Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tuhan, Izinkan Cita-citaku Digapai Anakku


Oleh: Indah Yuni Lestari

(Peserta Lomba Menulis Cerpen Hari Santri Nasional 2020)

Suara adzan berkumandang dari surau dekat rumah Pak Joko, hari yang mulai petang ini, sumber cahaya mulai tenggelam, memanggil para petani untuk kembali ke rumah masing-masing. Pak Sudar pun bergegas pulang dari ladang menuju rumahnya. Pak Sudar adalah salah satu warga yang terletak di pinggiran pantai selatan. Sebagian besar masyarakat di sini bekerja sebagai petani. Mengolah tanah yang setiap hari, pagi, siang, dan sore, adalah cara para petani mengais rejeki. Walaupun hanya petani, dianggap kelas ekonomi rendah, tetapi mereka tetap hidup berkecukupan. 

Pak Sudar pun sehabis pulang dari ladang, lalu mandi dan berangkat  ke surau dekat rumah Pak Joko untuk sholat magrib berjamaah. Pak Sudar memang orang yang rajin, gigih, dan pekerja keras. Beliau selalu eling dengan pencipta-Nya. Hidup dengan keluarga yang sederhana, namun berkecukupan. Sampai salah satu tetangganya heran dengan Pak Sudar, hanya dengan pekerjaan petani yang hidupnya pas-pasan, Pak Sudar selalu dermawan kepada warga yang kurang mampu. 

Selepas pulang berjama’ah sholat magrib, Pak Sudar beristirahat sejenak di ruang tengahnya, sembari istrinya Bu Min menyiapkan secangkir teh manis untuk Pak Sudar. 

“Silahkan diminum tehnya pak!” Bu Min meletakkan tehnya dan duduk di sebelah Pak Sudar

“Terimakasih Bu, ngomong-ngomong ini Si Reta kemana?” menyeruput secangkir teh.

“Reta habis pulang kerja Pak, beliau tetap kekeh pengen kerja untuk mengisi lIburan semesternya.”

Reta adalah anak pertama mereka yang menginjak semester 3 kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri tepatnya di Yogyakarta. Saat ini Reta sedang liburan semester, untuk mengisi waktu luangnya, Reta memutuskan untuk bekerja karena liburnya sampai 3 bulan. Reta bekerja sebuah Toserba (toko serba ada) di desa tetangga. Reta memang anak yang rajin, ia memutuskan untuk kerja karena tidak hanya karena libur 3 bulan, tetapi Reta juga tahu kondisi keuangan keluarga sedang menurun. Pak Sudar bulan lalu tidak panen karena kebun cabainya terserang hama, hanya panen beberapa kilo saja tidak sampai berkarung-karung. Namun tidak hanya Pak Sudar, sebagian petani juga banyak yang tidak panen, karena musim hujan dengan tanaman mudah terserang hama. Reta pun begegas menemui bapak dan Ibunya di ruang tengah.

“Iya, ada apa pak, aku baru pulang kerja ini.” Reta menghampiri lalu duduk bersama bapak dan Ibunya”.

“Nak, sebaiknya kamu tak perlu kerja, cukup bapak saja yang bekerja karena ini memang kewajiban bapak untuk menafkahi dan mencukupi kebutuhan keluarga”. Pak Sudar menasehati Reta

“Tidak apa-apa pak, saya kasihan sama bapak, saya membantu bapak untuk biaya kuliah Reta juga yang cukup mahal”

“Baiklah nak, tetapi saran bapak kalau sudah masuk kuliah, besok keluar saja dari toko itu, tak usah bekerja. Bapak pengen Reta fokus kuliah, bapak tidak mau membebani anak bapak.”

“Iya pak, besok kalau sudah waktunya masuk kuliah lagi Reta akan keluar dari toko itu!”

“Iya nak, kamu tuturi saja apa perkataan dari bapakmu.” Bu Min menyaut pembicaraan suami dan anaknya.

“Baik bu, Reta masuk kamar dulu ya pak, bu!”

