Tuhan Tidak Ada?
Tuhan tidak ada? Pertanyaan ini selalu saja menimbulkan polemik dalam dunia filsafat, minimal bagi mahasiswa filsafat. Bahkan mungkin juga bagi mahasiswa jurusan lain yang akhirnya tersesat karena belajar filsafat hanya dari Mata Kuliah wajib 2 SKS.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu meletakkan dasar; apa yang dimaksud dengan “ada”. Pada umumnya, rasio manusia menganggap “ada” sesuai dengan kesepakatan publik (kebenaran publik), bahwa sesuatu dianggap ada apabila ia dapat dijangkau oleh panca indera (mata, tangan, telinga, dsb). Jika demikian, maka dalam tingkatan ini, Tuhan memang tidak ada (dalam ukuran panca indera manusia).
Lalu, bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa Tuhan itu ada? Itu artinya ada alat ukur lain untuk mengatakan apakah si objek ada atau tidak ada, termasuk dalam kasus keberadaan Tuhan. Alat ukur yang dimaksud adalah keyakinan, perasaan, dan sebagainya. Nah, hal inilah yang perlu kita bedah, apakah anggapan “Tuhan Ada” sama antara satu orang dengan orang lainnya?
Mari sejenak kita kembali pada si pelaku (orang yang menganggap) dan si objek/korban (sesuatu yang dianggap ada), bahwa pada dasarnya semua anggapan subjek perihal keadaan si objek itu sifatnya subjektif dan sama sekali tidak akan pernah mewakili keadaan riil si objek. Dengan demikian, sudah pasti anggapan satu subjek akan berbeda dengan subjek lainnya perihal keadaan si objek. Termasuk dalam hal agama dan ketuhanan, sehingga menimbulkan banyak perbedaan dan perdebatan.
Kita sama-sama tahu bahwa anggapan orang perihal Tuhan dilatarbelakangi oleh perilaku (pembelajaran, pengalaman) yang berbeda-beda. Ada yang karena mondok, keturunan, ngaji, kajian ilmiah, ormas, dan sebagainya. Sehingga kita tidak bisa memaksakan anggapan orang lain perihal si objek (Tuhan) agar sama dengan anggapan atau paham kita. Kita tak pernah tahu, jangan-jangan, anggapan kita hanya dipengaruhi oleh bunyi-bunyi indoktrinasi para Ustadz atau guru, atau karena kita sering melihat lafal “Allah” sehingga kita tersugesti olehnya dan terus terngiang-ngiang dalam kepala. Ya, siapa tahu?
Pada akhirnya, apapun itu, kita harus kembali pada diri masing-masing. Karena si objek, apapun itu, untuk bisa “eksis/ada”, tidak butuh anggapan “eksis/ada” menurut kita. Ia akan tetap ada dengan dirinya sendiri, dengan keadaannya berada. Itulah kenapa manusia diberi akal, tentu agar merdeka berpikir dan terus mencari pilihan-pilihan alternatif dalam hidupnya, berikut konsekuensi yang harus dihadapi.
Bagaimana dengan organisasi?
Saya pernah mendengar ada sebuah organisasi yang katanya memegang teguh musyawarah mufakat. Sebut saja contohnya, sebuah Caretaker untuk bisa menjadi Komisariat harus mengadakan PPAB sesuai ADART. Tentu aturan dalam ADART perihal syarat menjadi Komisariat itu dibuat agar Caretaker memperbanyak anggotanya, hingga memenuhi syarat minimal anggota Komisariat yaitu 10 orang. Nah, bagaimana pasalnya jika Caretaker sejak dibentuk sudah memiliki anggota lebih dari 10 orang? Berarti rasionalisasi PPAB tersebut otomatis hilang dan tidak perlu diadakan?
Menurut beberapa pemangku kursi jabatan DPC, hal itu sudah menjadi kesepakatan bersama dan harus dipatuhi. Kesepakatan bersama? Saya kok tidak yakin bahwa semuanya sepakat PPAB itu harus terus dilaksanakan bila rasionalisasi sudah nihil atau hilang dengan sendirinya karena syarat minimal anggota Komisariat sudah terpenuhi. Percayalah, hanya satu yang bisa membuat kesepakatan yang sama; yaitu “Kepentingan yang Sama”. Misalnya duit atau jabatan. Atau pada dasarnya mereka para pemangku jabatan itu tidak ada kerjaan selain membanggakan jabatannya dengan cara menindas anak didiknya?
Kasus lainnya, perihal anggapan “Komisariat Definitif”. Menurut AD/ART, yang dimaksud dengan Komisariat Definitif adalah memiliki anggota minimal 10 orang dan semuanya sudah pernah mengikuti PPAB. Tapi menurut mereka para pemangku jabatan yang entah itu, yang dimaksud Komisariat Definitif adalah aktif berkegiatan dan terlihat oleh DPC. La, ini kan masih Caretaker? Apa ada syarat Caretaker harus berkegiatan lebih dulu untuk menjadi Komisariat? Belum lagi mereka menghambat MUSKOM sebuah Caretaker hanya karena tidak enak sama Komisariat lainnya, di mana komisariat lain baru mampu menjadi Komisariat hampir atau setara lamanya 1 tahun. La, ini organisasi atau klub keluarga? Dengan demikian, yang sebenarnya tidak berpedoman pada ADART siapa?
Itulah yang perlu dipahami oleh semua teman-teman organisasi, bahwa perilaku subjek terhadap objek itu selalu terjadi dalam suatu waktu. Namun kita, sebagaimana seringkali menjadi korban atau objek, kita juga BERHAK DAN MERDEKA sebagai Subjek atau pelaku dalam kelompok yang sebenarnya. Omongan luar? Emang kita pikirin?!!!
Orang mereka kerja juga gak bener kok! Percaya deh!!!
Anehnya lagi, mereka sebagai petugas dalam sebuah jabatan, meminta dihargai terhadap anak didiknya. What? Kalian sedang bertugas dalam sebuah tanggungjawab atau Cari Perhatian???
Mending kalo gak ikhlas, mending jadi tukang bersih selokan aja deh!!!
Mantap bung..
BalasHapusLanjutkan..