Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kecenderungan Gen Egois dan Keterasingan dalam Estetika

Kecenderungan sifat manusia untuk mempertahankan hidup  dalam The Selfish Gene (DAWKINS, 2017) dijelasklan melalui Gen Egois.Dalam hubungannya dengan Gen Egois, Manusia ditempatkan sebagai replikator, sebuah mesin pelestari gulungan kekal gen yang telah melalui suatu perjalanan panjang dalam sejarah evolusi. Jadi Manusia merupakan Mesin Gen  yang menjadi wadah pelindung serta penyalur bagi Gen untuk melanggengkan dirinya. Dengannya secara natural, Gen mendikte manusia untuk mempertahankan hidupnya.

Dalam upaya mempertahankan  hidupnya, manusia mencoba mengatasi alam. Mereka melihat Alam sebagai objek yang dapat diprakarsai lalu merubah benda-benda disekitarnya. Mereka memecah batu, memotong kayu , dan membuat senjata untuk mendukung pertahanan hidupnya—secara tidak langsung dalam bentuk yang paling purba dari upaya mempertahankan hidup—manusia melakukan produksi kebudayaan. 

Ketika bicara tentang Produksi Kebudayaan, tentunya tak dapat lepas dari suatu pengandaian Estetika yang muncul bersamanya. Menurut Martin Suryajaya (p. 10)  Perkakas batu merupakan karya seni pertama peninggalan Homo  Habilis dari Era Paleolitik Rendah. Pada Era setelahnya yaitu Homo Ergaster, teknologi Acheulean dikembangkan dengan ciri khas Simetri atau kesetangkupan—itu sebabnya kapak batu pada periode ini disebut biface. Simetri peralatan batu ini didapat melalui pengasahan yang disengaja untuk mendukung fungsionalitasnya agar lebih optimal. Jadi dalam konteks Evolusi biologis, manusia menemukan ideal estetika kesetangkupan dalam upayanya mempertahankan hidup.

Nilai Estetika purba yaitu simetris dan fungsionalitas inilah yang diteruskan dalam tradisi Yunani Kuno. Kedua nilai tersebut dapat dilacak melalui konsep Ideal Kesetangkupan (Summetria), fungsional-mimetik  Plato dan, simetri bunyi Pitagotrean.  Nilai-nilai ini menjadi standart Estetika yang berkembang selanjutnya dalam Estetika Barat. Dalam produksi kebudayaan yang semakin kompleks, Kategori estetis semakin jauh mengatasi alam sejalan dengan perkembangan pengetahuan manusia terhadapnya. Alam yang pada mulanya hadir sebagai ‘Ada sebagaimana Ada-nya’ semakin asing dari hal tersebut.

Semakin jauh, Arah dari produksi kebudayaan semakin mengarah pada kesempurnaan dalam ideal kesetangkupan dan juga fungsi yang dengannya alam dapat diatasi. Manusia dan Alam menjadi terpisah dalam relasi patriarkal Subjek-Objek. Ia melahirkan hirarki dimana manusia yang berkuasa atas alam, sehingga menjauh dari pemahaman tentang struktur primordialnya. Evaluasi Estetis semacam ini, alih-alih membawa manusia pada asal-usul penciptaan eksistensial justru malah mengaburkan manusia dari hal tersebut—ia terasing dari ruang berumah dari wilayah yang belum dikonstruksi oleh estetika semacam ini.

Estetika Wabi-Sabi Melawan Gen Egois

Wabi-Sabi merupakan cita-cita dan Filosofi Estetika yang ada dipahami dalam term Filosofi Zen yang telah memelihara dan membentuk perkembangannya selama ribuan tahun terakhir. Zen mencari ekspresi artistik dalam bentuk murni dan luhur yang sejalan dengan perinsip mereka; perinsip ini menghindari Intelektualisme dan kepura-puraan dan sebaliknya bertujuan untuk menggali dan membingkai keindahan yang ditinggalkan oleh arus alam (Juniper, 2003).
Wabi-Sabi menawarkan bentuk Estetika yang berlawanan dengan Estetika Barat maupun Estetika Pada Periode Prasejarah. Term Wabi-Sabi merujuk pada sifat-sifat seperti ketidakkekalan, kerendahan hati, asimetri, dan ketidaksempurnaan. Perinsip-perinsip dasar ini mengandung pembalikan paradigmatik dengan cara pandang Barat, yang  nilai-nilainya berakar pada pandangan dunia Yunani yang menghargai keadadian, keagungan, simetri, dan kesempurnaan (Juniper, p. 2). 

Nilai yang ditawarkan bukanlah dorongan eksploitatif terhadap alam namun mencari keindahan dalam keberadaan alam, memandang alam untuk inspirasinya. Manusia menahan diri dari segala bentuk keterikatan intelektual, harga diri, dan kepura-puraan untuk menemukan kebenaran alam tanpa hiasan. Karena Alam dapat didefinisikan oleh asimetri, dan ketidaksempurnaannya yang acak, Wabi-Sabi mencari kemurnian dari ketidakempurnaan alam; melihat ‘Ada sebagaimana Ada-nya’. Dengan katalain nilai-nilai Estetika Wabi-Sabi menuju arah yang berlawanan dari Estetika yang dikondisikan oleh Evolusi Biologis manusia, membebaskan dari ‘ apa yang menjadi kecenderungan yang dimungkinkah oleh Gen Egois’.

Abiyasa Iqbal Aula 

Referensi

DAWKINS, R. (2017). THE SELFISH GENE. JAKARTA: KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA).

Juniper, A. (2003). WABI SABI: THE JAPANESE ART OF IMPERMANENCE. North Clarendon: Tuttle Publishing.

Suryajaya, M. (2016). Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer. Jakarta: Gang Kabel dan Indie Book Corner.



Posting Komentar untuk "Kecenderungan Gen Egois dan Keterasingan dalam Estetika"