Reta meninggalkan bapak dan Ibunya di ruang tengah lalu masuk ke kamar. Reta lalu berbaring di tempat tidur sambil melihat lantai-lantai atas, balkon warna putih, dan bersegi empat. Sepeti ada sesuatu yang sedang dipikirkan Reta tentang kejadian tadi di Toko ada seorang bapak tua yang datang membeli rokok. Bapak tua tadi itu sangat aneh pembicaraannya, seperti tahu tentang keluargaku. Siang tadi bapak itu bertanya denganku.

“Orang mana mbak,” tanya bapak tua itu yang sedang duduk di kursi dekat Reta.

“Saya Pleret pak,” jawab Reta sambil menata dagangan toko.

“Oalah Pleret, kalau dengan rumahnya Pak Arjo?” Tanya bapak tua sambil menyebulkan asap rokok

“Bapak Diharjo bukan ya pak?

“Betul mbak yang tentara itu lo.”

“Oalah itu simbah saya pak.” 

“Kamu yang baru nikah kemarin ya, yang dapet polisi itu? Tapi kok kerja disini kamu?

“Bukan pak, itu adik bapak saya yang terakhir”

“La Pak Diharjo itu punya anak berapa?”

“Yang saya tau ada 5 pak!”

“La kok ada 5, saya dulu teman sekantor simbahmu dan saya pernah mendata keluarga simbahmu kayaknya cuma punya anak 4 perempuan semua? Anaknya katanya pada sukses semua, jadi guru, dosen, perawat dan polwan?

“Betul pak, adik-adik bapak saya memang semua sukses” 

“Lahh, bapakmu itu anak yo nomer berapa?”

“Nomer 1 pak”

“Bukannya yang nomer satu itu perempuan ya? Berarti bapakmu sepertinya tidak diakui oleh keluarga Pak Arjo orang tidak ada laki-laki kok anaknya”.

Reta diam dan tercengang mendengar kata-kata bapak tua itu, bapak tua yang sok tau keluargaku, entah itu perkataanya benar atau salah. Reta memikirkan itu, tadi saat di panggil bapak, aku ingin menannyakan soal ini, tetapi rasanya tak sampai. Mungkin butuh waktu yang tepat untuk bertanya tentang itu semua, tetapi, Aku ingin tahu semua itu, malah membuat beban pikiran yang tak karuan jika tak bertanya. Mungkin besok aku akan menanyakannya dengan bapak. Memang aneh keluarga dari bapakku, sikap dan perilaku simbahku sangat berbeda dengan adik-adiknya yang sukses itu, apa karena bapakku hanya seorang petani. Reta bertanya-tanya dalam hati sampai tengah malam susah memejamkan mata untuk tidur. Tak lama kemudian Reta tertidur pukul 23.30. 

Keesokan harinya Reta bertanya kepada bapaknya yang sedang duduk di ruang makan sembari leyeh-leyeh sehabis makan. Reta menanyakan semua apa yang telah di pikirkan semalam, sampai-sampai tak bisa tidur tentang kejadian sewaktu di toko. Tetapi pertanyaan Reta tak ada jawabannya. Bapaknya hanya diam dan tersenyum, dan menjawab belum waktunya Reta tahu tentang perkara itu, ada waktunya. Jawaban dari bapaknya membuat kecewa dan batin gelisah lalu Reta langsung pergi berangkat kerja. Padahal diluar langit mendung seperti ingin menjatuhkan air.

Di kala langit mengabu, hujan jatuh satu demi satu, Pak Sudar yang sedang duduk di teras rumah melihat daun yang bergoyang karena angin menyentuhnya. Jarum jam menunjukkan pukul 11.00. Hari ini Pak Sudar tidak ke ladang karena hujan dari tadi pagi belum juga reda. Pak Sudar terlihat sedang memikirkan takdir, kehendak Sang Pencipta semesta. Pak Sudar menyadari setelah mendengar cerita itu. Cerita dari anaku pagi tadi. Cerita tentang keluargaku..., kedua orang tuaku pastinya. Aku merasa kebingungan setelah hadir di semesta ini. Bapakku seorang tentara dan Ibukku hanyalah Ibu rumah tangga. Perkara dulu kini muncul kembali. Cerita anakku membuatku berpikir dalam.  Anakku, kamu anakku, kamu perempuan kamu sangat rajin, tekun, dan selalu kerja keras demi yang kamu mau, kamu selalu punya inisiatif untuk membantu orang tua, tetapi kenapa kamu ingin tahu tentang masa lalu bapakmu yang begitu pahit. Kamu memang sudah besar, tetapi bapak belum siap menceritakkan ini semua. Dalam batin berkata sambil meratap dedaunan depan teras. 

