Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TUMBUH

 
Oleh: Taqin Majid

(Juara III Lomba Menulis Cerpen Hari Santri Nasional 2020)

O, betapa senang sebatang Ibu rumput mendapati anaknya mulai tumbuh, merekahkan dedaunan muda. Sayang, itu tak berlangsung lama. Seorang lelaki tampak mendekat dan langsung mencerabut mereka sampai akar-akarnya2. Itu adalah saat, di lain tempat, seorang pemuda berwajah murung mendatangi seorang perempuan dan meminta dibuatkan sebuah buket bunga tanpa uang muka. Di dalam benak perempuan itu, mula-mula ia agak enggan menggarapnya. Selain belum ada uang panjer dan pesanan cuma satu, adakalanya orang hanya sekadar memesan tanpa pernah mengambilnya. Namun, setelah berniat membantu, ia pun menyanggupinya dalam waktu satu minggu.

Setelah dirasa cukup mencabuti rerumputan di pekarangan, lelaki itu menyemplungkannya ke sebuah kolam di belakang rumahnya. Itu sebagai ganti kosentrat, yang entah mengapa, kendati telah habis persediannya ia sering lupa membelinya.

Tiga hari belum makan, dan kendati cuma mendapati rerumputan, ikan-ikan gurameh itu tampak begitu senang. Seusai di dalam hati masing-masing memanjatkan syukur kehadirat ar-Rahman—Yang Maha Penyayang—, mereka berenang mendekati rerumputan itu, bermaksud melahapnya. Namun, sekonyong-konyong mereka menahan diri saat mendengar percakapan antara si anak rumput dan Ibunya yang rupanya belum mati—karena masih ada sisa tanah menempel pada akar mereka.

“Kenapa Ibu tampak begitu sedih?”

“Bagaimana tidak, anakku, mendapatimu yang baru tumbuh, sebentar lagi mati..”

“Tetapi, Bu, kita tak pernah mati, bahkan selalu tumbuh..”

Rumput-rumput yang lain—yang masih dongkol atas kelakuan lelaki itu—agak terhIbur mendengar jawaban ini. Mereka pun menanti jawaban selanjutnya begitu si Ibu rumput bertanya, “maksudmu?”

“Ibu lihat, ikan-ikan ini bakal menyantap kita. Kita akan menjadi bagian mereka, tumbuh bersama mereka..”

“Oh, anakku, bagaimana bisa kau punya pemahaman seperti itu?”

“Aku sendiri tidak tahu, Bu. Yang aku tahu aku ini anakmu. Ibu yang telah melahirkanku. Apa-apa yang ada padaku, tak lain adalah bagian darimu termasuk pemahaman ini..”

“Tetapi, anakku, seumur-umur Ibu tak punya pemahaman seperti itu..”

“Bisa jadi, dalam diri Ibu sudah ada potensi ke arah situ. Hanya saja potensi itu baru menjadi begitu ada bersamaku..”

Rumput-rumput itu mengarahkan ujung dedaunannya—sedikit condong ke atas, sebagai sebentuk pujian—pada si Ibu rumput yang memiliki anak sebijak itu. Sementara si Ibu merasa bangga, segenap ikan gurameh pada heran sekaligus bingung, tak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi mereka telah tiga hari menahan lapar, sedang di sisi yang lain dari pengalaman mereka berkali-kali memakan rumput, baru kali ini mendapati percakapan semacam ini. Kemudian kepekaan si anak rumput menangkap geliat keraguan mereka, menyuruh ikan-ikan itu memakan mereka.

Demi membuang keraguan apakah betul rumput-rumput itu bersedia dimakan, seekor ikan paling besar mewakili mereka—bertanya, “betul, kalian ikhlas dimakan kami?”

Tanpa keraguan sedikit pun, segenap rumput itu menjawab, “YA!”

Kemudian, dengan senang mereka pun melahap rumput-rumput itu.

***

Adalah lelaki paruh baya, karena terdesak suatu kebutuhan, suatu malam mencuri sebagian ikan-ikan itu dan keesokan paginya menjualnya ke pasar. Beberapa hari yang lalu, anaknya memberinya surat tunggakan biaya sekolah. Ini membuatnya makin resah. Sebagai buruh lepas landas, beberapa hari ini ia nganggur. Sementara musim panen dimana ia mengandalkan mbawon, kerja memetik padi, belum tiba.

Demi memenuhi kebutuhan ini, ia telah berusaha meminjam kepada teman-temannya. Namun, keadaan mereka nyaris sama dengannya. Sepulang dari rumah temannya, saat melintasi rumah itu, entah mengapa, perhatiaannya tertuju pada kolam itu. Kemudian, entah datang dari mana, ia mulai mempertimbangkan: dilihat dari rumahnya sepertinya orang berada; apabila ia mencuri beberapa ikannya mungkin orang itu tak akan merasa kehilangan. Dan, jikapun merasa kehilangan mungkin ia bakal merelakannya.

