya dan terlihat berpikir.

“Ada apa, Raf?”

“Aku kagum, wanita diciptakan dengan luar biasa terjaga dan diistimewakan. Bukankah itu spesial?”

Ranu mengernyit, lalu menanggapi dengan serius.

“Ya, tentu. Namun banyak dari mereka yang tidak menyadari, terlebih di zaman sekarang, pergaulan seperti tidak ada batasnya. Perempuan dengan ringan menyentuh dan tidak masalah disentuh laki-laki.”

“Betul, aku setuju. Lalu menurutmu, apakah saat ini masih ada wanita semulia Rabi’ah Al Adawiyah?” Rafa menengok ke Ranu yang nampak berpikir.

“Aku belum menemukan, tapi kita bisa menciptakan jika kita sabar dan senantiasa bersikap positif. Kita sekarang belajar di Pondok, tapi tidak lama lagi kita akan menjadi pengajar bahkan menjadi orangtua setelah menikah. Ini adalah tantangan dan kewajiban kita untuk dengan sebaik-baiknya membesarkan anak. Kita harus menanamkan nilai-nilai kebaikan dan menciptakan Rabi’ah Al Adawiyah masa kini.” Tambah Ranu yang kemudian tersenyum lebar merasa menang.

Rafa tertawa, sahabatnya terlalu bijak untuk ukuran manusia yang sudah seharusnya beristirahat karena terlalu mengantuk. Benar saja, tidak lama kemudian Ranu mengatakan ia ingin tidur. Namun Rafa menolaknya dan merayu agar Ranu tetap terjaga supaya tetap bisa berdiskusi. Kali ini Rafa pemenangnya.

“Jadi, apalagi yang kau mau tahu, Ustadz Rafa yang terhormat?”

“Ah, kamu ini. Aku masih murid-lah di sini,” Balas Rafa sambil melebarkan matanya agar Ranu berhenti meledeknya.

“Menurutmu kenapa Bu Nina dan suaminya senang berbagi dan bersikap baik? Apa itu wujud nyata Rabi’ah Al Adawiyah saat ini? Dan, perempuan sudah diciptakan dengan istimewa lalu mengapa mereka harus tetap berbuat baik?”, lanjutnya.

Hoamm.. Ranu menguap dan dengan malas menjawab pertanyaan yang mudah itu.

“Ayo jawab, Ran.” Desak Rafa yang mulai terserang rasa kantuk walau sedikit.

“Begini, mereka bahkan sekelas Rabi’ah Al Adawiyah yang merupakan wanita suci, ia tetap sepenuhnya menyerahkan diri pada Allah. Ia berbuat baik dan semua yang ia kerjakan hanya berorientasi pada Allah. Ia sadar, Allah Maha Membolak-balikkan hati. Maka perempuan harus tetap berjuang dan konsisten menjaga diri dan beribadah pada Allah” Ranu tersenyum sekali lagi namun menatap foto ibunya di meja sebelahnya.

“Raf, perempuan memang luar biasa. Sulit dipahami namun membawa berkah jika hidupnya positif. Mereka hanya butuh pemahaman dan dibimbing agar mampu lebih menjaga diri dari lawan jenis dan hal-hal yang dilarang.” Tambah Ranu lalu mohon izin untuk tidur.

“Terimakasih, Ran.”

Rafa memutar posisi menghadap jendela. Ia teringat ibunya, perempuan hebat yang tidak pernah sedikitpun berhenti berbuat baik. Akhirnya pertanyaan Rafa terjawab, perempuan memang harus dihormati karena banyak hal baik lahir darinya. Keberkahan dari cinta yang tulus dan bukan cinta duniawi yang sesaat. 

“Perempuan mampu berikhtiar menjadi Rabi’ah Al Adawiyah, meskipun takkan mampu menyaingi, setidaknya perempuan yang konsisten dalam hal menjaga diri maka akan menemukan jalan kebaikan pula dalam kehidupannya.” Batin Rafa, ia pun berdoa lalu tertidur.

Sementara di luar, gemintang tersenyum damai. Udara sejuk bersahabat dan malam semakin lekat.[]


*Neng Dewi Anggraeny dengan nama pena Lintang Nabastala atau Fana. Sebab segala hal memang fana ketika masih di dunia, dan menulis adalah sebaik-baiknya cara untuk abadi. Mulai serius menekuni minat menulis pada tahun 2017, karyanya sudah terbit dalam beberapa buku, dan karya terbarunya adalah Rekayasa Semesta (Antologi dengan orang-orang hebat). Untuk bersilaturahmi, sudilah kiranya ke instagram @lintangnabastala atau e-mail: nengdewia@gmail.com.

Posting Komentar untuk "Rabi’ah Al Adawiyah Masa Kini"