Aku memang hanyalah seorang petani, kadang hasil memuaskan, kadang hasil yang merugikan, itu semua tergantung Tuhan yang memberikan. Aku pun bingung mengapa sampai sekarang pun aku diperlakukan berbeda dengan adik-adikku oleh orang tuaku. Apa karena aku hanyalah seorang pertani, sedangkan adik-adikku sudah menjadi orang sukses semua dan mendapat pekerjaan yang layak, tak kapanasan ketika terik matahari tak kedinginan ketika hujan. Adik-adikku merantau semua dan jarang pulang karena sIbuk dengan pekerjaannya. Bapak tua yang diceritakan anakku itu kemungkinan teman bapak saya dulu. Aku jadi teringat bapakku yang selalu mengajarkanku disiplin, kerja keras, tetapi bapak saya sekarang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Semenjak ditinggal bapak, Ibu di rumah sendirian dan aku tinggal di samping rumahnya karena aku sudah memiliki keluarga sendiri. 

Perasaan yang sejak dulu terpendam kini terbuka, mungkin benar apa kata tetangga isu-isu dari bibir ke bibir dan katanya itu cerita dari Ibuku sendiri. Ternyata aku dulu dilahirkan sebelum ada pernikahan, Ibu saya hamil duluan, tetapi hamil dengan bapakku sendiri bukan dari orang lain. Ketika aku lahir aku tidak diasuh oleh orang tua kandungku, melainkan dititipkan dengan seorang nenek dan kakek yang sejak dulu tak memiliki anak sehingga aku diasuh sama kakek nenek itu. sedangkan bapakku dulu lagi pendidikan tentara di Timor. Ibuku juga sedang mengandung anak kedua, jadi Ibuku tidak mampu mengasuhku sendiri.

Setelah aku menginjak 17 tahun lulus SMA aku meminta Ibu ingin masuk ke IKIP tetapi permintaanku tidak dikabulkan karena tidak ada biaya, katanya biayanya untuk sekolah adiku. Aku merasa kesal karena aku sejak kecil tak pernah di biayai oleh orang tuaku sendiri. Kebetulan yang mengasuhku sudah tua sekali aku tidak tega jika aku memintanya. Aku tak mau putus asa hanya karena aku tak bisa masuk ke IKIP, padahal aku ingin sekali menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru, itu cita-citaku sejak kecil dulu. Aku akhirnya merantau di Jakarta dan bekerja di perusahaan ternama, aku selalu mengirimkan uang ke desa untuk nenek dan kakek yang mengasuhku. Aku merantau selama empat tahun lalu pulang ke desa dan menikahi seorang gadis. Aku tidak lagi bekerja di perusahaan ternama itu lagi, aku beralih menjadi petani. Setelah satu tahun menikah aku diberi seorang anak perempuan yang ku namai Reta. Semenjak bapakku meninggal sikap dan perilaku Ibu berbeda. Ibu masih saja membeda-bedakan aku dengan adik-adikku yang dibiayai sampai sukses itu. Diceritakan ke sana, ke mari, dari tetangga yang satu ke tetangga yang lain. Aku tidak pernah di banggakan karena aku hanya seorang petani, bahkan malah sebaliknya aku malah selalu direndahkan. Tetapi jika Ibuku membutuhkan sesuatu aku selalu membantunya, karena aku anak yang paling terdekat dari tempat tinggal ibuku, dari pada adik-adik yang sukses dan tak pernah pulang menengok orang tuanya. Aku tak apa diperlakukan seperti ini asalkan Ibuku sehat dan bahagia dengan perlakuannya sekarang.