Dengan pertimbangan ini, entah mengapa, ia masih ragu menunaikan aksinya. Kemudian ia bertekad, kelak apabila telah punya uang, ia akan mengaku pada si pemilik kolam dan mengganti ikan-ikan itu dengan uangnya. Itu adalah saat di lain tempat, pemuda berwajah murung kembali mendatangi perempuan pembuat buket bunga. Maksud kedatangannya, demikian pemuda itu berkata, adalah membatalkan pesanannya. Setelah si perempuan bertanya, “kenapa?” ia pun menjelaskan: sampai hari yang telah mereka sepakati pesanan itu jadi, mungkin ia tak punya uang untuk membayarnya. Kondisi ayahnya yang sedang tidak bekerja, ditambah tagihan biaya sekolahnya, menjadikannya tak tega meminta uang lagi pada ayahnya. Sementara itu ia merasa rikuh meminjam kepada teman-temannya, sebab pinjamannya dulu pun sampai kini belum ia lunasi. Mendengar pengakuannya, perempuan itu merasa iba. Apalagi dapat ia duga kepada siapa buket bunga itu akan diberikan oleh si pemuda: gadis tercinta. Ia pun menggratiskan pesanan itu. Dan, selama perjumpaan mereka, baru kali ini ia mendapati pemuda itu mengenyahkan kemurungan dari wajahnya. Setelah mengucap terima kasih, pemuda itu pamit pergi. Di depan rumah itu, ia berpapasan dengan seorang perempuan, yang kemudian memesan dua puluh lima buket bunga untuk teman-temannya yang bakal diwisuda.

Pagi harinya, perempuan itu pergi ke pasar, membeli bahan-bahan buket pesanan tersebut. Rampung itu, dalam perjalanan pulang, ia melihat beberapa ikan gurameh segar di sebuah lapak pojok pasar. Karena baru dapat banyak pesanan, ia pun membeli ikan-ikan itu untuk keluarganya.

Pagi berikutnya, karena bahan-bahan ada yang kurang, ia kembali ke pasar. Rampung itu, dalam perjalanan pulang, ia berpapasan dengan seorang lelaki yang, entah mengapa, sejak sesaat tadi mereka bersitatap, lelaki itu berhenti berjalan dan terus menatapnya. Bahkan, setelah jarak mereka cukup jauh, didorong rasa penasaran, perempuan itu menoleh: di belakangnya, lelaki itu masih tampak berdiri dengan pandangan terpaku ke arahnya.

Setelah perempuan itu tak lagi tampak, seakan-akan ia baru tersadar, tujuannya ke pasar adalah membeli pakan ikan. Ia pun membelinya lalu pulang. Kendati kelak, ia kadang masih lupa membelinya saat kehabisan, sejak peristiwa itu, entah mengapa dan entah untuk maksud apa, sebelum mencabuti rerumputan, ia ngucap terlebih dahulu, “rumput-rumput, bersediakah kalian kucabut untuk pakan ikan?”

Di luar dugaannya, rumput-rumput itu menjawab, sebagian ada yang mau sebagian lainnya enggan. Mendapati rumput-rumput bisa ngomong, mula-mula ia bengong. Tetapi setelah berpikir, sekarang benda  pun bisa ngomong, ia pun mencabuti rumput-rumput yang bersedia dicabuti itu.[]


*Nama lengkapnya—seperti nama masjid—Baitul Muttaqin Al Majid. Beberapa cerpennya pernah tersiar di media daring dan cetak. Cerpen “Sedekah Pepohonan” masuk finalis 30 naskah terbaik Festival Menulis Cerita Anak Nasional, Oktober 2020 Funbahasa, Surabaya. Cerpen “Hikayat Sepucuk Duri dan Shalawat Nabi” masuk 50 naskah terbaik Lomba Cerpen Nasional Pena Persma, Oktober 2020 LPM Dinamika Universitas Islam Negeri (UIN), Sumatra Utara. Cerpen “Jeruk Surga” memenangi Juara 2 Lomba Cerita Inspiratif Festival Sastra Aksara (FSA) ke-VII Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tasikmalaya, Oktober 2020. “Ragu” adalah antologi cerpen bersama yang mengambil judul cerpennya sebagai cerpen terbaik pertama Tantangan Menulis Cerita Pendek September 2020 CV. Penerbit, Yogyakarta. Pernah bergiat di Tjlatjapan Poetry Forum. Saat ini bekerja sebagai tukang grafis di sebuah perusahaan jasa cetak di Kesugihan, Cilacap. Bisa dihubungi lewat email: taqinmajid25@gmail.com atau ig: @taqinmajid25.

Posting Komentar untuk "TUMBUH"