Setelah hari, bulan, tahun berganti satu demi satu, kini rezeki sedang datang ke keluargaku. Anakku sudah pulang dari kampus, Reta sudah lama tak bekerja lagi di toserba karena fokus kuliah. Reta mendekatiku dan Ibunya, dan bercerita, sekarang Reta sudah menyelesaikan tugas akhirnya dan mau wisuda S1 bulan depan. Alhamdulilah kini rejeki  yang lumayan dan itu semua hasil kerja kerasku sebagai petani aku bisa menafkahi keluargaku dan menyekolahkan anakku sampai ke perguruan tinggi. Anakku bahkan melanjutkan S2 karena mendapatkan beasiswa. Reta selalu aku nasehati “bekerja keraslah selagi kamu masih di bawah, suatu saat nanti kamu akan sampai dari apa yang kamu inginkan”. Reta kuliah S2 juga sambil mengajar di sekolah. Selesai menempuh S2 Reta diterima menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi yang ternama. 

Malam pun tiba, Reta, bapak, dan Ibunya kini sedang berkumpul di ruang tamu sedang bergurau. Tiba-tiba Pak Sudar membuka percakapan dengan Reta.

“Reta, bapak ingin menceritakan sesuatu kepadamu Reta”

“Cerita tentang apa pak?” jawab Reta sambil menatap wajah Bapaknya.

“Cerita tentang apa yang kamu tanyakan kepada bapak sewaktu kamu masih bekerja di toserba itu Ret, cerita bapak tua itu memang teman kakekmu”

“Oalah iya pak, padahal Reta sudah melupakan itu semua” 

“Kini sudah waktunya Reta tahu tentang keluarga bapak dulu nak. Reta tahu kan keadaan bapak dulu, serba tak punya, bisa dibilang hanya berkecukupan, karena bapak dulu berjuang dari nol. Bapak hanya seorang petani, yang selalu direndahkan orang lain. Terutama nenekmu Ret. Bapak dulu memang anak yang lahir sebelum ada pernikahan, setelah dilahirkan tidak diasuh dengan orang tua karena Ibu sedang mengandung anak kedua. Bapak dulu diasuh oleh seorang kakek dan nenek yang bernama Mbah Mangun dan Mbah Samirat tetapi mereka sudah meninggal sebelum kamu lahir. Mereka baik meskipun mereka tak memiliki anak. Mereka mengasuh bapak, dibiayai, disekolahkan sampai tamat SMA.

 “Reta terharu mendengar itu semua pak.”

“Setelah tamat SMA bapak ingin masuk ke IKIP, tetapi bapak tidak meminta simbah karena mereka yang sudah tua tak tega bapak meminta biaya kuliah, melainkan dengan orangtua kandung tetapi mereka tak mengizinkan dengan alasan tak punya biaya karena untuk sekolah adik. Bapak tak putus asa nak, bapak merantau di Jakarta dan bekerja di perusahaan. Padahal dulu bapak bercita-cita jadi guru, tetapi tak apa mungkin harapan yang ditakdirkan tak sesuai dengan izin Tuhan.”

“Jadi, bapak menyimpan perkara itu sendiri?” tanya Reta sambil meneteskan air mata.

“Ya sejak bapak sudah menikah, bapak ceritakan semuanya kepada Ibumu, Bapak tak mempermasalahkan itu. Bapak tetap berusaha mencukupi kebutuhan keluarga kecilku ini nak. Bapak sekarang bangga denganmu Reta, walaupun bapakmu dulu tak sampai meraih cita-cita sebagai guru, setidaknya aku bisa mewujudkan cita-citaku digapai anakku”.[]

*Nama : Indah Yuni Lestari

NIM : 2017001055

Tema : Kerja keras

Judul : Tuhan Izinkan Cita-citaku Digapai Anakku


Posting Komentar untuk "Tuhan, Izinkan Cita-citaku Digapai Anakku"